7 Efek Negatif Media Sosial yang Perlu Diwaspadai
Riset dari University of Pittsburgh menunjukan bahwa pengguna media sosial tiga kali lebih mudah terkena deperesi dibanding mereka yang tidak aktif.
Tak hanya itu, riset dari Centre for Addiction and Mental Healthdi Kanada juga menunjukan, orang yang menggunakan media sosial lebih dari 2 jam/hari ternyata memiliki kesehatan mental yang buruk dibanding yang lainnya.Tak mengherankan, kondisi ini memicu beberapa kasus terkait media sosial yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Sebut saja kasus depresi, bullying, asusila, maupun kasus yang berujung pada penghilangan nyawa seseorang (suicide).
Veronica Adesla, M.Psi, Psikolog dari Personal Growth mengupas efek negatif media sosial terhadap kesehatan mental, yaitu:
#1. Media sosial sebagai pelarian.
Salah satu alasan seseorang menggunakan media sosial adalah sebagai pelepas stres Ada kalanya, Anda memiliki kesibukan yang tinggi dan membutuhkan hiburan untuk sementara waktu. Dalam hal ini, tanpa sadar, media sosial hadir sebagai pelarian.
Pertanyaannya, apakah lewat sajian itu kesibukan Anda selesai dengan sendirinya? Tentu tidak.
”Untuk sementara, mungkin media sosial bisa membuat Anda sedikit lebih lega. Tapi, ini tetap tidak membuat keadaan di dunia nyata menjadi lebih baik. Faktanya, yang terjadi di dunia maya hanyalah realita-realita yang kita buat dan tentukan sendiri,” tutur Veronica.
#2. Mengurangi produktivitas.
Data dari socialmediatoday menunjukkan, rata-rata waktu yang dihabiskan seseorang di media sosial adalah 2 jam/hari. Ini sudah termasuk saat berada di commuterline, kantor, maupun di rumah. Sekilas, perilaku ini nampak sah-sah saja, terutama bila Anda bekerja di bidang humas atau social media officer.
“Namun, apabila pekerjaan Anda membutuhkan konsentrasi dan tingkat ketelitian yang tinggi, Anda akan mengalami kesulitan. Kondisi ini memaksa otak Anda bekerja lebih keras dan membuat diri tidak produktif dan kesulitan berkonsentrasi,” jelas Veronica.
#3. Memunculkan kecenderungan membanding-bandingkan.
Menurut Ramani Durvasula, profesor psikolog klinis di California State University, membanding-bandingkan adalah salah satu kebiasaan manusia yang sulit dihilangkan. Kondisi ini menjadi semakin buruk ketika Anda melihat apa yang ditampilkan di media sosial sebagi pembanding. Itu menyebabkan penurunan kepercayaan diri dan membuat kita gelisah.
Studi pengguna media sosial di Inggris pada 2012 menunjukkan bahwa 51% pengguna media sosial mengalami degradasi kepercayaan diri.
Menurut Veronica, masyarakat harus sadar bahwa apa yang ditampilkan di media sosial punya tujuan tertentu.
“Mungkin, mereka ingin branding atau ingin mempromosikan bisnisnya. Itu membuatnya menampilkan yang bagus-bagus mengenai kehidupan mereka. Padahal, kondisi itu belum tentu sama dengan di kehidupan nyata,” tutur Veronica.
#4. Menurunkan kepercayaan diri.
Peneliti Perancis dari Institute Pluridisciplinaire Hubert Curien pada 2013 lalu menemukan fakta bahwa semakin sering kita menggunakan media sosial dan membanding-bandingkan apa yang ada di dalamnya, secara perlahan, kepercayaan diri kita akan menurun.
Selain itu, kini, bagi sebagian orang, fitur di media sosial tidak jauh berbeda dengan sebuah kompetisi. Misalnya, apabila Anda tidak mendapatkan likesyang banyak, Anda akan menilai diri Anda tidak cukup baik di mata orang lain. Apabila cuit maupun unggahan Anda tidak ada yang menanggapi, Anda akan merasa kurang pandai dibandingkan orang lain. Padahal sebenarnya tidak seperti itu.
“Ada atau tidaknya likes maupun komentar dari oang lain hanya sekedar apresiasi aja. Tidak ada hubungannya dengan suka tidak suka dengan kepribadiannya. Banyak yang tidak menyadari hal ini,” jelas Veronica.
#5. Kecenderungan untuk cyberbullying.
April 2016, Felix Alexander (17), seorang anak muda asal Britania memutuskan mengakhiri hidupnya karena tidak tahan terhadap bullying. Awalnya, kondisi ini hanya terjadi di lingkungan sekolahnya. Namun, kondisi ini menjadi semakin parah dan kejam melalui media sosial.
Jean-Baptiste Pingault, pengajar psychopathology di Universitas College London mengatakan bahwa lewat media sosial, kecenderungan bullying semakin mudah terfasilitasi. Menurutnya, classical bullying mungkin akan berhenti apabila kita berada di rumah (safe house). Namun, lewat media sosial, cyberbullying bisa terus terjadi sepanjang waktu.
Senada dengan Pingault, Veronica berpendapat bahwa media sosial dalam hal ini adalah medium yang bisa mempermudah bullying.
“Lewat media sosial lawan bicara kita memang tidak berada di depan mata. Namun, pengaruh psikologisnya tetap tersampaikan lewat media sosial. Ini yang membuat media sosial menjadi rentan akan perilaku cyberbullying,” ujarnya.
#6. Tekanan Fear of Missing Out (FOMO).
Dalam penelitian Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out yang dilakukan oleh peneliti dari University of California, FOMO adalah rasa takut apabila Anda ketinggalan tren atau sesuatu yang sedang in di masyarakat. Anda merasa sedih karena tidak up to date, walaupun informasi itu sama sekali tidak penting dalam kehidupan Anda.
Bagi generasi milenial, kondisi ini dianggap lumrah karena mereka ingin selalu update terhadap segala sesuatu.
“Masalahnya, 'tuntutan' ini selalu mengharuskan Anda terus mengecek media sosial dan mengabaikan pekerjaan dan aktivitas Anda. FOMO bisa menjadi masalah besar,” tutur Veronica.
#7. Kecenderungan menjadi pribadi asosial.
Coba lihat rekan-rekan di sekitar Anda. Berapa banyak orang yang kerap menghabiskan waktunya hanya untuk menatap layar handphonetanpa menghiraukan kehadiran orang lain? Kami yakin pasti hampir semuanya seperti itu.
Tanpa sadar, waktu kita tersita oleh media sosial dan melupakan hal-hal penting lainnya. Riset dari Flashgap terhadap 150.000 orang di Amerika menunjukkan bahwa 87% orang Amerika melewatkan pembicaraan dengan teman karena sibuk bermain handphone.
Menurut keterangan Reza Indragiri Amriel, kriminolog UI, yang disarikan dari wawancara yang dilakukan oleh CNN Indonesia 18 Maret 2017 lalu, kualitas komunikasi interpersonal turun drastis karena orang tak lagi terbiasa berkomunikasi tatap muka. Menurutnya, media sosial seharusnya menjadi media komunikasi alternatif, bukan menggantikan peran komunikasi tatap muka.