Ada 2.020 Hoaks di Medsos, Kominfo Ingatkan 3 Jenis Istilah ‘Infodemic’ dari WHO
(Ilustrasi foto: engin akyurt / Unsplash)
Uzone.id -- Kementerian Komunikasi dan Informatika menyempatkan waktu untuk memberikan beberapa informasi baru terkait penyebaran konten menyesatkan dan hoaks yang berseliweran di internet, khususnya media sosial selama masa pandemi.“Data dari 23 Januari sampai 18 Oktober ini, ada sekitar 2.020 hoaks yang beredar di media sosial Indonesia. Sementara jumlah kategori atau topik tentang Covid-19 itu mencapai 1.197 jenis. Setelah ditelusuri dan break down, sudah sekitar 1.759 hoaks telah kami take down,” papar Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan dalam konferensi pers virtual yang digelar Senin pagi (19/10).
Menurut pria yang akrab disapa Semmy itu, penyebaran hoaks dan informasi tidak akurat ini timbul dari pemahaman masyarakat yang tidak lengkap terhadap situasi dan prosedur kesehatan yang sebenarnya terjadi.
Baca juga: WhatsApp Punya Fitur Baru untuk Cek Hoaks
Semmy pun menjelaskan, World Health Organization (WHO) telah merilis istilah baru yang disebut “infodemic” yang sekarang sudah menjadi masalah skala internasional.
Jika melihat dari istilah tersebut, tentu merupakan gabungan dari kata “information” dan “pandemic”, alias informasi yang beredar, baik akurat maupun tidak akurat mengenai sebuah penyakit.
Namun, apabila merujuk ke penjelasan di situs WHO sendiri, infodemic memiliki arti informasi yang berlimpah, baik secara online maupun offline, yang mencakup upaya yang disengaja untuk menyebarkan informasi yang salah untuk merusak respons kesehatan masyarakat dan memajukan agenda alternatif kelompok atau individu.
“Ada tiga jenis infodemic yang dijelaskan oleh WHO, yakni disinformasi, malinformasi, dan misinformasi. Ketiganya punya arti yang berbeda,” kata Semmy lagi.
Baca juga: Kominfo Siapkan Akses Internet di 3.126 RS dan Puskesmas RI
Dari penuturannya, disinformasi artinya informasi yang sengaja dibuat untuk mendestruksi informasi yang beredar, di mana informasi yang salah akhirnya berbahaya bagi masyarakat.
“Kalau malinformasi, informasinya ada dan faktual, namun hanya menargetkan orang-orang tertentu dengan tujuan tertentu. Lalu misinformasi, informasinya tidak tepat namun tidak ada kesengajaan karena masyarakat memiliki ketidaktahuan akan informasi yang tepat,” imbuh Semmy.
Hingga saat ini, diketahui pemerintah tetap harus melakukan pengendalian, namun bukan berarti untuk membatasi kebebasan berekspresi atau berpendapat, karena baginya, pemerintah perlu meluruskan informasi yang salah agar tidak menimbulkan keonaran dan keresahan atau mengganggu ketertiban umum, seperti literasi, edukasi, hingga labelisasi informasi sebagai hoaks atau fakta.