Alamanda Shantika, Tinggalkan Go-jek demi Bangun Sekolah Programming
Siapa bilang wanita tidak bisa menggeluti dunia teknologi?
Coba tengok seorang wanita bernama Alamanda Shantika. Kecintaannya pada dunia coding dan teknologi sudah dimulai sejak usia 14 tahun. Berkat hal itu pula, ia berhasil menjabat sebagai Vice President dan akhirnya memimpin divisi People Experience di Go-Jek.Tetapi hal tersebut tak lantas membuatnya puas begitu saja. Alamanda justru ingin memberikan kontribusi lebih bagi Indonesia, khususnya dalam dunia teknologi.
Dengan tekad bulat, pada September 2016 lalu ia memutuskan untuk meninggalkan Go-Jek demi membangun sekolah programming Binar Academy. Sekolah yang berdiri sejak Maret 2017 ini memberikan sekolah gratis selama tiga bulan untuk melahirkan programmer berkualitas yang siap menghadapi dunia kerja.
"My contribution for digital ecosistem is build Go-Jek from the begining, setelah membangun Go-Jek selama 2,5 tahun saya keluar untuk membuat Binar Academy. Karena angka programmer di Indonesia masih sedikit sekali ketimbang negara-negara di Asia lainnya, sedangkan ekosistem di Indonesia ingin go digital namun tidak banyak sumber daya manusia yang bisa eksekusi," ujar Alamanda Shantika saat ditemui kumparanSTYLE (kumparan.com) di Blue Terrace, Jakarta Pusat, Rabu (7/03).
Tujuan dibangunnya Binar Academy adalah untuk melahirkan programmer-programmer baru dengan mendapatkan akses pendidikan yang bagus namun gratis. Konsep social business yang diterapkan Binar Academy, membuat mereka mendapatkan pendanaan bukan dari donasi.
"Murid-murid yang lulus dari Binar Academy, beberapa kami salurkan ke korporasi dan startup rekanan kami. Jadi kami bertindak seperti head hunter, dan kami mendapatkan fee dari hal tersebut. Tiap satu murid yang di-hire dari partner kita, nantinya akan bisa untuk menyekolahkan 13 murid lainnya," imbuhnya.
Baru setahun berjalan, Binar Academy telah meluluskan 300 murid, dan terdapat sekitar 70 orang yang telah bekerja di korporasi dan start-up yang bekerja sama dengan Binar.
Menggeluti bidang teknologi dan informasi yang identik dengan kaum adam ini tidak menjadi halangan bagi dara kelahiran 29 tahun silam tersebut. Isu bias gender dalam pekerjaan memang kerap terjadi. Peran wanita acapkali dikerdilkan dalam berbagai lini, salah satunya di dunia kerja.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, bias gender menjadi hal yang kabur. Hal ini tentunya diiringi dengan kesadaran khalayak dalam memandang perempuan yang semakin berkembang.
"Saya sendiri tidak pernah merasakan bias gender saat bekerja. Kadang as a leader, acapkali kita meragukan seseorang. Saya pernah dalam satu tim, menunjuk wanita untuk menjadi team lead. Namun orang tersebut berujar, 'aduh saya bisa tidak ya, Mbak?'. Nah secara otomatis dalam alam bawah sadar saya berfikir, jika ingin memberikan pekerjaan sebagai pemimpin pada wanita dia nanti bisa tidak, percaya diri atau tidak," ujarnya.
Kepada kumparanSTYLE, Alamanda berujar saat ini jika berbicara empowerment bukan hanya menyoal perempuan, saja tapi semua pihak. Singkatnya jika ingin mencapai equality atau kesetaraan bukan hanya memberdayakan perempuan saja.
Tidak melulu soal perempuan, tapi berdaya bersama-sama. Alhasil kesetaraan pun akan tercapai. Begitupun dalam pola pikir, konsep pikir perempuan memililki peran yang sama dalam berbagai bidang akan membuat kita makin mudah untuk berkembang, karena saat ini berbagai kesempatan telah terbuka lebar. Contohnya dalam dunia kerja.
"Saya sempat membuat FGD mengenai female developer di Indonesia. Ada suatu departemen yang merecruit dengan cara blind test. Ternyata didapati mereka meng-hire banyak wanita daripada laki-laki. Nah, kadang kita sebagai leader juga kurang memberikan kesempatan itu. Jadi PR juga untuk para leader untuk memberi kesempatan yang sama bagi wanita maupun laki-laki," paparnya.
Dengan perkembangan teknologi yang serba digital, ranah ini bukan menyoal lagi bidangnya wanita atau laki-laki. Semua kalangan harus melek teknologi, karena kita bergerak menuju dunia digital.
"Melek teknologi, seharusnya sudah menjadi suatu kesadaran, bagaimana kita menggunakan teknologi. Dan skill yang paling penting lainnya adalah critical thinking di mana kita jangan mudah menyerap mentah-mentah semua informasi. Kita harus berfikir lebh kritis gar tidak mudah terbawa arus," tutupnya seraya tersenyum.