Amit-amit Resesi: Soal PHK, Funding Investor hingga IPO Startup
Uzone.id - Isu resesi dan krisis global terus menghantui berbagai sektor. Prediksi berbagai pihak menyebut kalau tahun 2023 ekonomi global akan gelap gulita dan berdampak ke berbagai negara.
Semua sektor akan terdampak krisis global ini, salah satunya adalah startup. Saat ini banyak startup teknologi muncul dengan kabar pemangkasan karyawan dan efisiensi cost dalam perusahaan.Tren PHK di kalangan startup, negatif atau positif?
Banyak yang menyebut kalau adanya PHK merupakan ‘badai’ bagi industri startup karena terjadi dalam waktu dan periode yang berdekatan. Ada juga tech winter yang menjadi tantangan bagi para pelaku dan founder perusahaan teknologi.
Adanya tren PHK ini menurut pakar startup merupakan hal yang memiliki sisi positif, ini menjadi salah satu strategi pelaku startup untuk bertahan di tengah ancaman dan tantangan usaha.
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia, Eddi Danusaputro mengungkapkan kalau PHK di kalangan startup ini tidak selalu menjadi hal yang negatif.
“Menurut saya jangan selalu melihat PHK sebagai sesuatu yang negatif. Memang itu tidak diinginkan dan akan ada orang yang kehilangan pekerjaan, akan tetapi dari perspektif saya sebagai investor mengapresiasi jika ada founder atau management yang berani mengambil keputusan sulit untuk melakukan PHK dan efisiensi supaya perusahaannya bisa survive,” terangnya ketika dihubungi oleh Uzone.id.
Baca juga: Resesi Mengintai 2023, Apa yang Harus Disiapkan Startup?
Eddi juga mengatakan kalau ramainya soal kabar PHK ini masih dalam status ‘hujan’ tidak seperti yang banyak dibicarakan berbagai pihak.
“Berbicara soal badai, kita seharusnya punya data berapa persen karyawan yang di-PHK dari total startup yang ada, dari keseluruhan jumlah karyawan yang ada. Kalau menurut saya belum badai masih hujan,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat startup Rama Mamuaya mengatakan bahwa “Badai” ini sebenarnya lebih ke koreksi pasar saja.
“Kemarin, memang valuasi startup growth-stage melambung luar biasa tinggi dan pandemi juga membantu meningkatkan akselerasi pertumbuhan valuasi. Namun sayangnya, pertumbuhan valuasi ini tidak disertai dengan penguatan business and financial fundamentals yang harusnya melandasi bisnis startup,” ujarnya kepada Uzone.id.
Rama menambahkan kalau saat ini startup-startup mulai menurunkan valuasi dan mulai memperkuat business/financial fundamental untuk bisa mendapatkan modal dari investor.
“Efeknya apa? Startup harus beroperasi dengan lebih sehat, lebih prudent dan bijaksana. Sayangnya, hal ini termasuk memotong cost demi perusahaan bisa beroperasi dengan lebih sehat kedepannya,” tambahnya.
Sementara itu, efisiensi dalam perusahaan tak melulu terkait PHK atau pemangkasan jumlah karyawan. Ada juga pengurangan marketing budget, mengurangi peluncuran produk, pembekuan perekrutan karyawan dan lainnya.
Funding ke startup tetap mengalir di tengah resesi
Walaupun kondisi ekonomi akan menurun secara global, pengamat sepakat kalau startup tetap akan mendapatkan funding dari para investor.
Eddi yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia mengatakan kalau startup tetap akan mendapatkan pendanaan.
“Tetap saja startup mendapatkan funding, tetapi akan menjadi lebih selektif,” ungkapnya.
“(Investor) mencari startup yang bisa survive, bisa mengurangi bakar-bakar uangnya. Syukur-syukur bisa profit dan mempunyai profitability. Kita tetap investasi hanya lebih selektif saja,” tegasnya.
Baca juga: Ancaman Resesi 2023, Gimana Nasib Pendanaan ke Startup?
Rama juga turut menyampaikan hal serupa, “Dengan capital availability global yang luar biasa tinggi (dan murah), maka investasi ke startup dengan valuasi mahal terus berjalan.”
“Namun dengan masuknya kita ke tahap awal resesi global, maka cost of capital makin mahal dan akhirnya investor lebih memilih untuk berinvestasi ke class asset yang memiliki financial fundamental yg lebih kuat dan resiko lebih kecil.”
Pandemi, resesi, tech winter dkk bukan akhir bagi startup
Walaupun berbagai tantangan terus membombardir industri startup saat ini, nyatanya industri startup belum mengalami keterpurukan. Masih banyak startup yang tetap bertahan dan terus berjalan di tengah gempuran usaha ini.
“Startup belum terpuruk, ini adalah proses pendewasaan. Namanya juga bisnis ada naik dan turunnya. Jangan sampai dianggap sebagai the end of the world,” kata Eddi.
Eddi menambahkan, pengaruh resesi salah satunya adalah pendanaan yang berkurang, dimana startup tak bisa mendapatkan pembiayaan seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Jadi mereka bisa lebih pintar mengelola dan memperlihatkan mereka bisa survive dan menjaga profitability, investor tetap invest kok,” tambahnya.
“Namanya seluruh dunia menghadapi resesi, pasti ada pengurangan dan koreksi. Tapi jangan dianggap ini akhir dari segala-galanya,” tegas Eddi.
Bagaimana dengan startup yang sudah dan akan IPO?
Selanjutnya, resesi disebutkan tidak begitu berdampak dengan startup-startup yang melakukan IPO. Contohnya saja, disaat dunia dihadapkan dengan isu krisis ekonomi global, Blibli justru membuka IPO.
Senin, (17/10) lalu, Blibli berencana melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan melakukan IPO pada November mendatang. Dalam penawaran umum saham (Initial Public Offering/IPO), Blibli dengan kode BELI menawarkan 17,77 miliar saham, 15 persen dari modal ditempatkan dan disetor pasca IPO.
“Yang IPO gak papa kok, memang ada problem? Itu diserahkan kepada masing-masing startup. Blibli aja bisa IPO kok,” pungkas Eddi.
Sementara itu, Rama menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan bagi startup yang sudah IPO.
“Untuk startup yang sudah IPO, ya harus kembali ke kodrat dimana bisnis harus memiliki fundamental finansial yang kuat. Mulai memikirkan healthy unit economics dan profitability sebagai salah satu fokus untuk mendapatkan pendanaan dan kepercayaan dari investor,” ujarnya.