Home
/
Lifestyle

Apakah Miss Grand Malaysia 2018 Mencuri Batik Indonesia?

Apakah Miss Grand Malaysia 2018 Mencuri Batik Indonesia?
erik mangajaya20 October 2018
Bagikan :

Beberapa hari terakhir ini jagat raya media sosial diramaikan dengan perbincangan bahwa Malaysia telah mencuri batik Indonesia. Gonjang ganjing di dunia maya bertambah ramai setelah salah satu akun Instagram @lambeturah mengangkat isu pakaian batik yang digunakan oleh Debra Jeanne Poh, Miss Grand Malaysia 2018. 

Batik tersebut dikenakan di sela-sela kompetisi Miss Grand Internasional 2018 yang sedang diselenggarakan di Myanmar. Karantina telah dimulai sejak 5 Oktober 2018 dan malam Grand Final akan digelar pada 25 Oktober 2018. Indonesia kali ini mengirimkan Nadia Purwoko.

Beberapa media di Malaysia juga mengangkat protes masyarakat Indonesia yang menyatakan bahwa Debra Jeanne tidak boleh menggunakan batik tersebut atau menyatakan bahwa Malaysia telah mencuri budaya batik nasional. 

Tulisan ini mencoba untuk memberikan kontribusi pada diskusi di ruang publik yang masih terus berlangsung. Penulis berpandangan bahwa menurut hukum kekayaan intelektual Indonesia, Debra Jeanne boleh menggunakan batik bermotif parang. Saya akan jelaskan landasan teoretis argumen ini. 

Tampaknya masih kurang ada penjelasan mengenai teori penggunaan batik secara komprehensif, bahkan dalam text book sekalipun. Hal ini tidaklah mengherankan karena landasan teori ini baru dikembangkan beberapa tahun belakangan. 

Miss Grand Malaysia 2018

Tuduhan pencurian budaya sering kali mendapat perhatian publik. Komentar netizen dari Indonesia sering dibumbui nada emosional. Inilah yang terjadi saat Debra Jeanne mengenakan pakaian batik bermotif parang di sela-sela ajang Miss Grand Internasional 2018.

Debra Jeanne mengunggah penampilannya mengenakan batik tersebut di Instagramnya. Busana atasan batik tersebut dirancang oleh Dona Plant Base yang merupakan designer asal Malaysia.

Laman rumah produksi busana memberi nama pakaian ini 'Stroke of Earth Tie Knot Bell Sleeve Top'. Pakaian ini dikenakan saat berada di Kanbawzathadi Golden Palace di Bago, Yangon, Myanmar. 

Preview

Debra Jeanne Poh (Instagram/debrajeanne.poh)

Tak ayal, Instagram Debra pun dibombardir para netizen asal Indonesia yang terkenal sangat pedas dalam berkomentar. Kritik halus sampai hujatan dan cemoohan silih berganti berdatangan. Namun demikian, ada juga yang mengucapkan terima kasih karena sudah mempromosikan batik Indonesia.

Secara umum, komentar yang diberikan berisikan penegasan bahwa batik adalah milik Indonesia, bukanlah milik Malaysia. Sebagai tanggapan, Debra Jeanne pun memberi komentar tagar #stopwarandviolance. 

Selain menggunakan batik, Debra juga memakai songket pada sesi interview di Chatrium Hotel Royal Lake Yango. Pada Minggu (15/10/2018), Debra menulis bahwa ia merasa bangga menggunakan songket. Miss Grand Malaysia 2018 menyatakan bangga mengusung tema multikulturisme yang mencerminkan Malaysia yang majemuk dan keluarga yang multikultur. 

Preview

Debra Jeanne Poh (Instagram/debrajeanne.poh)

Menanggapi gonjang ganjing isu batik ini, Sanjeda John, pemenang Miss Grand Malaysia 2017, menyampaikan bahwa batik parang yang digunakan Debra tersebut berasal dari Malaysia. Sanjeda dalam Instagramnya menulis: "Gosh batik Malaysian pun mau claim hak milik.. My God please forgive their stupidity."

Sebelumnya, Sanjeda John pernah menggunakan kostum nasional 'Kuda Warisan' pada sesi National Costume Competition di Miss Grand International 2017. Pakaian yang digunakan juga mengundang kritik karena dianggap mirip 'Kuda Lumping' dari Indonesia.

Sampai hari ini pun Instagramnya masih terus dihujani kritik pedas karena menggunakan 'Kuda Lumping'. Berikut penampilannya di kompetisi tahun 2017.

Preview

Sanjeda John (Instagram/sanjedajohn)

Perlu Klarifikasi Lagi

Penulis akui bahwa ada beberapa hal yang masih perlu diklarifikasi lebih lanjut. Misalnya, apakah ada aturan tertulis dari panitia penyelenggaraan kompetisi yang menyatakan secara tegas bahwa setiap peserta wajib menggunakan pakaian tradisionalnya masing-masing selama karantina.

Selain itu, perlu juga dicek bagaimana sebenarnya definisi 'National Costume Session'. Tabayun masih diperlukan.

Namun yang jelas, Debra Jeanne telah menyatakan bahwa tidak ada niat untuk mencuri budaya lain. Ia mengatakan bangga menggunakan batik tersebut. Laman rumah fashion Dona Plant Base juga secara eksplisit menyatakan bahwa batik Jawa menjadi inspirasinya. 

Perlindungan Batik Indonesia

Dalam komentar para netizen sering kali disebut bahwa batik telah diakui sebagai warisan dunia yang berasal dari Indonesia. UNESCO pada 2 Oktober 2009 telah mengakui batik sebagai Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity dan dimasukan dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage.

Hal ini sejalan dengan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage tahun 2003 yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda). Itulah mengapa tanggal 2 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Batik Nasional. 

Penulis berpandangan bahwa argumen mengenai batik sebagai intangable heritage sebetulnya tidak terlalu banyak membantu kita untuk menjawab pertanyaan apakah Miss Debra dapat menggunakan batik di ajang internasional seperti ini.

Persoalan ini adalah persoalan isu perlindungan kekayaan intelektual ekspresi budaya tradisional, bukan isu promosi kebudayaan seperti yang diatur UNESCO. Alat mengkaji isu ini adalah hukum kekayaan intelektual.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 Konvensi UNESCO tahun 2003. Konvensi menetapkan bahwa Konvensi tidak boleh diinterpretasikan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara pihak berdasarkan instrumen hukum kekayaan intelektual internasional.

Artinya, isu kekayaan intelektual tidak diatur dalam Konvensi UNESCO 2003. Konvensi UNESCO tahun 2003, misalnya, tidak dapat menjelaskan pengaturan penggunaan batik menjadi busana 'Stroke of Earth Tie Knot Bell Sleeve Top'.

Perlu dicatat bahwa batik yang terdaftar di di UNESCO tahun 2009 adalah 'Batik Indonesia'. Tulisan yang digunakan bukanlah 'Batik' secara umum, namun spesifik 'Batik Indonesia'. Lihat saja laman UNESCO (https://ich.unesco.org/en/RL/indonesian-batik-00170).

Dari segi pengaturan internasional, masyarakat internasional masih berupaya untuk memfinalisasi perjanjian kekayaan intelektual yang mengatur mengenai ekspresi budaya tradisional. Negosiasi pembahasan dilakukan di World Intellectual Property Organization (WIPO).

Rancangan teks perjanjian dapat diunduh melalui laman WIPO (http://www.wipo.int/tk/en/folklore/)

Batik Indonesia sebagai Ekspresi Budaya Tradisional

Preview

Argumen mengenai perlindungan batik sebaiknya melihat pada posisi Indonesia mengenai perlindungan ekspresi budaya tradisional di WIPO. Kendatipun negosiasi pembahasan rancangan perjanjian di WIPO belum final, namun ada beberapa hal yang dapat dijadikan rujukan dalam membahas problematik isu batik ini. 

Sesuai draft teks perjanjian, batik dapat dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional karena dibuat dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sifat hak ini adalah komunal, milik bersama. Norma hukumnya tidak bersifat individual seperti hak cipta pada umumnya.  

Mengenai isu batik, kita perlu membedakan dua hal utama, yaitu status kepemilikan (what) dan bagaimana (how) penggunaannya.

Pertama, mengenai status kepemilikan, batik perlu dilihat dari aspek hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Hak moral ini menjelaskan mengenai hak sebagai pemilik batik.

Hak moral berbeda dengan hak ekonomi yang menjelaskan mengenai hak untuk memperoleh manfaat ekonomi atau bayaran atas penggunaan batik. Menurut hak moral, kepemilikan motif parang ada di pihak Indonesia. Sedangkan manfaat ekonomi akan terlihat dari saat penggunaannya.

Kedua, mengenai aspek penggunaan, kita dapat melihat apakah Debra Jeanne dan rumah produksi busana yang dikenakan harus meminta izin dan membayar royalti sejumlah tertentu ke pihak Indonesia karena menggunakan batik parang.

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk pada teori jenjang hak atau tiered-rights approach. Teori ini disampaikan Indonesia sebagai Koordinator Like Minded Group of States Meeting di Bali tahun 2014 (Miranda Risang Ayu, 2016). Penulis juga hadir dalam pertemuan tersebut.

Pada saat teori diajukan kepada perundingan WIPO tahun 2014, belum ada ilustrasi gambar teori hak berjenjang. Untuk membantu kita lebih mudah memahami teori hak berjenjang, penulis telah membuat suatu ilustrasi piramida hak seperti di bawah ini.

Preview

Gambar Teori Hak Berjenjang

Sesuai gambar, semakin tinggi hak berarti aksesnya semakin terbatas dan sangat ketat penggunaannya. Hak paling atas bersifat rahasia dan sakral (secret and sacred). Tidak boleh ada orang yang menggunakan atau memakai suatu ekspresi budaya tradisional tanpa seizin pemilik hak.

Kadang kala perlu ada royalti untuk menggunakannya. Mungkin ada pembaca yang dapat memberi contoh batik yang sifatnya rahasia dan sakral?

Sebaliknya, semakin ke bawah sifat hak menjadi semakin terbuka dan bebas diakses oleh siapapun tanpa memerlukan izin pemiliknya (publicly available). Bahasa singkatnya, gratis dan tidak perlu ada izin. Di bagian tengah, ada hak yang sifatnya digunakan secara umum (widely diffused), yang dianut secara kuat (narrowly diffused/closely held) dan bersifat sakral (sacred).

Guna mengetahui di manakah batik parang berada dalam piramida hak, perlu diketahui jenis motif parangnya.

Motif parang memiliki berberapa macam variasi, antara lain Parang Rusak, Parang Barong, Parang Klitik dan Parang Kusumo, Parang Tuding, Parang Curigo, Parang Centung, Parang Pamor, Parang Slobok, Parang Centung, Parang Gendreh, Parang Srimpi dan Parang Canthel (https://infobatik.id/).

Preview

Secara umum, batik parang yang digunakan di luar Keraton Solo atau Keraton Yogyakarta masuk ke dalam kelompok publicly available. Namun karakteristik hak tersebut akan berubah menjadi sakral (sacred) bila digunakan di Keraton Solo atau Keraton Yogyakarta karena batik parang hanya boleh digunakan kelompok bangsawan.

Batik Parang Barong atau yang sering disebut dengan 'Pengageman Ndalem' hanya boleh digunakan oleh Raja. Adapun Parang Gendreh digunakan hanya oleh Permainsuri. Berdasarkan uraian ini, Debra Jeanne seperti halnya kita dapat menggunakan batik motif parang di manapun, kecuali di dalam Keraton Solo atau Keraton Yogyakarta.

Pendataan Motif Batik Indonesia

Preview

Mengingat sifat mudah beredarnya kebudayaan dan adanya potensi klaim pihak lain maka sudah sepantasnya kita sendiri melakukan inventarisasi (pendaftaran) kebudayaan batik nasional.

Seperti halnya kasus Sipadan dan Ligitan, Indonesia dikalahkan karena Belanda tidak membuat tindakan administratif seperti yang dilakukan Inggris. Pendaftaran bertujuan untuk melindungi ekspresi budaya tradisional batik sebelum diakui oleh pihak lain.

Inventarisasi bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas batik nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengaturan Pasal 38 UU Hak Cipta untuk mewajibkan pemerintah guna menginventarisasi dan membuat basis data (database) tentang ekspresi budaya tradisonal.  

Bahkan Pasal 17 UU No. 5 Tahun 2017 secara tegas menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melakukan inventarisasi kebudayan daerah seperti batik.

Saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai basis data (database) untuk mengimplementasikan UU Hak Cipta. Dalam rangka mengimplementasikan UU, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual juga mengembangkan basis data inventarisasi ekspresi budaya tradisional yang dikenal dengan 'Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal'.

Pusat Data Nasional dapat diakses oleh umum melalui laman: http://kikomunal-indonesia.dgip.go.id.

Preview

Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (kikomunal-indonesia.dgip.go.id)

Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat 17 jenis batik terdaftar. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini batik motif parang belum terdaftar di Pusat Data Nasional. Demikian halnya songket yang digunakan Debra Jeanne juga belum secara khusus terdaftar di Pusat Data Nasional. 

Lebih lanjut penelusuran terhadap sistem Pengelolaan Data Pokok Kebudayaan yang dikelola Kemendikbud juga tidak menunjukan data batik motif parang (http://dapobud.kemdikbud.go.id).

Salah satu upaya lain untuk melindungi kepemilikan batik adalah melakukan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah Daerah (Perda). Salah satu praktik yang dapat dijadikan contoh adalah diterbitkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi. 

Semoga langkah Pemda DKI Jakarta dapat diikuti oleh berbagai daerah lainnya. Sesungguhnya, investarisasi ekspresi budaya tradisional ini juga diamanatkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah.

Kesimpulan dan Saran ke Depan

Dapat disimpulkan bahwa batik motif parang adalah salah satu bentuk batik yang merupakan ekspresi budaya tradisional Indonesia. Namun demikian, disayangkan belum ada inventarisasi batik motif parang dalam Pusat Dana Nasional Ditjen Kekayaan Intelektual sebagaimana diamanatkan UU Hak Cipta.

Debra Jeanne Poh tidak dapat dikatakan sepenuhnya telah mengklaim budaya nasional. Mengingat sifat publicly available motif parang, setiap orang dapat menggunakan motif batik tersebut. Selain itu, perancang busana juga mengakui bahwa pakaian yang dibuat terinspirasi dari batik Jawa.

Secara teoretis, kita semua boleh menggunakan batik bermotif parang, asal tidak dikenakan di Keraton Solo atau Keraton Yogyakarta. 

Mungkin peristiwa ini tidak akan terlalu memanas bila sedari awal dalam Instagram tersebut ditulis informasi bahwa motif batik yang digunakan adalah motif parang dari Indonesia. Apa sulitnya menulis 'parang batik' bila tidak mau menulis dari Indonesia?

Diclaimer tentu lebih baik guna menunjukkan adanya itikad baik kepada khalayak umum. Itulah risiko seorang public figure, prinsip kehatian-hatian dalam bertindak menjadi suatu keharusan. Lagipula, bukankah tema Miss Grand Internasional 2018 kali ini adalah untuk membina perdamaian dunia?

Ada beberapa saran yang dapat dilakukan untuk semakin melindungi batik pada khususnya dan seni budaya tradisional Indonesia pada umumnya, antara lain:

  1. Kiranya semakin banyak motif batik yang dimasukan dalam Pusat Data Nasional Ditjen Kekayaan Intelektual;
  2. Diharapkan Pemerintah Daerah semakin giat melakukan pendataan mengenai ekspresi budaya tradisional dan menetapkannya dalam peraturan daerah masing-masing;
  3. Pemerintah RI sebaikya segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Basis Data dan juga menyelesaikan penyusunan Peraturan Pemerintah turunan dari UU Kemajuan Kebudayaan;
  4. Menciptakan sistem terpadu beberapa pusat basis data nasional, misalnya sistem terhubung antara Pusat Data Nasional Dirjen Kekayaan Intelektual dan Sistem Pengelolaan data Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud;
  5. Mendukung upaya Pemerintah dalam perundingan internasional mengenai perlindungan ekspresi budaya tradisional di berbagai organisasi internasional seperti WIPO dan lain-lain. 

Demikian, semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan atas isu perlindungan batik yang menjadi kepentingan kita bersama. Sekarang, mari kita berdoa agar wakil Indonesia pada Miss Grand Internasional, Nadia Purwoko, dapat mendulang prestasi gemilang di ajang Miss Grand Internasional 2018.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mencerminkan institusi penulis tempat berkerja. Segala kesalahan dan eror dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

populerRelated Article