Rating Satu Bintang: Ketika Aplikasi Tempo Tumbang karena Netizen
April 1982, karena sebuah berita tentang kampanye Golkar yang berakhir rusuh di Lapangan Banteng, Jakarta, majalah Tempo dibredel. Tak lama, media ini akhirnya dapat kembali naik cetak selepas menandatangani suatu kesepakatan dengan Menteri Penerangan Ali Moertopo.
Sebelum 21 Juni 1994, Majalah Tempo pernah juga dibredel pada 12 April 1982. Tempo, yang saat itu berusia 12 tahun, dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo. Dalam suratnya, Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan Pos Kota.
Namun, Tempo nampaknya tidak kapok. Dua belas tahun berselang, Juni 1994, majalah ini kembali dibredel dengan alasan berbeda. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Soeharto dan BJ Habibie terkait pembelian kapal bekas dari Jerman Timur.
Pada 1998, kediktatoran Orde Baru tumbang. Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto membuka keran kebebasan pers. Media-media baru bermunculan. Di sisi lain, muncul ancaman kebebasan pers dari bawah.
Majalah Playboy, misalnya, terbit perdana di Indonesia pada 7 April 2006. Sayangnya, tak sampai 24 jam berlalu, majalah itu langsung dihadang beberapa kelompok masyarakat. Naasnya, dua bulan berselang, polisi menetapkan Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada, dan model majalah ini, yaitu Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi. Lalu, ada pula pelarangan pada majalah Lentera yang dibuat Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.
Pekan lalu (16/9/2019), konten Tempo kembali dipermasalahan. Kali ini yang merasa namanya tercoreng bukan penguasa, melainkan kelompok bernama Jokowi Mania. Edisi majalah berjudul “Janji Tinggal Janji” itu (16-22 September 2019) dianggap menghina Presiden Republik Indonesia sebagai simbol negara, dengan menyejajarkan gambar Joko Widodo dengan gambar bayangan sesosok berhidung panjang mirip Pinokio.
Majalah ini memang tidak dibredel. Namun, sebagian pendukung Presiden Jokowi nampaknya menggunakan cara lain untuk menjatuhkan Tempo, yakni dengan memberikan rating jelek atau “bintang 1” pada aplikasi Tempo yang termuat di Play Store. Di laman resmi Tempo di Play Store, Anda akan menemukan komentar-komentar pedas seperti: “Tidak netral lagi..”, “Disappointed with your cover page. Sorry, shame on you”, “Unethical journalism...”, “Just do install uninstall.. To give 1*.. Shame of u tempo..,” lengkap dengan rating satu bintang.
Atas ramainya rating jelek yang diberikan, rating aplikasi Tempo di Play Store langsung jeblok menjadi 2,4 sehingga tertinggal dari aplikasi media lain seperti Detik (dengan skor 4,4 di Play Store) dan Kompas.com (4,5).
Dalam jagat digital, rating adalah baik-buruknya muka. Di dunia ride sharing, misalnya, rating adalah tolok ukur kepuasan pelanggan ketika menggunakan layanan transportasi online. Bila seorang mitra ojek atau taksi online mendapat peringkat di bawah standar, maka kemitraan mereka terancam. Mitra dianggap tidak bisa memberikan layanan sesuai standar perusahaan pengelola. Para mitra bisa di-suspend atau bahkan diputus kemitraannya.
Business Insider, dalam sebuah laporannya, menyatakan bahwa rating merupakan “sesuatu yang krusial” bagi mitra aplikasi ride-sharing. Mengutip sebuah dokumen milik Uber bertahun 2014, rating 4,6 diartikan ancaman bagi para pengemudi. Bila mitra memperoleh nilai itu, Uber akan “mulai berpikir menendang pengemudi mereka dari sistem."
Dalam dokumen Uber yang dipublikasikan Business Insider itu, disebutkan ada 2-3 persen pengemudi Uber yang memperoleh rating di bawah 4,6 poin. Sementara itu, menurut laporan berjudul "The Numbers Behind Uber's Exploding Driver Force" yang terbit di Forbes pada 2015, terdapat 160 ribu pengemudi Uber. Artinya, ada 3.200 hingga 4.800 driver yang terancam tak bisa mencari nafkah lewat aplikasi yang dibidani oleh Travis Kalanick ini hanya gara-gara rating yang buruk yang mereka terima.
Google, selaku pemilik Play Store, sebagaimana diberitakan Techcrunch Mei lalu, memiliki hitung-hitungan rating tersendiri. Sejak pertengahan tahun ini, pemberian nilai rating diutamakan diambil dari tinjauan baru pengguna, bukan keseluruhan review yang diberikan semenjak aplikasi ada. Inilah yang nampaknya membuat rating aplikasi Tempo jeblok, seakan-akan tidak memperhitungkan pemberian review sebelum kasus cover Jokowi mencuat.
Namun, raksasa mesin pencari ini sesungguhnya peduli pada aplikasi-aplikasi yang diberi nilai kurang pas. Sebagaimana diwartakan Digital Trends pada akhir 2018 lalu, Google mengklasifikasi pemberian rating buruk dalam tiga kategori. Pertama, bad content (konten buruk) yakni ulasan di luar topik atau cenderung mengumbar kebencian. Kedua, ada fake review (tinjauan palsu) yakni setiap ulasan yang berupaya mempengaruhi posisi aplikasi dalam pemeringkatan secara berlebihan, baik dengan menggelembungkan jumlah tinjauan positif atau memberikan ulasan buruk agar aplikasi memiliki peringkat baik atau buruk. Ketiga, ada “incentivized review” yakni tinjauan yang berasal dari pengguna asli, tetapi mereka telah ditawari uang atau imbalan.
Jika tinjauan seperti ini yang diterima, aplikasi dapat memperoleh reputasinya kembali.
Aplikasi Tempo sendiri sempat menghilang dari Play Store. Namun, Handy Dharmawan, Head of IT Tempo Media Group, menyatakan pada Jumat lalu bahwa menghilangnya aplikasi Tempo terjadi karena masalah teknis.
Medan Tempur Dunia Maya
Media sosial, yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi, berubah menjadi medium sosial dan politik yang sangat kuat. Studi bertajuk "Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami Kembali Fenomena 'Arab Spring' dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional" yang dimuat di jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2014), menyimpulkan dinamika revolusi Arab Spring sangat dipengaruhi oleh warga yang aktif bersuara soal gerakan politik melalui media sosial.
Tak hanya Arab Spring. Pada 6 April 2009 di Moldova, demonstran memprotes hasil pemilihan legislatif yang dimenangkan oleh Partai Komunis Republik Moldova. Kemenangan partai tersebut dianggap sebagai kecurangan. Demonstran menghendaki perhitungan suara ulang. Sebagian besar demonstran, memanfaatkan Twitter untuk berdiskusi dan mengorganisir diri.
Sialnya, menurut Helen Mergetts dalam studinya Political Turbulence: How Social Media Shape Collective Action (2015), media sosial sesungguhnya tidak penting-penting amat ini hanya sebatas medium saja. Ini senada dengan skeptisisme Zeynep Tufekci, dosen pada University of Nort Carolina. Sebagaimana dikutip dari Vice Motherboard, Tufekci mengatakan bahwa media sosial memang menekan ongkos "koordinasi di lapangan" sehingga orang mengira Facebook atau Twitter berhasil memberdayakan mereka. Sayangnya, dalam jangka panjang, media sosial justru membuat diri mereka tak berdaya.
Tren media sosial sebagai alat revolusi telah mereda. Namun, medium ini masih diperebutkan untuk memengaruhi massa. Kontributor Pasific Standard Noah Berlatsky mengungkapkan bahwa kini media sosial jadi medan tempur antara kaum konservatif dengan kaum kiri, sosialis, pembela kesetaraan, anti-rasisme, feminis, dan pendukung hak-hak LGBTQ.
Tak hanya itu, Trump, presiden pilihan kaum konservatif, menuding media-media arus utama seperti The New York Times dan CNN sebagai biang hoaks.
Pada 2018 lalu, majalah Mother Jones menerbitkan bagaimana kanal sayap kanan bisa tubuh pesat dan menyediakan logistik perang di media sosial. Contoh yang disebutkan adalah aktivis konservatif Dennis Prager. Melalui kanal Youtube PragerU, Prager merilis video-video persuasif yang berargumen bahwa polisi tidak bias terhadap orang kulit hitam (di saat banyak sekali kasus rasisme polisi kulit putih) hingga perubahan iklim yang dianggapnya hoaks belaka. Video-video PragerU di Youtube menyatakan bahwa upah minimum di bawah $15 per jam di AS tak bermasalah dan menyangkal kesenjangan gender.
Sialnya, meskipun berisi konten-konten menyesatkan, video PragerU di Youtube sukses besar. Diperkirakan, 100 juta warga AS telah menonton video PragerU di Youtube.
Banyak orang terpengaruh. Banyak orang akhirnya larut dalam arus kebencian terhadap imigran, LGBTQ, gerakan buruh, perempuan, warga kulit hitam, dan seterusnya.
Pada kasus pemberian satu bintang pada aplikasi Tempo secara beramai-ramai, warganet terbukti mudah sekali didorong untuk membenci apa yang mereka anggap merugikan sosok yang mereka bela.
Baca juga artikel terkait MAJALAH TEMPO atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin