Bagaimana Menghadapi Trauma Setelah Peristiwa Bom Surabaya?
Uzone.id-Ledakan bom di Surabaya, Jawa Timur, terjadi secara bertubi-tubi, beberapa hari lalu. Selain menelan banyak korban, aksi terorisme ini juga ternyata meninggalkan trauma pada banyak pihak.
“Tentu trauma,” ujar Ratih Ibrahim, psikolog klinis sekaligus Direktur Personal Growth – Counselling & People Development Center, kepada Uzone.id.Menurut Ratih, trauma yang muncul bisa fatal, karena trauma teror adalah trauma yang sangat mengerikan.
Bahkan berdasarkan sebuah publikasi di situs resmi U.S. Department of Veterans Affairs, penelitian telah menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan secara sengaja menimbulkan efek kesehatan mental yang lebih lama, daripada bencana alam atau kecelakaan.
Penelitian juga telah menunjukkan bahwa orang yang paling berisiko mengalami trauma yang lebih parah adalah orang yang telah mengalami paparan terbesar dari sebuah peristiwa traumatis, seperti korban dan keluarga korban.
Namun, kadang-kadang, para petugas penyelamat juga memiliki hubungan yang erat dengan para korban yang meninggal.
Sejalan dengan temuan tersebut, Ratih mengatakan bahwa trauma tidak hanya terjadi pada korban langsung yang mengalami cedera, tetapi juga bisa terjadi pada orang yang tidak cedera tapi ada di tempat kejadian.
Ada pula korban trauma tidak langsung atau various victim yang menonton dan mendengar tentang peristiwa bom Surabaya, “Serta potential victim yang berpotensi jadi target korban juga,” ujar Ratih.
Trauma yang muncul pun meliputi trauma fisik, kognitif, dan emosi. Trauma fisik, yaitu luka dan kecacatan. Luka dapat sembuh, tapi kecacatan sebagai akibat bom akan membekas selamanya.
Sedangkan trauma kognitif seperti ingatan atau pikiran terkait peristiwa tersebut yang terus menghantui. Lantas, trauma fisik dapat berdampak pada perilaku yang mengganggu kualitas hidup korban, termasuk dalam interaksi sosialnya.
Ratih mengungkapkan bahwa masing-masing korban membutuhkan penanganan yang berbeda sifat dan intensitas. “Ada yang individual, satu per satu dengan terapis, ada yang sifatnya kelompok maupun terapis sosial,” kata Ratih.
Namun pada prinsipnya, yang diperlukan adalah rasa aman yang terjamin, sehingga korban aksi terorisme mempunyai ruang untuk memulihkan luka-lukanya dan menjadi sehat kembali.
“Rasa aman ini selain dari keluarga, adalah dari lingkungan sosial dan pemerintah,” ucap Ratih.