Bahasa Betawi atau Dialek Melayu?
Setelah membaca buku ‘Glosari Betawi’ (Ridwan Saidi) dan ‘Kamus Dialek Jakarta’ (Abdul Chaer) terlihat para pakar pun memiliki pandangan berbeda mengenai bahasa Betawi. (baca bagaimana saya menemukan buku-buku ini: Memburu Jejak Literatur Betawi)
Menurut peneliti Belanda C.D. Grijns, ‘bahasa Betawi’ pada dasarnya bukanlah bahasa (language), tapi suatu bentuk dialek (dialect) dari bahasa Melayu. Kamus tulisan Abdul Chaer lebih memilih peluluhan identitas bahasa Betawi menjadi bahasa Melayu dialek Jakarta.Sedangkan Saidi memiliki pandangan berbeda karena menurutnya orang Betawi sudah ditemukan sebelum orang Eropa tiba di Batavia (Nusa Kalapa) dan lingua franca Jawa dan Madura adalah bahasa Kawi, bukan Melayu.
Dalam perbendaharaan bahasa Betawi banyak kosa kata dari bahasa Kawi. Ditambah lagi dengan perbendaharaan bahasa Melayu, Arab, Portugis, Cina, Belanda melebih bahasa Melayu sendiri.
Di sekolah kita diajarkan lingua franca Nusantara adalah bahasa Melayu. Dan sepintas bahasa Betawi itu hanyalah bahasa Indonesia (Melayu) dengan menggantikan bunyi vokal ‘a’ di akhir kata menjadi bunyi ‘e’ (mis. ‘buka’ menjadi ‘buke’).
Dari situ juga ada beberapa penambahan unsur budaya dan serapan bahasa lain sehingga boleh masuk dalam definisi pertama ‘dialek’ Melayu. Di sini saya bisa mengerti posisi Abdul Chaer.
Namun, pemikiran saya lebih condong kepada pemikiran Saidi. Menurut salah satu definisi bahasawan, ‘dialek’ suatu bahasa adalah jika pengguna dialek tersebut dapat berbicara dengan pengguna bahasa utama tanpa kesalahpahaman.
Dengan kata lain, bahasa Betawi hanyalah dialek Melayu jika orang Betawi berbicara dengan orang Melayu tanpa ada salah pengertian. Selain sulit, saya bayangkan eksperimen di atas dapat menghasilkan hiburan yang patut menjadi ide sinetron komedi.
Sinetron Indonesia memang sangat populer di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Jika kita bertemu dengan jiran, mereka pun bangga menceritakan bahwa mereka ‘seronok’ mengikuti sinetron dan lagu-lagu Indonesia. Mereka dapat mengerti (sebagian besar) Bahasa Indonesia lalu mengapa kita tidak menyebut Bahasa Indonesia sebagai dialek Melayu?
Definisi bahasawan kedua untuk ‘dialek’ biasanya memiliki konotasi negatif sebagai bahasa informal, lisan, tidak terdokumentasi atau bahasa ‘slang’. Ditambah dengan pengaruh sosio-kultural, nasionalisme dan politik, yang seharusnya di dalam kategori ‘dialek’, justru menjadi ‘bahasa’.
Selain contoh Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu, di Eropa pun terjadi yang sama. Bahasa Belanda tidak disebut ‘Bahasa Jerman Dialek Belanda’ padahal bahasa Belanda masuk dalam rumpun bahasa Jerman.
Contoh yang lebih dekat adalah bahasa Minangkabau yang juga mengalami perdebatan yang sama namun tidak disebut ‘Bahasa Melayu Dialek Minangkabau’. Terlebih lagi banyak etnis Melayu di daerah penggunaan bahasa Minangkabau.
Karena hingga detik ini para bahasawan pun belum memiliki kesepakatan mengenai definisi ‘dialek’, saya lebih memilih sebutan ‘bahasa Betawi’ sebagai bahasa terpisah dan bukan ‘bahasa Melayu Dialek Betawi’, apalagi dialek Jakarta.
Selain alasan yang saya paparkan di atas, mungkin etnisisme saya sedikit mempengaruhi pendirian saya. Namun etnisisme ini yang mungkin menjadi pendorong kelangsungan hidup bahasa Betawi dan bahasa-bahasa lain di Indonesia.