Home
/
Music

Benarkah Musik Sedih bisa Menyembuhkan Depresi?

Benarkah Musik Sedih bisa Menyembuhkan Depresi?

Kolumnis: 12 May 2019
Bagikan :

Jika kamu adalah orang yang percaya musik dan suasana hati amat berkaitan erat, maka buku High Fidelity sepertinya bisa jadi teman baikmu. Di buku karangan Nick Hornby ini, tokoh utamanya adalah Rob Fleming, seorang pemilik toko musik yang merana karena baru saja ditinggal minggat kekasihnya.

Dia hanya punya tiga teman baik: musik dan dua pegawainya, Dick dan Barry. Di tengah suasana hati yang merana tak karuan, Rob sering bikin mixtape bareng Dick dan Barry. Isinya lagu-lagu yang berkaitan dengan patah hati, gulana, dan kesengsaraan karena kena pegat.

"Orang-orang khawatir kalau anak-anak main pistol-pistolan, atau remaja menonton video kekerasan. Para orang tua takut kalau kultur kekerasan itu akan mempengaruhi anak-anak. Herannya, tak ada yang khawatir kalau melihat anak-anak mendengarkan ribuan lagu tentang patah hati dan penolakan dan rasa sakit dan kesengsaraan dan kehilangan," racau Rob suatu ketika.

Di lain waktu, ketika ditanya "do you have (music) soul?", Rob menjawab dengan pandangan mata kuyu, "Tergantung." Lalu dia lanjut meracau.

"Mana yang hadir duluan? Musik duluan atau penderitaan? Apakah aku mendengar musik karena sedang menderita? Ataukah aku jadi menderita karena mendengar musik? Apakah semua musik itu membuatmu jadi orang melankolis?"

Pertanyaan eksistensialis itu lantas menjelma seperti pertanyaan klasik duluan mana ayam atau telur. Namun, di kasus penderitaan dan musik, setidaknya sudah ada jawaban ilmiahnya.


Baru-baru ini, The Verge dan British Psychological Society (BPS) membahas tentang penelitian berjudul “Why do Depressed People Prefer Sad Music?” (2019) (PDF) yang ditulis oleh Yoon, S., bersama 4 koleganya.

Pada penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal Emotion, para periset dari University of South Florida itu berhasil membuktikan bahwa musik sedih justru mampu menenangkan dan membangkitkan semangat orang yang menderita depresi.

“Kami mempelajari bagaimana depresi mengubah perilaku emosional, fisiologi, dan bagaimana perubahan-perubahan emosi itu mungkin berhubungan dengan mengapa orang menjadi depresi, mengapa mereka tetap tertekan atau bagaimana mereka pulih dari depresi,” ungkap Jon Rottenberg, salah satu anggota peneliti kepada WUSF News, stasiun radio milik University of Florida.
 
Alasan mereka menggarap penelitian ini berangkat dari keraguan terhadap kesimpulan studi yang dilakukan beberapa peneliti pada 2015 silam. Pada saat itu, Yael Millgram dan 3 rekannya merilis riset berjudul “Sad as a Matter of Choice? Emotion-Regulation Goals in Depression” (PDF) dan salah satu kesimpulannya adalah subyek penelitian yang depresi cenderung mendengarkan lagu-lagu sedih.

Saat itu, Millgram, dkk menyodorkan dua klip musik sedih (“Adagio for Strings” milik Samuel Barber dan “Rakavot” milik Avi Balili), dua klip musik bahagia (“Track 8” dari Jay Hannah” dan “Infernal Galop” karya Orpheus in the Underworld), serta dua klip musik netral (“Pickles” oleh Edgar Meyer dan “First Thing" oleh Four Tet).

Menurut Millgram, dkk, orang cenderung memilih untuk mempertahankan atau meningkatkan kesedihan mereka ketimbang meringankannya.

"Para peneliti lain berpikir bahwa orang yang depresi merasa dekat dan nyaman dengan kesedihannya. Karenanya, secara sadar atau tidak, mereka melakukan hal-hal untuk tetap dekat dengan perasaan sedih itu. Kami skeptis dengan kesimpulan itu," ujar Rottenberg.

Perasaan skeptis itu yang kemudian mendorong Yoon, Rottenberg dan para koleganya membuat penelitian tandingan. "Rasanya kok tidak mungkin ya ada orang yang ingin merasa depresi dan sedih. Karena depresi itu sangat tidak menyenangkan, makanya para penderitanya pergi berobat dan terapi untuk bisa sembuh," kata Rottenberg.


Penelitian Yoon dkk melibatkan 76 responden perempuan, dan 38 di antaranya adalah penderita depresi. Ada alasan kenapa para peneliti memilih responden semua perempuan. Para peneliti ini beranggapan perempuan dewasa mengalami depresi dua kali lebih banyak ketimbang pria.

Pada studi pertama, para peneliti ini menemukan hasil yang sama dengan riset milik Millgram, dkk: orang yang depresi cenderung lebih memilih musik sedih. Namun, Yoon S., dkk memperdalam penelitian itu dengan meminta responden untuk menceritakan perasaan mereka sesudah mendengar lagu-lagu sedih. Ternyata para responden merasa lebih baik.

Hasil itu nyaris serupa dengan riset terdahulu berjudul “Memorable Experience with Sad Music-Reasons, Reactions and Mechanisms of Three Types of Experience” (PDF) yang ditulis oleh Tuomas Eerola dan Henna-Riika Peltola.

Mereka menyimpulkan bahwa musik sedih bisa menghadirkan kesenangan dan kenyamanan, tapi sekaligus bisa membawa rasa sakit bagi orang yang berbeda.

Dalam situs resmi milik University of Durham, Henna-Riika Peltola menjelaskan bahwa musik sedih berhubungan dengan serangkaian emosi yang memberikan kenyamanan pada pendengarnya dan bisa menyebabkan emosi campur aduk dari mereka.


“Musik sedih juga dikaitkan dengan serangkaian emosi yang memberikan kenyamanan kepada pendengar. Itu berkaitan erat dengan kenangan dan keterikatan terhadap masa lalu. Dan hal-hal yang bikin nyaman itu dianggap bisa memberikan kelegaan dalam kondisi hidup yang sedang sulit," kata Peltola.

Namun, Sandra Garrido dari Western Sydney University tak sepenuhnya setuju jika musik sedih bisa begitu saja menyembuhkan orang yang depresi. Melalui artikel yang dipublikasikan di The Conversation, ia mengungkapkan alasannya.

Infografik Musik dan Depresi
Preview


Menurut Garrido, seseorang memang bisa memanfaatkan musik sebagai sarana katarsis, merasakan hubungan emosional dengan orang lain, maupun membantu mengatasi perasaan sedih atau berpikir untuk mengatasi kesulitan. Namun, pada orang yang depresi, mereka cederung kehilangan motivasi.

Ia pun membeberkan hasil studinya yang berjudul “Adaptive and maladaptive attraction to ngative emotions in music” (PDF) untuk memperkuat argumennya. Dalam penelitian yang ia lakukan di tahun 2013 tersebut, ia menemukan bahwa orang yang sedang di masa perenungan akan semakin tertekan ketika mendengarkan musik sedih. Masa ini biasanya berjalan beriringan dengan depresi.

Menurut Eerola dan Peltola perbedaan respons antara manusia satu dan lainnya terkait musik sedih dan pengalaman emosional itu wajar, sebab setiap orang memiliki profil alasan, mekanisme psikologis, dan reaksi yang berbeda.

Garrido berpendapat bahwa tak ada salahnya Anda mendengarkan musik sedih untuk mengobati suasana hati Anda. Namun ketika Anda mulai merasa tertekan, ada baiknya berhati-hati dengan musik yang didengarkan.

Tapi di antara perdebatan apakah musik sedih bisa membantumu mengatasi depresi atau tidak, apa yang dikatakan Rob Flemming mungkin tak akan bisa kalian bantah.

"Musik sentimentil itu punya cara hebat untuk mengajakmu kembali ke masa lalu sekaligus membuatmu tetap berada di momen sekarang. Jadi kamu bisa merasakan nostalgia sekaligus penuh harapan di saat bersamaan."
Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan menarik lainnya Widia Primastika

populerRelated Article