Home
/
Digilife

Indef Sebut Bukit Algoritma Berpotensi Mangkrak

Indef Sebut Bukit Algoritma Berpotensi Mangkrak

Birgitta Ajeng15 April 2021
Bagikan :

Apple Park di California, Amerika Serikat. (Ilustrasi/Foto: Unsplash)

Uzone.id - Bukit Algoritma tengah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat Indonesia. Ini merupakan duplikasi Silicon Valley yang digadang-gadang bakal menjadi pusat teknologi dan riset tanah air.

Beberapa pihak menyatakan apresiasi terkait Bukit Algoritma. Namun ada pula yang merasa proyek ini perlu dikaji lebih jauh, seperti ungkapan Kepala Center of Innovation and Digital Economy di Institute of Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda dalam diskusi online bertema Menyingkap Angan Silicon Valley ala Indonesia, Kamis (15/4).

“Memang kita patut untuk menelaah lebih lanjut tentang rencana dari pemerintah, saya tidak tahu juga ini bisa dibilang pemerintah atau tidak, karena beberapa wawancara, pionir menyebutkan bukan dari pemerintah. Namun yang digandeng juga ternyata BUMN. Mejadi aneh juga ketika dibilang ini full swasta, namun malah yang digandeng BUMN yang notabene itu bagian dari pemerintah,” ujar Huda.

Sebagai informasi, Bukit Algoritma dikabarkan dikembangkan oleh PT Amarta Karya (Persero). Proyek ini direncakan berdiri di atas lahan seluas 880 hektar di Sukabumi, Jawa Barat, dan diproyeksikan memakan biaya sekitar Rp18 triliun.

Baca juga: Apa Itu Bukit Algoritma Sukabumi yang Mirip Silicon Valley?

Lebih lanjut, Huda bahkan menekankan bahwa Silicon Valley ala Indonesia merupakan kehaluan atau angan-angan semata yang sulit untuk direngkuh. Ada beberapa faktor yang melandasi ucapan Huda.

“Kenapa saya sebut kehaluan, karena ada beberapa catatan yang saya temukan itu tidak bisa menunjang sebuah pembangunan Silicon Valley yang inklusif. Itu malah bisa jadi eksklusif dan bisa menjadi serangan balik bagi perekonomian nasional dan sosial,” ujar Huda.

Pertama, Huda menilai ekosistem Research and Development (R&D) di Indonesia masih sangat rendah. Ia menyatakan, “Proporsi dana R&D terhadap (Produk Domestik Bruto) PDB masih rendah. Kemudian produk high-tech Indonesia sangat sedikit, dan kebijakan insentif fiskal tidak optimal.”

Kedua, sumber daya manusia di tanah air dipandang masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam industry 4.0. Ketiga, ketimpangan digital masih tinggi dalam hal skill dan penggunaan produk digital.

Baca juga: Ini Dampak Pembangunan Bukit Algoritma Sukabumi, Silicon Valley-nya Indonesia

“Kalau kita lihat di ekosistem di R&D yang akan dibuat di Sillicon Valey-nya Indonesia, di Sukabumi, itu ternyata tidak mengedepankan BUMN dia yang bergerak di bidang ICT (Information and Communication Technologies), malah dia bergeraknya di bidang konstruksi. Ini letak permasalahannya,” tutur Huda.

Kemudian, ia membandingkan dengan Silicon Valley yang ada di Amerika Serikat. Yang dibangun pertama kali di sana bukan tempatnya, melainkan industrinya.

“Di mana industri yang dibangun itu merupakan industri-industri yang high-tech, yang dia bersinggungan langsung dengan pemerintah. Di Indonesia kebalikannya, yang dibangun malah fisiknya dulu, bukan teknologinya dulu.” Imbuh Huda.

Terkait ketimpangan digital, ia menilai masih banyak desa di luar Pulau Jawa mengalami sinyal susah, bahkan tidak ada sinyal sama sekali. “Terutama pada pulau di Maluku dan Papua, ada 70 persen lebih desa yang belum mendapatkan sinyal seluler yang lemah,” tuturnya.

Karena itu, Huda menyimpulkan bahwa Bukit Algoritma hanya program pembangunan secara fisik, dan tidak mengangkat konteks inovasi.

“Bukit Algoritma potensial mangkrak atau menjadi proyek bandara komersial yang hanya menjadi bengkel pesawat yang terjadi di Bandara Kertajati, Kuningan,” ujarnya.

VIDEO: Review Realme 8 Pro Indonesia

populerRelated Article