Cerita di Balik Kenaikan Tarif STNK
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif pelayanan publik di Kepolisian Republik Indonesia (Polri), terutama penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) hingga 300 persen, menimbulkan polemik.
Pemerintah terkesan saling melempar tanggung jawab terkait siapa yang mengusulkan kebijakan ini. Beberapa pihak juga mulai merasa ada yang janggal dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016, yang mengatur kenaikan tarif tersebut.Dua hari menjelang kebijakan ini berlaku, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar Rapat Kabinet Paripurna perdana 2017 di Istana Bogor, Rabu (4/1).
Dalam rapat tersebut Jokowi menyinggung kebijakan kenaikan tarif layanan kepolisian yang terlalu tinggi. Kepada jajaran kabinetnya, Jokowi mengingatkan agar tarif layanan publik tidak perlu dinaikkan terlalu tinggi, karena bisa memberatkan rakyat.
Pernyataan Jokowi ini seolah menyiratkan bahwa dia tidak sepakat dengan kebijakan kenaikan tarif layanan Polri hingga tiga kali lipat.
Padahal besaran kenaikan tarif ini ditetapkan dalam PP 60/2016 yang ditandatangani sendiri olehnya pada 2 Desember 2016. Dengan menandatangani PP tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Polri ini, artinya Jokowi menyetujui besaran kenaikan tarif tersebut.
(Baca: Sudah Teken Peraturan, Jokowi Minta Tarif STNK Jangan Naik Tinggi)
Hal ini mengundang pertanyaan besar. Apakah Presiden tidak mengetahui apa isi PP yang ditandatanganinya sendiri? Atau mungkin Jokowi baru menyadari dampak dari kebijakan ini, setelah dia menerbitkan PP ini.
Masalahnya kebijakan ini mulai berlaku pada 6 Januari 2016 dan masyarakat sudah mulai resah dengan simpang siurnya pemberitaan mengenai hal ini. Makanya pihak istana pun merasa harus meluruskan hal ini
Di saat tarif layanan di kepolisian mulai naik, Kantor Staf Presiden mengundang perwakilan Polri dan Kementerian Keuangan. Mereka diminta menjelaskan maksud dan tujuan dari kebijakan ini serta seperti apa proses pembahasan payung hukumnya kepada awak media di Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta (6/1).
Setelah itu masuk ke Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang kemudian dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Di sini pembahasannya cukup lama, hingga berbulan-bulan. Pembahasan PP yang awalnya dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan saat menjabat Menko Polhukam belum jugsa selesai, hingga kemudian dilanjutkan oleh Wiranto.
Sama halnya dengan yang dipermasalahkan Jokowi sekarang, besaran kenaikan tarif merupakan poin utama yang menjadi perdebatan panjang dalam pembahasan rancangan PP 60/2016.
Banyak kementerian dan lembaga menilai angka yang diusulkan Polri terlalu tinggi. Akhirnya semua kementerian dan lembaga yang terlibat sepakat angkanya diturunkan.
Askolani mengaku Kementerian Keuangan selalu mengawal proses pendiskusian mengenai rencana menaikkan tarif layanan Polri ini.
Baik di internal pemerintah, maupun yang dilakukan Polri dengan DPR, seperti dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dua tahun terakhir. (Baca: Kapolri: Usulan Kenaikan Biaya STNK Lebih Banyak dari DPR)
Kenaikan target PNBP Polri sebenarnya sudah pernah diusulkan dalam pembahasan APBN Perubahan 2016, menjadi sekitar Rp 7 triliun. Dalam pendiskusian ini Polri dan pemerintah mendapat banyak masukan dari Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Namun, karena revisi PP ini belum rampung, maka rencana menaikan penerimaan Polri tahun lalu urung dilakukan. Pemerintah dan DPR sepakat target PNBP Polri dalam APBN-P 2016 sekitar Rp 5 triliun.
Upaya meningkatkan PNBP memang sangat membutuhkan dasar hukum yang baru, mengingat aturan yang lama belum bisa mengakomodasinya. Salah satunya terkait beberapa pungutan baru yang akan menjadi sasaran.
Misalnya pungutan terkait layanan pelat nomor cantik yang belum diatur oleh PP 50/2010 tentang PBNP Polri. Kenaikan tarif layanan pun bisa melanggar PP ini, karena besaran tarif layanan yang terkait PNBP Polri telah ditetapkan dalam aturan tersebut.
Selain itu, PP yang baru ini akan mengatur beberapa hal terkait perbaikan sistem. Salah satunya ketentuan yang mewajibkan Polri segera menyetorkan PNBP ke kas negara, tidak boleh lagi ditahan. Polri juga dilarang menggunakan PNBP ini secara langsung tanpa mendapat izin dari Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara.
Dengan penjelasannya ini, Askolani memastikan bahwa pembahasan dan proses penyusunan PP 60/2016 yang merevisi PP 50/2010, sudah sesuai dengan ketentuan. Prosesnya sama seperti yang biasa dilakukan pemerintah dalam membuat aturan serupa. Bahkan proses yang dilalui dalam penyusunan PP ini tergolong lama.
“Biasanya secara normal (pembahasan PP) 3-4 bulan, tapi ini kan lebih dari setahun. Artinya memang pembahasannya di pemerintah mempertimbangkan dengan masak,” ujarnya.
Ungkapan Askolani ini mempertegas bahwa tidak ada misskoordinasi dalam pemerintah terkait kenaikan tarif layanan Polri yang diatur dalam PP 60/2016. Bahkan dia memastikan penyusunan PP ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kebijakan menaikan tarif layanan di kepolisian ini mungkin memang sudah setahun lebih di bahas oleh pemerintah, hingga melibatkan DPR.
Namun karena kurangnya sosialisasi, banyak pihak menganggap kebijakan tidak populis ini terkesan dipaksakan. Akhirnya, ketika aturannya terbit dan akan diberlakukan, pemerintah terlihat saling lempar tanggung jawab mengenai siapa yang mengusulkkan kebijakan ini.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi ada misskoordinasi dalam penyusunan PP yang mengatur kenaikan tarif layanan di kepolisian ini. Misalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan usulan kenaikan tarif ini datang dari kepolisian.
Padahal penerimaan negara setiap kementerian dan lembaga juga menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Selain itu, pernyataan Presiden Jokowi yang malah mempertanyakan kenaikan tarif layanan hingga 300 persen dalam PP PNBP Polri.
(Baca: Heboh Kenaikan Biaya STNK, Pemerintah Dinilai Kurang Koordinasi)
Apung juga merasa ada yang janggal dalam penyusunan PP ini. Salah satunya tidak ada uji publik atau kajian mendalam mengenai rencana kebijakan tersebut. "Ini yang menandakan ada yang tidak selesai dalam konteks ini. Tidak ada transparansi dalam rencana kenaikan ini," katanya dalam konferensi pers menanggapi PP 60/2016 di Jakarta, Kamis (5/1).
Sekretaris Kabinet Pramono Anung pun terkesan bungkam ketika ditanya masalah ketidaktahuan Presiden mengenai PP kenaikan tarif layanan kepolisian yang telah ditandatanganinya. Saat ditemui di Kantor Presiden, kemarin, dia enggan menanggapi pertanyaan media mengenai hal ini.
Di luar perdebatan masalah koordinasi antar lembaga ini, Polri mengaku punya beberapa alasan mengapa PNBP di institusi ini perlu ditingkatkan dengan menaikkan tarif layanannya. Kepala Divisi Humas Polri Boy Rafli Amar mengatakan peningkatan PNBP ini tidak lepas dari tuntutan negara dan pemerintah kepada Polri.
Polri merupakan salah satu institusi yang masuk dalam program reformasi birokrasi. Untuk menjalankan program perbaikan ini Polri merasa perlu tambahan dana, khususnya dalam hal pelayanan publik yang dirasa kurang transparan dan tidak akuntabel. (Baca: Jokowi Didesak Batalkan Kenaikan Tarif Pengurusan STNK)
Kemudian terkait dengan indeks keselamatan berlalu lintas yang juga penting untuk diperbaiki. “Jadi tidak mungkin kita ingin meningkatkan indeks keselamatan sementara investasi tidak ada pertumbuhan,” ujarnya.
Boy mengatakan Polri perlu menaikkan tarif layanan adalah karena sejak 2010 tarif layanan ini tidak pernah naik. Padahal harga bahan material yang digunakan untuk penerbitan surat-surat ini dan ongkos cetaknya sudah naik.
Tarif yang tak sesuai dengan kondisi sekarang ini menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil pemeriksaannya terhadap Polri pada 2015. BPK menilai angka-angka tarif yang tercantum dalam PP 50/2010 tentang PNBP Polri masih mencerminkan kondisi ekonomi tujuh tahun lalu. Atas dasar inilah Polri berinisiatif mengusulkan revisi PP tersebut.
Dia juga menyebutkan beberapa alasan mengapa tarif-tarif ini harus dinaikkan. Pertama, perlu adanya peningkatan fitur keamanan dan kualitas material surat-surat yang diterbitkan Polri, terutama STNK, SIM, dan BPKB.
Kedua, sebagai langkah reformasi birokrasi, Polri ingin meningkatkan pelayanan melalui sistem online. Jadi masyarakat bisa bisa mengurus STNK atau SIM di kantor pelayanan mana pun di seluruh Indonesia pendaftarannya pun bisa dilakukan melalui jaringan internet.
“Ini secara bertahap 2016-2017 akan direalisasikan di sejumlah Polda di kota-kota terbesar di seluruh Indonesia,” kata Boy.
Ketiga, modernisasi dan komputerisasi, serta peningkatan peralatan seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat. Perkembangan teknologi informasi ini juga mengharuskan Polri memiliki sistem dengan keamanan yang kuat.
Keempat, terkait dengan layanan lalu lintas. Polri ingin mengembangkan National Traffic Management System (NTMC) yang ada di tingkat pusat, hingga ke daerah dengan membuat Regional Traffic Management System (RTMC).
Kelima, masih terkait dengan reformasi birokrasi, Polri berencana meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaganya. Ini juga termasuk meminimalisasi adanya praktik pungutan liar (pungli) dan korupsi terutama dalam pelayanan publik. Menurut Boy, hal ini bisa lebih mudah dilakukan jika kesejahteraan petugas-petugasnya terpenuhi. Makanya perlu ada tambahan insentif bagi petugas.
(Baca: Pemerintah Atur Tarif Pelat Nomor Cantik, Paling Mahal Rp 20 Juta)
Askolani menambahkan hasil PNBP Polri ini sekitar 92 persennya akan dikembalikan ke institusi tersebut. Dana ini akan digunakan untuk peningkatan layanan yang terkait PNBP Polri. Sisanya akan digabungkan dengan penerimaan negara lainnya dalam APBN.
Sekadar informasi, kenaikan tarif layanan kepolisian sesuai PP 60/2016 diperkirakan akan membuat PNBP Polri bertambah sekitar Rp 2 triliun. Makanya dalam APBN 2017 Polri ditargetkan bisa menyumbang PNBP sebesar Rp 7,4 triliun, dari target tahun lalu Rp 5,4 triliun.