Home
/
Travel

Cheran: Kota yang Tidak Perlu Negara

Cheran: Kota yang Tidak Perlu Negara

-

Kolumnis: 06 January 2019
Bagikan :

Pertanyaan: jika politikus mulai menyebalkan, penjahat makin mengerikan, dan polisi terus-terusan korup tak karuan, apa yang harus dilakukan? Bagi masyarakat Cherán, hanya ada satu jawaban: usir mereka semua.

San Francisco Cherán adalah kota tempat bermukimnya masyarakat asli Purépecha. Terletak di negara bagian Michoacán, Meksiko, kota ini memiliki luas 221.000 kilometer persegi dan dihuni oleh 14.245 jiwa. Kegiatan ekonomi utama adalah pertanian, peternakan dan produksi kayu yang memanfaatkan sekitar 27.000 hektar hutan.

Cherán adalah wilayah yang damai sebelum dikuasai kartel narkotika. Tak hanya menjalankan bisnis obat-obatan, kartel di sana juga melakukan penebangan kayu secara liar hingga menghancurkan hutan kuno di Cherán. Situasi tambah runyam karena pemerintah dan aparat setempat juga turut terlibat. Bahkan sebagian besar tentara pun ikutan menerima suap kartel.

Dengan keadaan yang terus kacau, masyarakat sipil di Cherán pun memilih angkat senjata dan melakukan perlawanan. Upaya tersebut berhasil. Para politikus korup, polisi culas, dan sindikat kartel sekaligus para penebang liar tak lagi diberi kesempatan untuk menginjak tanah Cherán.

Hingga kini, Cherán masih menjadi kota otonom yang mampu menjalankan kehidupan sosial politiknya tanpa campur tangan pemerintah. Mereka membangun sistem pemerintahan baru tanpa walikota, merancang dewan kota, hingga membentuk milisi sipil untuk menggantikan polisi. Hasilnya: Cherán menjadi salah satu kota dengan tingkat kriminalitas terendah di Meksiko.

Sebab keberhasilan itu, pemerintah Meksiko akhirnya mempersilakan Cheran untuk membuat hukum sendiri yang tidak ada dalam konstitusi Meksiko. Salah satu di antaranya: larangan iklan partai politik.

Angkat Senjata Melawan Kartel, Aparat, dan Negara

Sebelum melakukan perlawanan, warga Cherán telah melakukan berbagai upaya selayaknya warga negara yang baik dan benar: melapor kepada negara. Dalam hal ini, pemerintah dan aparat. Namun, jangankan ditanggapi, baik pemerintah maupun aparat justru malah melindungi kartel sambil menikmati uang suap yang diberikan kepada mereka.

Sikap korup aparatur negara semacam itu membuat para penduduk Cherán berada dalam situasi terjepit. Dan ketika para penebang kayu yang mulai mendekati salah satu mata air di kota itu, orang-orang Cherán memutuskan untuk melawan. Elvira Romero, salah seorang konspirator perlawanan tersebut mengatakan kepada BBC:

“Kami khawatir. Jika Anda terus memotong pohon, air akan menjadi sedikit. Suami kami memiliki ternak, lalu di mana mereka akan minum jika musim semi sudah tidak ada?”

Hari itu, Jumat 15 April 2011, aksi massa yang dimotori para wanita itu mulai bergerak. Semula, bersama para wanita lainnya, Elvira menemui para penebang kayu tersebut di dalam hutan. Namun, alih-alih membuka diri untuk berdialog, para penebang itu justru memaki-maki mereka hingga mencoba untuk membunuh Elvira dan yang lainnya.

Tapi para wanita itu tak gentar. Mereka bahkan menempuh cara yang lebih nekat untuk kembali melawan: membajak truk milik rombongan penebang tersebut. Maka ketika kemudian ada sebuah truk yang berisikan para penebang lewat di rute Cherán, massa aksi segera memblokir dan menyandera penumpang di dalamnya.

Setelah memastikan semua tersandera, beberapa wanita lain menuju gereja setempat untuk membunyikan lonceng berkali-kali sebagai tanda siaga untuk warga lain. Sementara para pria berbagi tugas: menyalakan kembang api untuk mengingatkan seluruh kota dan bersiap di beberapa titik penting memantau ancaman.

Penduduk yang lain pun keluar dari rumah mereka masing-masing dengan membawa berbagai macam senjata yang bisa digunakan: golok, parang, tongkat, senapan, bahkan batu.

"Semua orang di jalanan berlarian dengan parang. Para wanita berlarian dengan wajah yang ditutup. Anda bisa mendengar orang-orang menjerit dan suara lonceng yang berdentum setiap saat,” ujar Melissa Fabian yang ketika ikut aksi tersebut masih berusia 13 tahun.

Beberapa jam berselang, rombongan penebang lain datang bersama ratusan polisi dan walikota. Kekisruhan pun tak dapat terelakkan. Dua orang penebang terluka usai ditembak kembang api oleh seorang warga setempat. Dalam ketegangan yang berlangsung intens, negosiasi alot terus dilakukan.

Hingga akhirnya para penebang kayu itu menyerah, polisi kalang kabut, dan walikota meringkuk ketakutan. Penduduk Cherán menang. Dan sebelum rombongan itu pergi, mereka meminta agar negara dan penebang dan kartel tidak lagi menginjakkan kaki di area sekitar.

“Saya ingin menangis jika mengingat hari itu. Seperti suatu film horor, tapi itu adalah hal terbaik yang dapat kami lakukan,” kenang Margarita, salah seorang wanita pemberani yang turut serta dalam perlawanan tersebut.

Sejak kemenangan tersebut, Cherán mulai membentuk pemerintahan sendiri. Para politikus dan polisi yang masih ada di sana mereka usir ke luar kota karena ditakutkan akan kembali berkongkalikong dengan kartel. Pelarangan partai politik mulai diberlakukan. Khusus itu, penduduk Cherán menganggap parpol hanyalah alat yang hanya berfungsi untuk memecah belah orang-orang.

“Satu-satunya hal yang dilakukan oleh partai-partai adalah memecah belah kami, Tidak hanya di sini - di seluruh negeri,” kata Salvador Ceja, salah seorang komisaris tanah komunal di Cherán, seperti dilansir The Guardian

Sebab itu pula, jika Anda kebetulan dapat berkunjung ke Cherán, jangan harap menemukan secuil pun publisitas parpol. Yang justru marak di tiap tembok adalah berbagai mural wajah tokoh revolusioner Meksiko, Emiliano Zapata, atau coretan-coretan yang menghina parpol seperti: “Partai politik bangsat" atau "Cherán bukan mainan".

Selain membentuk pemerintahan yang otonom, penduduk Cherán juga merancang Ronda Comunitaria (sebuah milisi yang terdiri dari pria dan wanita lokal), untuk menggantikan peran aparat. Nantinya, milisi ini akan selalu berjaga di pos pemeriksaan bersenjata di 3 jalan utama yang menuju ke pemukiman untuk menghalang pembalasan penebang kayu dan kartel obat bius.

Selain itu, masing-masing dari empat distrik di Cherán juga turut mengirim para wakilnya ke sebuah dewan kota yang dinamakan Dewan Tetua Cherán. Anggota yang terpilih akan mendapat mandat selama tiga tahun. Dewan besar dan komite lainnya inilah yang dipercaya untuk mengendalikan semua aspek kehidupan rakyat.

Infografik citra di balik bendera hitam

Pilihan untuk menjadi otonom membuat tingkat kejahatan di Cherán telah menurun drastis dibanding negara bagian Michoacan lainnya. Tidak ada rekaman pembunuhan, penculikan atau penghilangan yang tercatat di kota tersebut selama setahun terakhir sejak mereka mendeklarasikan kemerdekaannya.

Jika pun ada kejahatan, sebagian besar hanya pelanggaran kecil, seperti penyalahgunaan alkohol. Bagi mereka yang dianggap telah berbuat onar, dewan kota akan memberikan hukuman berupa denda hingga pekerjaan pelayanan masyarakat, ditahan selama beberapa malam di balik jeruji besi. Sementara pengacara federal hanya dipanggil dalam kasus kejahatan serius yang amat jarang terjadi.

Sejak saat itu pula, para penduduk di Cherán telah menanam kembali pepohonan di lahan sekira 3.000 hektare. Aturan baru pun ditegakkan: setiap orang yang ingin menebang pohon harus mendapat izin dari pemerintah setempat, dan undang-undang tersebut diberlakukan dengan ketat. Sebelumnya diperkirakan lebih dari 17.000 hektar hutan sebelumnya dirusak oleh para penebang liar.

Kisah mengenai keberhasilan Cherán hidup tanpa negara mengundang decak kagum global. Barangkali kisah tersebut dianggap semacam utopia yang akhirnya tuntas. Padahal, bentuk tradisional pemerintahan seperti sekarang telah dijalankan masyarakat Cherán sejak 40 tahun lalu, sebelum para elite parpol datang dengan janji-janji manisnya, dan negara dengan keculasannya.
Baca juga artikel terkait CHERAN atau tulisan menarik lainnya Eddward S Kennedy
populerRelated Article