Dampak Psikologis yang Buruk dan Panjang akibat Tes Keperawanan
"Kayak dibuka gitu, jadi dimasukin dulu jarinya (ke dalam anus), abis itu dibuka, kayak dimasukin lagi, kayak dikodok (dikorek) dikit, mungkin kayak dilihat gitu ya, itu (himen) tuh masih ada atau enggak," tutur Pertiwi.
Pertiwi (bukan nama sebenarnya) sedang menceritakan pengalamannya menjalani "tes keperawanan" demi bisa menikah dengan laki-laki pilihannya, seorang anggota TNI. Menurutnya, tes yang ia jalani pada kuartal tiga tahun 2018 itu tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya."Kalau dari fisik yang ngilunya lubang itu yaudah kayak cuma sehari doang. Cuma kalau ‘tes keperawanan’ ini kan diinget terus," ujarnya saat ditemui tim kumparan pekan lalu.
Inez Kristanti, psikolog klinis dewasa di Klinik Angsamerah, juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, "tes keperawanan" bisa memberikan dampak psikologis kepada orang yang menjalaninya.
Ia menjelaskan bahwa seksualitas adalah ranah pribadi seseorang. Ketika seksualitas itu dijadikan konsumsi publik atau pihak yang berwenang, hal itu bisa memberi dampak negatif pada psikologis seseorang.
"Memang sangat tidak nyaman rasanya, ketika area pribadi kita, tanpa kita berikan persetujuan, diberikan intervensi," kata Inez saat ditemui tim kumparan di Klinik Angsamerah, Menteng, Jakarta, Rabu (21/11).
"Mungkin tidak sakit, tapi tidak nyaman. Nah kalau misalkan kita yang secara voluntary (sukarela) periksa (organ kewanitaan) saja bisa merasa tidak nyaman, apalagi misalnya kita lakukan itu atas dasar kewajiban," ujarnya.
Inez menambahkan bahwa dampak psikologis juga bisa berkepanjangan, jika karena "tes keperawanan", si perempuan gagal mendapatkan sesuatu. Pasalnya hal ini bisa mempengaruhi cara dia memandang dan menghargai dirinya sendiri di masa depan.
Padahal, menurut Inez, nilai dari seorang perempuan tidak bisa dinilai dari keperawanannya. Ia menambahkan bahwa nilai seorang manusia, baik perempuan maupun laki-laki, itu dilihat dari keseluruhan diri mereka.
"Jadi kita sebagai manusia, sebagai orang yang mampu bekerja, mampu berpikir, mampu berpendapat, mampu menghasilkan sesuatu, dan mampu berkarya, di situlah keberhargaan kita," kata Inez.
"Karena pada dasarnya semua manusia itu berharga. Sehingga, kalau misalkan menaruh keberhargaan di himen (hymen) saja, sayang rasanya," tambahnya.
‘Lulus’ dan ‘gagal dalam ‘tes keperawanan’
Kegagalan yang dimaksudkan Inez untungnya tidak dialami oleh Pertiwi. Di hari yang sama ia menjalani "tes keperawanan", ia langsung mendapatkan hasil tesnya.
Hymen = Positif (+)
Begitulah tulisan hasil tes yang diterima oleh Pertiwi. Ia dinyatakan memiliki himen (hymen) yang masih utuh alias positif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, himen diartikan sebagai selaput dara. Jaringan kulit sangat tipis yang melapisi bukaan vagina inilah yang memang sering dijadikan sebagai tolak ukur keperawanan perempuan.
Karena masih memiliki himen yang utuh, maka Pertiwi dianggap masih perawan. Jadi, ia dianggap “lulus” dalam "tes keperawanan" ini. Kepada kumparan, Pertiwi mengatakan bahwa dirinya akan melangsungkan pernikahan dengan prajurit TNI idamannya pada akhir 2018 ini.
Jika Pratiwi dianggap “lulus” dalam "tes keperawanan", hal sebaliknya dialami oleh Zakia (nama lengkapnya tidak sebutkan dengan alasan keamanan). Kepada Human Rights Watch (HRW), Zakia mengeluhkan bahwa dirinya telah gagal dalam ujian seleksi polisi wanita (polwan) yang diadakan pada awal tahun 2018, yang salah satu tahapannya adalah berupa “tes keperawanan”.
Australian Broadcasting Corporation (ABC), media yang berbasis di Australia, memberitakan keluhan Zakia ini pada Oktober lalu dengan tajuk “Indonesian policewomen measured through 'purity and beauty', subjected to virginity testing”.
Dalam laporan ABC tersebut, Zakia mengatakan bahwa dalam "tes keperawanan" ia jalani, petugas dari tim seleksi kepolisian tidak hanya memasukkan jari ke dalam anusnya, tapi juga ke dalam vaginanya.
"Mereka tidak hanya memasukkan jari mereka ke vagina saya, tetapi juga ke anus saya. Mereka terus memeriksa... itu sangat menyakitkan," katanya, sebagaimana dikutip dari ABC.
“Setiap kali saya mengingat apa yang telah terjadi, saya menangis … Saya merasa seperti tidak ingin hidup lagi.”
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa Zakia adalah seorang atlet bela diri. Selama bertahun-tahun ia telah banyak melakukan aksi split yang mungkin telah merobek himennya.
"Suatu kali, saya terjatuh dan vagina saya menabrak balok kayu, tetapi saya tidak tahu apakah himen saya robek (atau tidak)," katanya.
"Ibu saya mengatakan kepada saya untuk tidak mengkhawatirkannya ... tetapi saya mengatakan (kepada petugas polisi yang mewawancarai saya) bahwa saya ingat pernah merasakan sakit yang luar biasa di vagina saya karena terjatuh --setelah itu, wawancara selesai," tuturnya.
Zakia mengatakan dalam tes seleksi polwan ini ia diintimidasi oleh petugas untuk "mengaku sepenuhnya.” Ia tetap bersikeras bahwa dirinya masih perawan, tapi pada akhirnya ia gagal dalam putaran kedua proses seleksi tersebut.
Kepada kumparan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo membantah bahwa Polri menerapkan "tes keperawanan" untuk seleksi polwan. “Ini (‘tes keperawanan’) nggak ada di Polri,” kata Dedi saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (23/11).
Namun begitu, peneliti Indonesia untuk HRW Andreas Harsono mengatakan bahwa setiap tahunnya HRW masih menerima keluhan soal "tes keperawanan" yang dilakukan TNI maupun Polri.
Simak cerita selengkapnya dalam topik Menerawang 'Tes Keperawanan'.