Di Jepang, Tukang Bully di Medsos Dihukum 1 Tahun Penjara
Uzone.id - Masih ingatkah kalian dengan kasus Hana Kimura? Ia adalah seorang pegulat muda asal Jepang sekaligus bintang serial Terrace House di Netflix yang meninggal dunia akibat dirundung di media sosial.
Berkaca dari fatalnya kasus bullying di medsos, parlemen Jepang akhirnya meloloskan undang-undang baru untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada para pelaku bullying di media sosial atau cyberbullying.Amandemen hukuman pidana yang baru ini akan mulai berlaku akhir musim panas ini. Dilansir dari The Hollywood Reporter, Kamis (16/06/2022), hukuman maksimal tukang bully di media sosial akan ditingkatkan menjadi maksimal 1 tahun penjara dan denda 300 ribu yen atau sekitar Rp33 juta.
Sebelumnya, para perundung online di Jepang hanya dihukum maksimal 30 hari dan denda hanya 10 ribu yen atau sekitar Rp1,1 juta saja.
Baca juga: Meta Klaim Jumlah Konten Bullying di Facebook Terus Menurun
Tak hanya menaikkan hukuman, UU pembatasan penuntutan juga ikut ditingkatkan dari yang awalnya satu tahun menjadi 3 tahun. Perubahan UU ini akan mulai berlaku pada bulan Juli mendatang.
Kasus perundungan yang terjadi pada Hana Kimura menjadi isu yang menyita banyak perhatian warga Jepang. Pegulat muda yang juga punya darah Indonesia ini mengakhiri hidupnya karena dugaan bullying yang ia terima di jagat internet.
Diketahui beberapa pelaku mengirimkan pesan-pesan yang mempertanyakan nilai hidupnya dan bahkan berani menanyakan kapan ia akan meninggal.
Sang ibunda, Kyoko Kimura, kemudian mulai berkampanye agar Jepang memperkuat undang-undang cyberbullying di negara mereka dan protes mengapa pelaku pelecehan putrinya tidak dihukum.
Baca juga: Survei: 5 dari 10 Orang Indonesia Alami Cyberbullying
“Saya ingin orang-orang tahu kalau ini adalah tindak kejahatan,” kata Kyoko Kimura setelah UU ini disahkan.
Namun, UU baru ini mendapat tentangan dari beberapa advokat dan juga anggota parlemen. Mereka menyebut kalau UU ini akan berdampak buruk pada kebebasan berbicara dan menghalangi kritik pada politisi dan tokoh masyarakat.
Untuk mengatasi kekhawatiran ini, ketentuan tambahan kemudian ditambahkan pada UU tersebut dimana hal ini mewajibkan peninjauan dilakukan dalam waktu 3 tahun untuk menilai dampak terhadap kebebasan berbicara.