e-KTP, Problem Tanpa Jeda?
e-KTP menyimpan begitu banyak masalah, tak henti-henti dan seolah terus menerus memfabrikasi berbagai problem. Belum lagi usai terbongkar seluruh mata rantai kejahatan korupsi di e-KTP tiba-tiba kita dikejutkan pada praktik ilegal penjualan blanko KTP. Kendati blanko dilarang untuk diperdagangkan tapi justru malah marak diperjualbelikan.
Fakta ini melengkapi kasus sebelumnya, di akhir Mei 2018, ketika penduduk menemukan ribuan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) berceceran di Jalan Raya Salabenda, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.Saksi mata menjelaskan, peristiwa itu terjadi, saat truk engkel yang membawa kardus berisi ribuan e-KTP melaju dari arah Kayumanis menuju Parung. Kardus itu kemudian terjatuh, menyebabkan isinya berantakan di jalanan. "Banyak banget. e-KTP-nya itu tadi jatuh dari mobil engkel."
Pada konteks korupsi e-KTP kini tak jelas lagi, apakah kasus ini akan dibongkar tuntas karena baru 8 orang saja yang menjadi “pesakitan” dan tengah menanggung hukumannya. Padahal ada begitu banyak pihak lain yang diduga terlibat dan menikmati uang haram dari koupsi e-KTP.
Ketua KPK, Agus Raharjo berjanji, pascaputusan kasus Setyo Novanto, April 2018, untuk terus membongkar kasus ini. Tapi delapan bulan sudah berlalu, kabar berita pengembangan kasus e-KTP nyaris tak jelas terdengar lagi, proses dan progresnya.
Padahal di dalam persidangan, Setyo Novanto memberi keterangan, dia mengonfirmasi berbagai nama yang pernah disebut-sebut di awal sekali persidangan e-KTP atas nama terdakwa lainnya dan juga nama lain yang kemudian dikemukakannya.
Mereka itu, misalnya saja: Ketua Komisi II Pak Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Melchias Mekeng, Tamsil Linrung, Olly Dondokambey. Setyo menyebutkan dua nama baru lainnya yang sebelumnya tak pernah muncul dalam kasus ini, yaitu: Puan Maharani dan Pramono Anung.
Salah satu media mengutip putusan persidangan yang menyebutkan setidaknya 27 pihak menikmati uang hasil korupsi di dalam pembacaan putusan kasus Setya Novanto. Beberapa nama beken di antaranya, Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Miryam S Haryani, Markus Nari, Ade Komarudin, M. Jafar Hafsah, dan beberapa Anggota DPR 2014-2019.
Ada juga nama lain yang diketahui publik dan pernah disebut di dalam dakwaan kasus e-KTP dengan terdakwa Sugiharto. Misalnya saja, Anas Urbaningrum, Mirwan Amir, Arif Wibowo, Agun Gunandjar Sudarsa, Mustokoweni, Ignatius Mulyono, Taufiq Effendi, dan Teguh Juwarno.
Kembali ke soal adanya praktik ilegal penjualan blanko e-KTP kendati blanko dilarang untuk diperdagangkan. Fakta ini hendak menegaskan, problem e-KTP nampaknya kian bertambah runyam. Apalagi, celakanya, penjualan blanko e-KTP itu tak hanya dapat ditemukan di tempat, seperti: di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat tapi juga pada toko yang ada dalam platform e-dagang, Tokopedia.
Temuan ini menunjukkan, adanya praktik ilegal penjualan blanko sudah lama terjadi dan mungkin sangat massif padahal blanko tersebut dilarang untuk diperdagangkan. Blangko e-KTP merupakan dokumen negara dan bersifat rahasia.
Fakta di atas melengkapi kekisruhan soal e-KTP yang pernah muncul. Beberapa tahun lalu, ada kisruh soal akurasi data di e-KTP. Mendagri Tjahjo Kumolo sampai berjanji untuk melakukan evaluasi atas e-KTP karena ditemukan potensi ketidakakuratan dalam pendataan. Ternyata, ada dua pengelola database yang menyebabkan ketidakakuratan data.
Dia menyatakan "… aplikasi dan database masih dikelola oleh vendor pelaksana, dampak adanya dua database SIAK dan e-KTP menyebabkan tidak jelasnya acuan sebagai referensi data kependudukan …" dan "… Ini yang dipersoalkan. Basis kartu e-KTP terindikasi tidak akurat yang menyebabkan gagalnya integritas data pada instansi lain misalnya KPU …" Pertanyaannya, apa semua soal di atas sudah tuntas diselesaikan dan bagaimana memastikannya?
Itu sebabnya tidaklah mengherankan bila kesangsian atas data dalam kaitannya antara e-KTP juga berkaitan dengan pemilihan presiden dan legislatif. Karena ada jutaan pemilih yang diduga belum masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini dikarenakan data pemilih yang masih simpang siur sehingga memicu adanya kecurangan pemilu. Ada tudingan bahwa sekitar 31.975.830 juta pemilih yang telah merekam e-KTP belum masuk DPT.
Salah seorang Sekjen Partai menyatakan “KPU sebelumnya menerima data analisis daftar pemilih dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Tercatat 31 juta pemilih yang telah merekam e-KTP belum masuk DPT. Karena itu, Kemendagri dituding “menyelundupkan” data di lapangan sebesar 31 juta suara.
Tudingan seperti itu juga berdasarkan berbagai pengalaman dalam proses pemilihan. Misalnya saja, mantan Cagub Jateng, Sudirman Said, pernah menyampaikan DPT bermasalah itu sangat beragam. Mulai dari nomornya ganda, pemilihnya ganda, nomor KTP tidak jelas, hingga nama-nama pemilih yang hanya tiga huruf. Dia bahkan menyatakan “Yang jelas, itu bukan nama orang, akan tetapi nama mesin. Itu kalau dihitung, me-review dari 24 kabupaten/kota, potensinya sampai dengan 3,7 juta...”. Hal ini sangat mengerikan.
Kalau problem e-KTP tidak pernah berhasil diselesaikan dan Pimpinan KPK tidak serius menuntaskan seluruh pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP maka sesungguhnya demokrasi dengan; prosesnya tengah dikorupsi secara sistematis dan terstruktur. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, semua elemen masyarakat yang menginginkan demokrasi Indonesia berjalan baik dan lancar harus mengawal penuntasan kasus korupsi e-KTP dan memastikan penyelesaian problem e-KTP lainnya yang sebagiannya ditujukan untuk memastikan akurasi DPT untuk Pilpres dan Pileg.
Selamat Hari Anti Korupsi 9 Desember 2018
DR. Bambang Widjojanto, Dosen Fakultas Hukum Trisakti dan FIA UI