Euforia Mobil Listrik di Indonesia: Solusi atau Masalah?
Foto: Uzone.id
Uzone.id - Beberapa tahun terakhir, Indonesia sedang dihebohkan dengan mobil listrik. Dimana-mana mobil listrik dan isu ini selalu menarik karena sampai saat ini masih lebih banyak yang penasaran ketimbang membelinya.
Wajar kalau mobil listrik menimbulkan penasaran berlebih. Sebab, era kendaraan bermesin bakar sudah terjadi selama seratus tahun lebih, sehingga tidak akan mudah untuk move on dan berpaling ke mobil listrik.Namun, pemerintah Indonesia tetep keukeuh untuk terus mengakselarasikan pertumbuhan mobil listrik di Tanah Air. Berbagai cara dan inovasi kebijakan diterapkan untuk menarik minat warga membeli mobil listrik.
BACA JUGA: Jokowi 'Presiden Otomotif' Indonesia dan Ironi Kampanye Mobil Listriknya
Tapi tetap saja, pasarnya masih segitu-segitu aja. Masyarakat masih enggan untuk membelinya. Kalaupun ada yang membeli, itu merupakan pembelian mobil kedua atau ketiga, masih jarang sekali pembeli pertama mobil listrik.
Apa yang membuat mobil listrik masih sulit diterima masyarakat? mind set jadi salah satu faktor, yang pada akhirnya memunculkan mitos tertentu terhadap mobil listrik. Ada yang benar, ada juga yang salah.
Stasiun dan durasi charging belum ideal
Masalah pertama yang bakal mengintai para pemilik mobil listrik adalah ketersediaan stasiun pengisian daya baterai. Memang, sudah mulai bermunculan, tapi kalau dibandingkan dengan massif-nya jumlah SPBU, masih sangat sedikit sekali.
Namun bagi pabrikan yang sudah memasarkan mobikl listrik, tentu infrastruktur bukan masalah, karena semua itu hanyalah soal mind set itu tadi. Bagaimana mengubah kebiasaan dalam berkendara.
“Sebenarnya sama aja. Pola pikir kita aja yang harus dirubah. Kita biasa isi bensin berapa liter? untuk jarak berapa? Ya mobil listrik juga begitu. Bisa diperkirakan kan soal ketersediaan daya dan jarak tempuh setiap harinya,” ujar Makmur, COO Hyundai Indonesia beberapa waktu lalu.
Citroen—yang baru saja meluncurkan mobil listrik di Indonesia juga berpendapat sama. Infrastruktur bukanlah masalah dari mobil listrik.
CEO Citroen Vincent Cobee, mengatakan, setiap negara di dunia kesulitan dengan perkembangan kendaraan listrik, bukan hanya satu atau dua negara.
"Kenyataannya adalah lebih dari 80 persen Anda mengecasnya di rumah. Jadi, listrik di rumah bukanlah masalah," ujar Cobee.
Baiklah, soal infrastruktur titik-titik pengecasan bukan masalah karena bisa dirumah—tentu saja dengan daya listrik ideal diatas 3.000watt. Sehingga belum bisa menjangkau banyak kalangan.
BACA JUGA: Luhut: Semua Pabrikan Mobil Listrik Bakal Masuk Indonesia
Jadi, stasiun pengecasan masih menjadi solusi sementara saat ini ditengah jumlahnya yang terbatas. Dan kalau benar nantinya mobil listrik booming di Indonesia, bisa dibayangkan bakal seperti apa kondisinya.
“Yang kita lihat itu adalah ketersediaan baterai saat ini dan charging, kalau mendadak ribuan atau puluhan ribu. Satu bulan di Jakarta itu demand-nya bisa 30-40 ribu motor. Kalau itu terjadi, charging itu ada di mana gitu lho, kalau charging tidak tersedia," komentar Dyonisius Beti, Presdir dan CEO Yamaha Indonesia.
Bahkan, Chery yang juga punya line-up mobil listrik di negeri asalnya, masih enggan untuk menghadirkan mobil listrik di Indonesia dalam waktu dekat karena persoalan infrastruktur. Hasil survey mereka, mulai banyak pengguna mobil listrik yang mengeluh karena harus antre lama sekali di stasiun pengisian daya mobil listrik.
Seperti kita ketahui, saat ini teknologi pengecasan baterai mobil listrik masih membutuhkan waktu yang relatif lama. Paling cepat 1 jam, itupun sudah mengandalkan teknologi fast charging. Kalau pengisian biasa, rata-rata 4-16 jam!
Sementara mengisi BBM paling lama hanya 10-15 menit, ini pun kalau harus mengantre terlebih dahulu.
Mobil Listrik tidak 100 persen ramah lingkungan
Kampanye pemerintah dan pabrikan pembuat mobil listrik adalah soal isu lingkungan. Mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi. Dalam hal ini, benar.
Tapi untuk mewujudkan sebuah mobil listrik yang ramah lingkungan tersebut, proses produksinya masih mengotori lingkungan, salah satunya dalam proses pembuatan baterai dan proses produksi listrik itu sendiri.
Kilas balik ke proses menghasilkan listrik yang membutuhkan bahan bakar fosil, yaitu batu bara, jadi penggunaan mobil listrik semakin banyak maka butuh lebih banyak listrik sehingga dibutuhkan lebih banyak bahan bakar fosil.
Polusi yang disebabkan oleh sumber penghasil listrik, ditanggung oleh masyarakat desa karena letak industri yang berada di desa.
Kemudian, baterai yang digunakan mobil listrik juga memiliki batas usia pemakaian. Jika sudah melewati batas waktunya, maka harus diganti dengan baterai baru.
Hal tersebut menyebabkan baterai lama yang sudah tidak terpakai harus dibuang sebagai sampah elektronik dan menjadi permasalahan lingkungan.
Menurut International Council of Clean Transportation (ICCT), sebanyak 99 persen baterai bekas didaur ulang di Amerika. Namun, hanya 5 persen yang berhasil memanfaatkan kembali lithium yang ada pada baterai tersebut.
BACA JUGA: Sah! Mobil dan Motor Listrik Bebas Pajak di Indonesia
Sisanya, dikoleksi, dibakar, dan dibuang di tempat pembuangan sampah. Hal ini tentunya sangat tidak ramah bagi lingkungan.
Jadi, kesiapan Indonesia dalam pengembangan dan penggunaan kendaraan listrik saat ini belum sepenuhnya siap karena perihal infrastruktur.
Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam penggunaan kendaraan listrik ini, seperti pemodelan baterai, port pengisian baterai, hingga persyaratan pengisian baterai agar sesuai dengan profil mengemudi masyarakat.
Berdasarkan data hasil riset ENVIHSA FKM Universitas Indonesia yang dikutip Uzone, sumber daya listrik di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (61,60 persen), pembangkit listrik tenaga Gas dan Uap (16,13 persen).
Kemudian pembangkit listrik tenaga air (7,655 persen), pembangkit listrik tenaga diesel (7,16 persen), dan lainnya (7,46 persen).
Total listrik yang dihasilkan adalah 262.661,38 Gwh serta didistribusikan sebesar 222.963,73 Gwh.
Dari total listrik yang dihasilkan tersebut, Pulau Jawa adalah penerima terbanyak, yaitu 159.837 Gwh atau sebesar 71,69 persen dari total listrik yang dihasilkan Indonesia (BPS, 2018).
Jadi jika kendaraan listrik digunakan secara nasional maka permintaan akan listrik juga akan meningkat dan salah satu tantangan yang sulit adalah penambahan daya listrik di luar Pulau Jawa.
Selain itu, karena sumber listrik terbesar di Indonesia berasal dari PLTU batubara, maka akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu pencemaran udara.
Selain itu, proses tambang yang mengekstrak batu bara sangat membutuhkan energi dan menyebabkan polusi. Solusi yang ditawarkan mengenai penggunaan baterai berkali-kali tetap membutuhkan proses yang panjang, mekanisme daur ulang yang matang, dan mahal.
Kesimpulannya, mobil listrik tidaklah zero emissions karena tetap mengeluarkan CO₂ saat digunakan dan pada proses mendapatkan listriknya membutuhkan bahan bakar fosil dalam jumlah besar.