Geliat Karimunjawa yang Makin Berpijar
Anging siang menyusup ke Sekolah Dasar Negeri Parang 02. Rabu pekan lalu, pintu-pintu kelas sengaja dibuka agar udara sejuk menyapa para siswa yang sedang belajar, melengkapi hembusan angin dari kipas listrik yang terpasang di langit-langit ruangan. Beberapa murid kelas empat yang sedang mengerjakan soal matematika memilih untuk menyelesaikan tugasnya di teras sekolah.
Kegiatan belajar di sekolah yang berlokasi di Desa Parang, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah tersebut berlangsung hingga puku l 11 siang. Hadirnya listrik di siang hari cukup membantu kenyamanan 61 murid di sana mengikuti proses belajar, seperti untuk menyalakan kipas angin tadi.Listrik di siang hari merupakan hal baru bagi penduduk di kepulauan Karimunjawa, termasuk Pulau Parang yang dihuni 1.143 jiwa. Selama bertahun-tahun, masyarakat di sana hanya memperoleh aliran setrum selepas petang. Setrum dari jaringan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Kecamatan Karimunjawa pun hanya dinikmati selama enam jam dengan batasan 600 wh per hari per kepala keluarga.
Namun sejak Juni lalu, listrik sudah berpijar selama 24 jam di tiga pulau Kecamatan Karimunjawa, yakni Parang, Genting, dan Nyamuk. Hal ini merupakan buah kerja sama pemerintah Indonesia dan Denmark melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal di tiga pulau tersebut.
(Baca: Empat Proyek Energi Bersih Denmark di Jawa Tengah Siap Beroperasi).
“Sekarang bisa lebih santai seperti memakai kipas angin. Tidak terlalu berhitung seperti sebelumnya,” kata Ahmad Rifai, guru kelas 4 SD Negeri Parang 02. “Kami mengupayakan kegiatan belajar-mengajar nyaman. Seserius apapun belajar tapi murid tidak nyaman, rasanya hasilnya tidak akan maksimal.”
Pulau Parang merupakan satu dari lima pulau berpenghuni dalam deret kepulauan Karimunjawa di utara Jawa Tengah. Penyediaan listrik ke Desa Parang merupakan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara. Sebelum ini, Pemda mesti mensuplai solar melalui jalur laut untuk menghidupkan PLTD Karimunjawa. Bila sedang musim barat, ombak tinggi dapat menghalangi pengiriman.
Walhasil, penyediaan listrik di sana pun terkendala. Efeknya, wilayah tersebut menyumbang angka yang kecil untuk rasio elektrifikasi Kabupaten Jepara yang hanya 79 persen pada 2016. Padahal, pada tahun yang sama, rasio elektrifikasi Jawa Tengah telah mencapai 96 persen.
Sebenarnya, penyediaan listrik di Kecamatan Karimunjawa dimulai sejak 1998. Saat itu setrum diadakan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Pulau Baru. Sayangnya, PLTB tersebut tak bertahan lama karena rusak oleh angin barat dan korosi. Dimulai sejak 2004, PLTD mulai masuk di tiga pulau sekitar Karimunjawa. Dan pada akhirnya disusul dengan pembangunan PLTS di Pulau Nyamuk dan Parang oleh Dinas Bina Marga, Pengairan, dan ESDM (Energi dan Sumber Daya Minaeral) sejak 2013.
Pada Oktober 2014 hingga Maret 2015, Environmental Support Programme Phase 3 (ESP3) melakukan studi kelayakan terkait metode penyediaan listrik di Pulau Parang, Nyamuk, dan Genting. ESP3 yang bergerak dalam manajemen lingkungan, energi, dan sumber daya natural, merupakan jembatan antara pemerintah Denmark dan Indonesia. Ada empat lembaga yang memayungi ESP3, yaitu Danish International Development Agency (DANIDA), Kementerian Kehutanan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian ESDM.
Hasil studi menyebutkan pembangkit listrik paling optimal untuk kepulauan tersebut yaitu PLTS. Karenanya, sejak awal 2018, pembangunan PLTS Komunal pada tiga pulau ini dimulai. Kapasitas pembangkit di setiap pulau berbeda, disesuaikan dengan kapasitas PLTS eksisting milik ESDM dan luasan wilayah serta jumlah populasi.
Sebelumnya, Pulau Parang telah memiliki PLTS kecil berkapasitas 75 kilo Watt peak (kWp) yang dikelola Dinas Bina Marga, Pengairan, dan ESDM Kabupaten Jepara. Pulau Nyamuk juga memiliki pembangkit serupa dengan kapasitas 25 kWp. (Baca pula: Panel Surya Ancam Bisnis PLN).
Setelah ditambah PLTS hasil kerja sama dengan pemerintah Denmark, total kapasitas PLTS di Parang sebesar 135 kWp, Nyamuk 111 kWp, dan Genting 36 kWp. Bertambahnya daya ini membuat listrik dapat dinikmati selama 24 jam dengan limit 1.500 Wh per hari. Gabungan daya PLTS Komunal ESP3 dan Dinas Bina Marga telah diuji di tiga pulau tersebut sejak Juni kemarin. PLTS menjadi pembangkit utama dan dibantu aliran listrik dari PLTD selama tiga jam.
Perkembangan ini mendapat sambutan positif dari masyarakat. “Enak, listrik menyala terus” kata Muaslamiyah, 46 tahun, yang sedang menunggui anaknya bersekolah. “Listrik saya gunakan untuk masak dan memakai mesin cuci. Kalau freezer belum punya,” ujar dia yang sedang berkerumun bersama ibu-bu lainnya di warung kecil sekitar 50 meter arah utara kompleks sekolah. Tak jauh dari sana, motor-motor terparkir, lengkap dengan kunci yang masih tercantol.
Mayoritas penduduk Desa Parang berprofesi sebagai nelayan sehingga mereka memiliki kebutuhan lemari es atau freezer untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya. Saat listrik mengalir enam jam sehari dibutuhkan waktu hingga tiga hari untuk membuat batu-batu es pengawet ikan. Kondisi tersebut beranjak membaik dengan aliran listrik 24 jam, meskipun diberlakukan limit pemakaian.
Bisa jadi ini yang menjadi masalah, yakni limit pemakaian listrik untuk rumah tangga keluarga dan fasilitas umum ataupun industri dipukul rata. “Kalau 1500 Wh untuk sekolah masih kurang,” kata Rifai. “Multimedia seperti proyektor baru bisa dipakai sesekali. Padahal kalau untuk pembelajaran, multimedia sangat penting. Di sini tidak ada kantor pos, tidak ada bank. Kalau mau menunjukkan ke anak-anak apa yang tidak ada di pulau ini, lewat multimedia akan mudah, ya proyektor itu.”
Apalagi, beberapa bantuan berupa sarana pembelajaran telah diterima pihak sekolah. Sebagai contoh seperangkat alat laboratorium komputer yang berisi 21 komputer dan jaringan wifi dari Dinas Komunikasi dan Informatika. Walau barangnya ada tapi jika pasokan lisktirik kurang tidak bisa digunakan dengan optimal.
Karena itu, Rifai berharap Kepala Desa meningkatkan kapasitas listrik untuk sekolah dapat ditingkatkan, setidaknya untuk menunjang pembelajaran. Para guru dan siswa di sana tidak mau tertinggal dari pendidikan di Pulau Jawa. (Baca juga: Kementerian ESDM Siapkan Regulasi Pembangkit Listrik Surya di Atap).
Hal serupa dirasakan juga oleh kelompok nelayan dan pembuat kapal di Pulau Parang. Listrik untuk membuat kapal di siang hari bersumber dari genset pribadi dengan kapasitas 1000 watt. Tentu saja hal tersebut menambah beban pengeluaran. Pasalnya, harga solar di Pulau Parang adalah harga solar industri sebesar Rp 11.550 per liter.
Menurut Soleh, salah satu pembuat kapal di Pulau Parang, total solar yang digunakan untuk pengerjaan kapal selama tiga hari sebanyak 25 liter. Artinya, untuk pengerjaan satu bagian kapal diperlukan biaya bahan bakar solar sebesar Rp 288.750. “Kalau bisa, listrik untuk industri ditambah,” kata Soleh.
Menanggapi hal tersebut, ESP3 menyampaikan bahwa penambahan daya memungkinkan. “Disesuaikan dengan kondisi studi kelayakan ketika itu berdasarkan jumlah KK (kepala keluarga),” kata Muhammad Nurhadi, Provincial Programme Officer dari ESP3. “Sekarang KK-nya bertambah, mungkin akan disediakan meteran dari Disperindag. Jadi monggo untuk fasilitas umum mau dua sambungan.”
[Laporan Azaria A. Laras dari Karimunjawa]