Home
/
Film
Inilah sosok di Balik Pengisi Suara Naruto
Nanien Yuniar 10 April 2017
Bagikan :
Berbincang dengan Hana Bahagiana serasa sedang mengobrol dengan karakter Naruto Uzumaki, ninja yang di dalam tubuhnya bersemayam monster rubah berekor sembilan.
Perempuan berkerudung ini memang punya suara asli yang mirip dengan suara Naruto, salah satu tokoh yang membuat namanya terkenal sebagai seorang penyulih suara. Sebelum suaranya identik dengan beberapa tokoh kartun terkemuka, Hana juga pernah mengisi karakter realis dalam tayangan telenovela hingga India. Sepak terjang perempuan kelahiran 17 Juni 1971 di dunia sulih suara berawal dari pertengahan 1990-an.
“Saya menemani teman kasting dubbing telenovela, jadi disuruh ikut dan keterima,” tutur Hana pada ANTARA News.
Setelah merasakan pengalaman mengisi suara kartun, Hana sontak jatuh hati. Pada genre ini, ia punya keleluasaan lebih untuk mengeksplorasi bakat dan membuat macam-macam suara, tak peduli seaneh apa pun itu. Untuk karakter realis, Hana yang suaranya agak berat seperti laki-laki biasanya hanya mengisi peran ibu atau nenek.
“Kalau mengisi suara perempuan cantik, bebannya berat,” canda perempuan berdarah Sunda ini.
Pertemuan dengan almarhum Daryono yang menggawangi studio Yori Yoga Argayoen membuahkan rezeki untuk Hana. Tidak seperti penyulih suara lain yang harus mengikuti audisi untuk mendapatkan peran, Hana sering langsung dipercaya Daryono untuk menjadi pengisi suara dalam berbagai animasi.
“Saya selalu dikasih peran, biasanya harus kasting, tapi saya selalu ditunjuk,” kenang Hana.
Sebuah serial animasi bisa dikerjakan oleh beberapa studio dalam waktu yang berbeda, biasanya tiap studio punya preferensi sendiri dalam memilih dubber yang tepat. Suara Hana sudah terlanjur melekat pada karakter Naruto membuatnya mendapat keistimewaan tersendiri.
“Ada memo dari Global TV, dubber Naruto jangan diganti (meski studio berbeda-beda).”
Selain menghidupkan Naruto Uzumaki, Hana juga mengisi suara untuk Luffy dalam One Piece, Makibao dalam Makibao, Tommy Pickles dalam Rugrats, si lebah Hachi dalam Honey Bee Hutch, si monyet Boots sahabat Dora The Explorer, Hyuga Kojiro dalam Kapten Tsubasa, Shinbei dalam Ninja Boy serta Kimimaki dalam Ninja Hattori. Dari sekian banyak karakter yang sudah dilakoninya, Luffy yang tengil tapi keren jadi tokoh favoritnya.
?Otodidak
Kemampuan menciptakan banyak suara dipelajari Hana secara otodidak. Hana juga mengobservasi lingkungan sekitarnya. Ia sering memperhatikan cara anak-anak berbicara karena peran-perannya yang harus ia suarakan didominasi bocah laki-laki. Penghayatan untuk mendalami karakter terbantu dengan ilmu seni pertunjukan yang dipelajarinya di Institut Kesenian Jakarta. Dia belajar mengolah rasa yang kemudian diekspresikan dalam suara.
“Tapi saya keasyikkan dubbing jadi enggak lanjut kuliah,” kata Hana.
Dia berharap keputusannya saat itu tidak akan diikuti oleh generasi muda yang ingin jadi dubber.
“Jangan lupa kuliah meski honor terlihat lebih menyilaukan,” ia berpesan.
Hana belia pada masa itu lebih tergoda memprioritaskan aktivitas dubbing yang membuat pundi-pundinya penuh ketimbang menyelesaikan perguruan tinggi. Apalagi waktu itu pekerjaan menyulih suara datang bertubi-tubi.
“Saya sampai tiga shift dubbing, dari pagi ketemu pagi.”
Sebelum krisis moneter, penghasilan dari sulih suara lebih besar ketimbang saat ini. Sebagai gambaran, ada temannya yang menerima honor dua kali dalam sebulan.
“Dia sampai bilang, ‘yang kemarin saja belum habis nih’,” ungkap Hana yang menikah dengan modal tabungan dari bekerja sebagai dubber.
Ada kebiasaan unik dari Hana ketika ia menonton animasi yang dikerjakannya. Bila dubber lain fokus pada tayangan untuk mengevaluasi suara mereka, lain lagi dengan Hana. Dia malah sibuk menghitung berapa banyak iklan yang ada di sela tontonan tersebut.
“Kalau iklan banyak, berarti rating naik, pendapatan juga bertambah, ha-ha-ha.”
Banyak pengalaman tak terlupakan yang terpatri dalam ingatan Hana selama dua dekade menekuni sulih suara. Dia pernah kerepotan saat mengisi suara Naruto yang video aslinya sudah disulih suara jadi Melayu. Biasanya seorang dubber menerima naskah berisi dialog yang sudah diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Saat itu ia diminta langsung menyulih suara tanpa naskah terjemahan karena pihak studio menganggap peralihan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia adalah pekerjaan mudah.
“Padahal Melayu dan bahasa Indonesia kan banyak yang berbeda. Akhirnya saya bekerja sampai subuh,” ujar dia.
Pernah juga dia dipanggil ke studio secara mendadak. Namun setibanya di sana ia justru harus menunggu dari pagi hingga malam sebelum gilirannya tiba.
Sisi seru dari pekerjaannya adalah bisa menyelami bermacam-macam kepribadian karakter fiksi yang turut mempengaruhi dirinya.
Hana sering mendapati adegan Naruto sedang makan ramen. Untuk mengeksplorasi suara orang yang sedang menikmati ramen, Hana mulai sering makan mie ayam yang kini jadi kesukaannya.
“Setiap dubbing Naruto makan ramen, saya kepingin makan mie ayam. Jadi saya suka mie ayam gara-gara Naruto,” ungkap dia.
Selain itu, peran Hachi si lebah sebatang kara membuat Hana merasa lebih dekat dan ingin bersahabat dengan binatang-binatang di sekitarnya.
“Mempengaruhi rasa keperibinatangan. Dulu lihat kecoa bawaannya ingin menginjak, sekarang rasanya malah ingin ajak ngobrol,” katanya diiringi tawa berderai.
(Baca juga: Presiden Jokowi tak tahu Naruto)
(Baca juga: Presiden Jokowi tak tahu Naruto)
Menjaga suara
Suara adalah modal utama bagi seorang dubber. Setiap penyulih suara punya resep tersendiri untuk menjaga kualitas suaranya agar tetap prima di studio.
Hana membiasakan diri untuk berlatih olah vokal setiap pagi ketika sedang mengerjakan proyek dubbing. Dia juga melatih pernafasan dan senam wajah seperti pemanasan yang dilakukan penyanyi atau penyiar. Pemanasan itu membuat otot-otot di wajahnya menjadi lentur sehingga dialog yang keluar dari mulutnya akan terdengar jelas.
Air mineral hangat jadi bekal utama ketika Hana bekerja di studio.
“Saya juga suka minum yang asam-asam seperti jus jeruk sebelum dubbing.”
Dia menghindari konsumsi air mineral dingin karena membuat tenggorokannya jadi tidak nyaman. Begitu pula dengan makanan berminyak yang dihindarinya selama bekerja.
Tren silih berganti, begitu juga dengan tayangan di televisi. Animasi yang dulu pernah menjamur dan mendominasi berbagai stasiun televisi kini digantikan dengan hiburan lain.
Tawaran pekerjaan mengisi animasi berkurang, ditambah lagi Hana mengalami musibah yang membuatnya harus memakai tongkat selama tiga bulan. Dubber yang biasanya wara-wiri ke beberapa studio di pelbagai sudut kota terpaksa menolak beberapa pekerjaan karena mobilitas terbatas.
Daripada berlarut-larut dalam kesedihan, Hana menantang dirinya untuk mengembangkan kemampuan di bidang memasak yang diminatinya sejak kecil. Ia menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai resep kue, puding dan jajanan yang dipraktikkan setelah kondisinya pulih.
“Sekarang saya lagi asyik masak, jadi keterusan bakulan,” kata perempuan yang sedang merintis bisnis Dapur Hana Bahagiana sembari tertawa.
Hana berharap tayangan di televisi semakin bervariasi dan tidak terpaku pada satu jenis tontonan sehingga pamor animasi akan kembali bersinar seperti dahulu.
Berita Terkait:
Sponsored
Review
Related Article