Jokowi Resmi Larang TikTok Shop dkk Jualan, Ini Respons TikTok
Ilustrasi foto: Eyestetix Studio/Unsplash
Uzone.id – Kontroversi kehadiran social commerce seperti TikTok Shop yang berada di dalam platform media sosial masih terus berlanjut. Terbaru, Presiden Joko Widodo telah menggelar rapat terbatas pada hari ini, Senin (25/9) dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dan resmi melarang layanan seperti TikTok Shop beroperasi. Apa respons TikTok?
Revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik memang sedang menjadi sorotan karena ke depannya akan menentukan nasib platform populer seperti TikTok, media sosial yang juga punya layanan e-commerce.Hasil rapat yang digelar Jokowi beserta Zulkifli di Istana Merdeka tersebut menyimpulkan bahwa social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi atau jasa, tidak boleh transaksi langsung. Dengan kata lain, platform media sosial dan penjualan atau ekonomi harus dipisah.
“Sehingga algoritmanya tidak semua dikuasai. Ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis,” ungkap Zulkifli dalam keterangannya.
Secara terpisah, juru bicara TikTok Indonesia mengatakan, sejak diumumkan hari ini mengenai keputusan dari pemerintah, mereka menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang meminta kejelasan terhadap peraturan yang baru.
“Perlu kami tegaskan kembali bahwa social commerce lahir sebagai solusi bagi masalah nyata yang dihadapi UMKM untuk membantu mereka berkolaborasi dengan kreator lokal guna meningkatkan traffic ke toko online mereka,” tutur juru bicara TikTok Indonesia dari keterangan yang diterima Uzone.id, Senin (25/9).
Ia melanjutkan, “kami akan tetap menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, namun kami juga berharap pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap penghidupan 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop.”
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki secara terbuka menolak adanya penggabungan platform media sosial dan e-commerce dijalankan dalam satu bisnis yang berbarengan. Ia khawatir TikTok menerapkan predatory pricing, alias memasang harga kelewat murah yang berdampak ke UMKM lokal –terutama yang masih berjualan offline seperti di Pasar Tanah Abang– yang kewalahan bersaing.
Seperti diketahui juga, hadirnya TikTok Shop di Indonesia menciptakan ekosistem baru dalam proses berjualan, promosi, hingga transaksi pembelian. Layanan TikTok Shop tak hanya sekadar jual-beli antara si penjual dan pembeli, namun juga melahirkan TikTok Affiliate.
Program Affiliate memang sudah semakin menjamur di layanan e-commerce besar, seperti Shopee, Lazada, hingga kini TikTok Shop sendiri. Uniknya, TikTok Affiliate ini seringkali bukan hanya sebagai perantara si penjual dengan pembeli, namun juga dapat menjelma menjadi content creator.
Mereka ‘dituntut’ untuk lebih kreatif dalam mempromosikan produk yang akan dijual melalui sajian konten yang menarik – bahkan seringkali sifatnya soft selling, bukan hard selling.
Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), Tesar Sandikapura secara singkat menilai langkah pemisahan ini sebagai bentuk melawan arah perkembangan teknologi.
“Kalau dilarang [medsos dan e-commerce bergabung], malah melawan arah karena ini adalah inovasi. Yang harus dilakukan mungkin meregulasi kinerjanya atau hal-hal yang fokus pada kinerja aktivitas penjualan sesuai porsinya,” kata Tesar dalam kesempatan terpisah.
Belajar dari ‘drama’ Gojek vs. ojek pangkalan, BlueBird dkk
Satu hal yang disoroti pengamat ekonomi digital Ignatius Untung Surapati dari kehebohan social commerce seperti TikTok Shop yang dianggap mengancam keberlangsungan jual-beli toko offline seperti di Tanah Abang ini adalah, cukup mirip dengan kejadian saat perusahaan raksasa sekelas Bluebird hingga pelaku ojek pangkalan yang protes terhadap kehadiran layanan ride-hailing Gojek dan Grab.
Gojek dan Grab Indonesia yang sama-sama menghadirkan layanan ojek dan taksi online ini dianggap merusak kelancaran bisnis dari taksi konvensional dan rendahnya demand penumpang ojek pangkalan.
Bagaimana tidak, Gojek dan Grab menyediakan aplikasi yang menghubungkan pengguna yang ingin bepergian dengan mitra armada ojek online atau driver online. Sehingga, pengguna tidak usah bersusah-payah keluar rumah.
“Kita bisa belajar dari Bluebird. Dulu, perusahaan raksasa ini bisa-bisanya goyah dan protes keras terhadap pelaku on-demand seperti Gojek dan Grab. Mulai dari model bisnis sampai soal tarif yang dulu dibilang terlalu murah sehingga tidak kompetitif. Tapi saat itu, kita tidak bisa begitu saja langsung memblokir yang online, karena inovasi akan terus ada dan behavior masyarakat juga turut berubah,” kata Untung saat dihubungi Uzone.id beberapa waktu lalu.
Jalan panjang bisnis Gojek dan Grab yang awalnya ditentang, kini pun sudah bisa beroperasi dengan sehat, lengkap dengan aturan yang sudah disahkan pemerintah.
“Pemerintah memang harus mengkaji dan meriset sedalam mungkin. Jangan asal bikin aturan. Semua dirangkul, sama halnya ketika ingin merancang aturan untuk transportasi online. Sekarang akhirnya yang konvensional bisa berjalan bareng dengan yang online, bahkan Bluebird saja malah sinergi sama Gojek sekarang. Ini yang namanya adaptasi,” katanya.