Remotivi: Karma Buka Jalan Acara Berbau Mistis Balik ke TV
Kehadiran tayangan Karma di televisi bukan hanya menyita perhatian pemirsa, tapi juga lembaga studi dan pemantauan media Remotivi. Pada awal Mei ini, Remotivi merilis hasil studi dalam bentuk video soal acara yang menyuguhkan masalah pribadi orang lain dan dibumbui dengan unsur mistis itu.
"Karma adalah pewaris sah panjang dari tradisi kawin silang antara media dan mistisisme," ucap narator dalam video berdurasi sembilan menit itu.
Setelah memaparkan sejumlah cuplikan keganjilan yang ada di Karma, Remotivi turut memaparkan riwayat tayangan dengan unsur mistis serta bagaimana perkembangannya yang kemudian mempengaruhi pola pikir pemirsa.
[Gambas:Youtube]
Kala dihubungi CNNIndonesia.com, Wakil Direktur Remotivi sekaligus penulis naskah video Karma di Balik Karma ANTV Yovantra Arief menuturkan soal alasan bagaimana acara dengan genre demikian cukup mendapat tempat dan digandrungi.
"Masalah kultur adalah salah satu yang paling dominan. Kultur ini sebenarnya bisa dikembangkan dalam bentuk beda. Namun, televisi dan media butuh yang bombatis, yang fenomenal supaya menarik penonton," katanya melalui sambungan telepon.
Kemunculan Karma lantas disebut sebagai pembuka jalan tayangan berbau mistis kembali ke televisi, setelah sempat populer Dunia Lain, Mister Tukul Jalan-Jalan dan sebagainya.
"Itu merupakan dinamika televisi. Hal mistis itu musiman, ada masa laku banget, kemudian mati ganti lagi dengan hal seperti joget-joget nyanyi. Karma ini pembuka jalan tayangan seperti ini balik ke televisi," katanya.
Acara mistis sendiri sebenarnya sudah 'merajalela' di pertelevisian Indonesia sejak sebelum era Orde Baru. Genre horor berkembang pesat di Indonesia setelah meledaknya film Ratu Ular pada 1972.
Menjamurnya film horor kala itu, menurut studi Remotivi, turut memicu Kode Etik Badan Sensor Film pada 1980 yang mewajibkan tokoh protagonis religius sebagai sosok penyelamat dalam tayangan horor. Hingga pada akhir era Orde Baru, paham mistis muncul di televisi seiring tumbuhnya stasiun televisi swasta lewat tayangan seperti Si Manis Jembatan Ancol dan Tuyul dan Mbak Yul.
Tayangan-tayangan itu sempat menimbulkan kontroversi karena dianggap menjauhkan masyarakat dari agama ataupun realitas. Meski demikian, unsur mistis di layar kaca tak sepenuhnya hilang.
"Seiring lengsernya Orde Baru, mistisisme menjamur dan hadir dalam berbagai bentuk dari infotainment seperti Silet hingga reality show seperti Dunia Lain," papar narator di video hasil studi Remotivi.
Kontrol Tayangan Televisi
Padahal, menurut Yovantra, media berhak untuk menyuguhkan hiburan berkualitas yang dibutuhkan penonton. Begitu juga, penonton berhak menentukan pilihan dan memberi masukan jika ada tayangan televisi yang bermasalah.
"Kontrol tidak bisa hanya pada satu pihak. Penonton punya hak untuk menentukan pilihan, bisa memberi masukan lewat surat pembaca. Televisi pun punya kontrol untuk membuat program yang seharusnya punya kepentingan untuk banyak orang," tuturnya.
Dia pun menyayangkan kondisi saat ini di mana tujuan utama stasiun televisi adalah meraup rating yang tinggi, bukan menyuguhkan acara berkualitas.
"[Stasiun televisi] belum punya tradisi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan baik," katanya.
"Pada satu sisi, [stasiun] televisi membutuhkan rating dan akhirnya bukan hanya sering mengorbankan penonton, tapi juga pekerjanya. Kerja sangat padat dan kurang manusiawi," lanjut Yovantra.
Menurutnya, jika pekerja media sadar ada yang bermasalah dengan jam kerja, maka mereka perlu menuntut haknya. Itu akan berpengaruh pada kinerja mereka dalam menciptakan sebuah karya berupa program.
"Apabila dipenuhi, mereka akan punya waktu berkreasi dan daya tawar. Saya optimistis bahwa sebenarnya pekerja televisi sendiri enek, tapi tidak pernah tahu dapat berorganisasi dan sebenarnya punya daya tawar [bernegosiasi]," katanya.
Di sisi lain, jika bersinggungan dengan regulasi yang ada di bawah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menurut Yovantra, konten tayangan televisi dengan unsur mistis menjadi sesuatu yang rumit. Itu karena ada pula di antara masyarakat yang mempercayai hal-hal gaib.
"Caranya bukan dengan regulasi, tapi KPI harus punya intervensi yang beda, perlu strategi yang beda. Seringkali, yang gaib tidak boleh lalu cukup diselesaikan dengan dikasih ustaz. KPI perlu punya perspektif beda, tayangan mistis tidak perlu dilarang, tapi menghadapinya harus berubah. Membuat perspektif bagaimana yang bagus untuk mistis," ujarnya.
Meski demikian, Yovantra menilai kondisi seperti ini suatu hari dapat berubah seiring kesadaran masyarakat untuk berkembang.
"Saya rasa, saya optimistis dengan internet ada perspektif baru, bukan hanya televisi. Pekerja media pun dapat mulai berorganisasi, untuk berkembang dan punya daya tawar lebih. Punya daya tawar bukan hanya untuk mendatangkan rating, tapi juga yang baik," katanya seraya berharap.
"Televisi pun industrinya akan dituntut berubah, makin banyak saingan, ada online, punya dorongan untuk memperbaiki kontennya," imbuhnya.