Kartel Narkoba dan Dorados de Sinaloa, Klub yang Dilatih Maradona
Dorados de Sinaloa adalah klub medioker. Jika di Indonesia, level mereka kira-kira sederajat dengan Persibo Bojonegoro. Saat ini, mereka berkompetisi di level dua Liga Meksiko. Prestasinya tak kinclong-kinclong amat.
Coba simak saja statistiknya. Dari enam laga awal yang sudah mereka jalani, tak satu pun kemenangan diraih. Seolah-olah tak cukup, Dorados hanya mampu menceploskan dua gol ke gawang lawan. Walhasil, hingga tulisan ini ditayangkan, mereka terjerembap di posisi tiga dari bawah.
Namun, pada Minggu (9/9/2018), seperti diwartakan ESPN, mereka bikin geger publik. Pasalnya, klub yang bermarkas di jantung kota Sinaloa tersebut menunjuk legenda Argentina sekaligus Pemain Terbaik Abad Ini versi FIFA, Diego Armando Maradona, sebagai pelatih.
“Kami akan bekerja keras dan meminta kerjasama dari para pemain,” kata Maradona di hadapan para wartawan di Culiacan. “Hal pertama yang akan saya katakan bahwa misi utama klub ini adalah promosi. Anda tidak akan bisa mewujudkannya tanpa pengorbanan.”
Sedianya, Maradona bakal menjalani debut kepelatihan pada akhir pekan ini, ketika Dorados bertanding melawan Cafataleros de Tapachula. Dorados merupakan klub ke-6 yang ditangani Maradona semenjak ia memutuskan gantung sepatu. Terakhir, ia menangani klub asal UEA, Al Fujairah, dan gagal mendatangkan prestasi yang memuaskan.
Terlepas dari akan seperti apa jalannya kiprah Maradona di klub barunya itu, yang jelas, satu fakta tidak bisa ditampik: Maradona melatih klub milik kota yang selama ini punya predikat “rumah para kartel narkoba.”
Hidup dan Mati Para Kartel
Ada banyak kartel di Meksiko. Dari Los Zetas, Juarez, Tijuana, Jalisco, sampai Beltran-Leyva. Tapi, nama-nama itu belum ada yang mampu menyaingi kebesaran dan kedigdayaan kartel Sinaloa.
Sinaloa merupakan kota yang terletak di Meksiko Utara. Wilayah ini sejak dulu sudah jadi pusat aktivitas penyelundupan, dari ganja dan obat-obatan terlarang hingga manusia. Orang yang pertama kali menyelundupkan ganja dalam skala besar ialah Pedro Aviles. Ia dibantu Joaquín Guzmán Loera, atau akrab disapa “El Chapo,” putra kawannya yang kelak jadi raja narkoba di Meksiko.
Namun, kiprah Aviles tak berlangsung lama. Pada 1978, ia terbunuh dalam adu baku tembak dengan polisi. Tewasnya Aviles membuat para kartel di Sinaloa mengubah orientasi dagang mereka dengan berfokus pada penjualan kokain serta bekerja di bawah pengaruh kartel besar macam Medellin dan Guadalajara.
Pada 1985, kartel-kartel ini menemui batu sandungan selepas agen DEA—BNN-nya AS—bernama Enrique Camarena meninggal akibat ditembak. Kematian Camarena mendorong pemerintah AS serta Meksiko menindak tegas para kartel; mereka diburu dan jalur jualan dipersempit. Tak ayal, tekanan tersebut memaksa pentolan kartel cabut dari Sinaloa.
Tapi, situasi itu tak berlaku bagi El Chapo yang memutuskan tetap tinggal di Sinaloa dan membangun kerajaan narkobanya sendiri. Berbekal pengalaman bergabung dengan kartel Guadalajara dan bekerja langsung di bawah bimbingan sang ketua, El Padrino, atau “The Godfather,” El Chapo meneruskan jalan ninjanya berjualan kokain.
Patrick Radden Keefe dalam “Cocaine Incorporated” yang terbit di The New York Times menjelaskan El Chapo seperti punya banyak cara berdagang kokain dan mengibuli aparat AS dan Meksiko. Misalnya, saat ia, bersama Minguel Angel Martinez, menggunakan pesawat untuk mengangkut kokain dari Kolombia ke Meksiko demi menghindari penjagaan aparat di perbatasan. Dengan pesawat, El Chapo membawa sekitar 13 ton kokain sekali perjalanan.
Selain pesawat, El Chapo juga memanfaatkan kapal, dari kontainer, penangkap ikan, sampai selam, untuk mengangkut kokain via laut dan sungai. Setelah dipakai, kapal-kapal ini dibuang oleh pekerja El Chapo, tak peduli harganya mencapai jutaan dolar.
Yang paling fenomenal tentu kala ia membikin terowongan khusus untuk jalur kokain pada akhir 1980-an. Terowongan bawah tanah ini didirikan di dekat Agua Prieta dan menghubungkan Meksiko dengan AS. Setelah jadi, El Chapo menyebutnya, “keren.”
Tak lama kemudian, El Chapo memberi instruksi pada Martinez agar memanggil orang-orang Kolombia. “Katakan kepada mereka untuk mengirim semua obat yang mereka bisa,” perintahnya.
Pada akhirnya, terowongan rahasia itu diketahui polisi. El Chapo tak kehilangan akal. Ia lantas mengganti taktiknya dengan membuka pabrik pengalengan di Guadalajara. Di sana, ia memproduksi ribuan kaleng dengan cap bertuliskan “Comadre Jalapeños.” Di dalamnya, El Chapo mengisinya dengan kokain, kemudian menyegelnya, serta mendistribusikannya ke toko-toko kelontong milik orang Meksiko di California. Pengiriman dilakukan dengan truk berisikan ikan, kereta barang, serta FedEx.
Terobosan lain yang dilakukan El Chapo dalam dunia obat-obatan adalah membikin meth. Produk satu ini merupakan yang terlaris di era El Chapo. Ia memproduksi meth di laboratoriumnya sendiri dan kemudian disebarluaskan ke India hingga Cina lewat kapal kontainer yang bersandar di Pelabuhan Lázaro Cárdenas dan Manzanillo. Tiap tahun, angka meth yang dikirim terus meningkat. Pada 2009, El Chapo mengirim sekitar 22 ton. Naik jadi 88 ton pada 2010 dan terakhir jadi 252 ton pada 2011.
Praktik jual narkoba yang dilakukan El Chapo diperkirakan mendatangkan uang senilai $3 miliar tiap tahun. Kartel Sinaloa pimpinannya menguasai setidaknya 40-60% pangsa pasar. Angka itu didapatkan dari hitung-hitungan sebagai berikut: Sinaloa membeli satu kilo kokain dari Kolombia seharga $2.000, dijual di Meksiko dengan angka $10.000, serta berakhir di AS pada nilai $30.000 secara grosir.
Itu baru kokain. Belum lagi produk lainnya seperti ganja, heroin, dan meth.
Menyuap Pejabat, Perang Lawan Rival
Perdagangan narkoba ala Sinaloa tak lengkap tanpa menyebut aksi suap pejabat dan perang antar kartel.
Untuk poin pertama, mereka sudah fasih mempraktikkannya. Deretan targetnya membentang panjang; dari walikota, gubernur, jaksa, polisi federal dan negara bagian, tentara, hingga pejabat partai. El Chapo dan Sinaloa juga dengan mudah menyuap petugas penjara saat ia ditangkap pada dekade 1990-an. Bermodalkan pundi-pundi kekayaannya, El Chapo menyulap jeruji besi jadi ruang pribadinya sendiri yang memberinya kebebasan untuk tetap menjalankan bisnisnya sampai melampiaskan birahi dengan pekerja seks.
Sementara untuk perang antar kartel, Sinaloa juga punya riwayat yang panjang. Pada 1992, misalnya, Sinaloa terlibat pertempuran melawan kartel Tijuana di Puerto Vallarta. Perkelahian ini mengakibatkan sembilan orang tewas. Setahun berselang, kartel Tijuana melangsungkan serangan balasan dengan melakukan percobaan pembunuhan terhadap El Chapo di bandara Guadalajara.
Selain dengan Tijuana, Sinaloa juga pernah menjalin rivalitas panas dengan Zetas, kartel yang dalam beberapa waktu terakhir mulai mengancam nama besar Sinaloa. Zetas tercatat kerap melangsungkan serangan di wilayah Sinaloa. Pada 2008, kekasih El Chapo, Zulema Hernández, ditemukan mati di bagasi mobil dengan ukiran huruf “Z”—simbol yang merujuk pada Zetas—di tubuhnya.
Sinaloa tak tinggal diam, mereka membalasnya dengan aksi yang tak kalah sadis. Pada Maret 2012, mereka membuang potongan tubuh di wilayah Zetas seraya memasang surat terbuka yang isinya mencemooh Zetas sebagai “sekelompok pemabuk dan pencuci mobil.” Tak lupa, surat terbuka itu ditutup dengan, “Salam hormat, El Chapo.”
Michael A. Teixeira dalam tesisnya berjudul “Examining the Rise in Mexican Drug Cartel Related Violence” (PDF, 2016) menyebut bahwa eskalasi kekerasan yang dilakukan kartel meningkat mulai akhir 2007. Kartel-kartel ini terlibat dalam pembunuhan massal, penculikan, pemerasan, dan kejahatan jalanan lainnya.
Data pemerintah Meksiko, seperti dilansir BBC, menyatakan bahwa ada sekitar 200 ribu orang tewas dari 2007 sampai 2016, dengan 30 ribu di antaranya hilang. Tahun paling parah terjadi pada 2017 ketika terdapat 25 ribu orang meninggal dunia.
Limbung dan Pecah
Bagaimanapun, kiprah kartel Sinaloa mulai limbung usai tertangkapnya El Chapo pada Januari 2016. Tertangkapnya El Chapo pada 2016 kemarin merupakan yang ketiga selepas 1993 dan 2014. Dua kali diringkus, dua kali pula ia berhasil meloloskan diri dari penjara.
Tertangkapnya El Chapo berandil memecah internal Sinaloa ke dalam dua kelompok: kubu anak El Chapo, yang dimotori Iván Archivaldo serta Jesús Alfredo; dan kubu rekanan El Chapo yang diwakili Dámaso López Núñez, alias “El Licenciado,” atau “Sang Letnan.” Persaingan kedua kubu ini tak jarang disertai aksi kekerasan. Seperti halnya yang terjadi saat anak El Chapo diculik di restoran dekat Puerto Vallarta pada 2016. Pelaku diduga kuat adalah orang suruhan Nuñez.
Urusan kartel dan narkoba ini nyatanya juga menyeret pemain bola. Agustus tahun lalu, publik dibikin geger karena pihak berwenang menangkap mantan kapten Meksiko, Rafael Márquez, akibat diduga terlibat dalam organisasi perdagangan narkoba. Márquez, catat The Guardian, diciduk bersama 22 orang lainnya.
Tak sekadar menangkap Marquez, pihak berwenang, diwakili Departemen Keuangan AS, juga bakal memberi sanksi kepada 43 entitas lainnya macam tim sepakbola dan kasino. Sanksi itu mencakup penyitaan aset, salah satunya Grand Casino dekat Guadalajara.
Perdagangan narkoba dan jaringan kartel di Meksiko memang sulit dibasmi. Kedatangan si Tangan Tuhan Maradona pun mungkin tak bisa membantu apa-apa, kecuali membawa Dorados naik kelas.
Baca juga artikel terkait KARTEL NARKOBA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani