Home
/
News

Kearifan Lokal dalam Wayang Sasak

Kearifan Lokal dalam Wayang Sasak

Chairul Akhmad14 December 2016
Bagikan :
tempo-co
Preview


Jayengrana atau Wong Agung Menak menjadi tokoh sentral dalam berbagai kisah wayang kulit Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan di Jawa dan Bali, kesenian wayang yang berkembang di Lombok ini tidak berlatar pada kisah Mahabharata dan Ramayana, tapi pada era Nabi Muhammad. Unik memang.

Wayang kulit yang tumbuh dalam masyarakat Sasak ini berkembang sejalan dengan masuknya agama Islam di Lombok. Peran utama yang disebut wayang prabu (praratu) berjumlah 140 tokoh. Wayang itu dibagi menjadi wayang kiri dan wayang kanan

“Karakteristik tokoh wayang kulit Jayengrana, tokoh dengan penampilan sederhana tapi sakti tanpa tanding ini merupakan putra ke-12 Abdul Mutalib, dengan nama kecil Amir Hamzah,” kata Suhaemi, salah seorang tokoh kesenian wayang sasak.

Selain Jayengrana yang menjadi tokoh sentral dalam wayang sasak, terdapat Munigarim, istri Jayengrana yang berpendirian teguh, juga sakti. Ada pula Umar Maya, sosok gemuk, pendek, berperut buncit, tapi punya kebijaksanaan luar biasa, dan Umar Madi, yang keduanya menjadi pendamping setia Jayengrana.

Tokoh favorit lainnya Selandir (Alam Daur), bagai Bima di pewayangan purwa, sangat kuat, dengan postur tubuh tinggi besar. Ia mengandalkan kekuatan fisik dan sangat ditakuti dalam peperangan. Serta Saptanus dan Santanus, tokoh kembar yang memberikan pertimbangan strategi Jayengrana.

Dalam pertunjukan wayang sasak, cerita berdasarkan Serat Menak. Kisah-kisahnya mempunyai nilai syiar agama Islam dalam pertunjukan yang digemari rakyat kala itu. Filosofi tentang nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya sarat inspiratif.

Tentu saja pelestarian wayang sasak diharapkan menjadi kepedulian semua elemen masyarakat di Nusa Tenggara Barat, Lombok Barat khususnya. Karena itu, Suhaemi mendirikan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di daerah Ampenan. Ini tak lain sebagai upaya mengenalkan kesenian khas daerah Lombok ini kepada generasi penerus. Anak-anak di sekitar bekas pelabuhan tua Ampenan mulai mempelajari wayang sasak ini, dari mendalang sampai memainkan gamelan atau sekehe.

Meskipun keberadaan wayang sasak berhadapan langsung dengan berbagai hiburan modern, masih ada orang-orang seperti Suhaemi yang peduli terhadap pelestarian budaya dan kearifan lokal. “Melalui wayang sasak ini, masyarakat Lombok bisa melestarikan nilai kearifan lokal yang sudah dianut nenek moyang kita di sini,” katanya. (*)

Berita Terkait:
populerRelated Article