Kejanggalan-Kejanggalan Kampus Bermasalah Pencetak Ijazah
Kampus STKIP Sera di Kompleks Ruko Mahkota Mas, Cikokol, Tangerang, terlihat sepi sejak pagi hingga siang, 25 Oktober 2018. Kampus itu menempati ruko tiga lantai yang disulap menjadi ruang kuliah, perpustakaan, ruang dosen, dan ruang administrasi.
Ruang itu terlihat kosong dan hanya ada seorang resepsionis. Di meja resepsionis, ada dua brosur kampus yang dipajang, yakni kampus STIE ISM (disebut Kampus Tigaraksa) dan STKIP Sera (disebut Kampus Cikokol).
Mahasiswa bisa memilih kuliah di kampus mana saja, tergantung lokasi tinggal terdekat dengan kedua kampus itu, ujar si resepsionis. Misalnya, seorang mahasiswa S1 mendaftar ke kampus STKIP Sera bisa mengikuti perkuliahan di kampus STIE ISM.
“Kuliahnya tergantung saja, mau di mana. Nanti bisa dilihat kuotanya dulu,” tambahnya.
Hal itu berlaku untuk mahasiswa S2. Tapi biasanya kelas S2 hanya diselenggarakan pada Sabtu atau Minggu. “Kalau Minggu biasanya ada acara keluarga atau kondangan. Jadi kelasnya Sabtu dari pagi sampai sore,” ujar dia.
Kondisi serupa terlihat di STMIK Triguna. Saat reporter Tirto datang ke alamat kampus di Cinere, Depok ini, tak ada perkuliahan sama sekali, dari pagi hingga sore. Pintu kampus ini malah digembok. Menurut pengakuan seorang penjaga kampus, kuliah STMIK Triguna Utama berselang pada malam hari.
Hal itu tak masuk akal sama sekali. STMIK Triguna pada 2017 tercatat dalam pangkalan data pendidikan tinggi memiliki 1.286 mahasiswa. Sementara kapasitas kampus hanya ada satu ruko. Sangat tidak mungkin seribuan mahasiswa itu bisa mengikuti kuliah pada malam hari semata.
Lebih Banyak Jumlah Ijazah dari Jumlah Lulusan
Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) pada September 2018 menemukan sejumlah kejanggalan soal pelaksanaan perkuliahan di dua kampus, yaitu STMIK Triguna Utama dan STKIP Sera. Temuan yang mencolok dari tim EKA terkait penerbitan ijazah STMIK Triguna pada 2017 yang melebihi jumlah mahasiswa.Pada 2017, STMIK Triguna mengeluarkan 873 ijazah, lebih banyak dari jumlah lulusan yang hanya 145 mahasiswa. Artinya, ada kelebihan 728 ijazah yang dikeluarkan tanpa dasar.
Soal penerbitan 728 ijazah ini, Ketua STMIK Triguna Slamet Riyadi berdalih ada "kesalahan operator." Dalam satu tahun, Slamet mengklaim sudah mengganti 4 kali operator sehingga terjadi "banyak kesalahan data."
“Itu ada pergantian operator, jadi mahasiswa lama yang sudah tidak ada, diluluskan statusnya untuk memenuhi rasio dosen dan mahasiswa,” kata Slamet.
Tidak hanya itu, jumlah wisudawan dengan jumlah lulusan pada 2018 terpaut jauh. Berdasarkan laporan tim EKA, ada 129 mahasiswa yang yudisium pada Maret 2018. Namun, pada data wisudawan di kopertis IV (wilayah kerja di Jawa Barat dan Banten), ada 272 mahasiswa yang ikut yudisium pada Maret 2018.
Melaksanakan Kelas Jauh
Model perekrutan mahasiswa dari kampu-kampus yang menggelar kuliah fiktif ini berbeda dari kampus pada umumnya.
Ia menggunakan tenaga lepas pemasaran (marketing freelance) untuk menggaet mahasiswa yang sebagian besar adalah karyawan. Untuk satu mahasiswa, petugas pemasaran mendapatkan komisi 30 persen dari total biaya pendaftaran.
Salah satu tenaga pemasaran itu bernama Tajul Muluk. [Lihat dokumen STMIK Triguna Utama]
Pada 2013, Tajul membuka kelas jauh di Balaraja untuk STMIK Triguna Utama. Perkuliahan dengan model "kelas jauh" ini berselang sampai 2017. Kedok fiktif ini terbongkar setelah 33 mahasiswa protes karena tidak bisa mengikuti wisuda.
Urip Setiawan, salah satu mahasiswa, mengaku perkuliahan berjalan hanya satu kali dalam seminggu. Ia menjalani perkuliahan selama 4 tahun dan ujian skripsi pada 2016. Namun, setahun setelah ujian, ia dan teman-temannya tak kunjung diwisuda.
Kabar itu pernah menjadi konsumsi media lokal di Tangerang pada September 2017. Setelah itu, STMIK Triguna mengeluarkan klarifikasi bahwa para mahasiswa di kelas Balaraja yang dibuka oleh Tajul Muluk tidak pernah terdaftar sebagai mahasiswa STMIK Triguna.
Dalam surat resmi kepada Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Totok Prasetyo, tertanggal 19 September 2017, Ketua STMIK Triguna Slamet Riyanto menegaskan mahasiswa yang belajar di kelas Tajul Muluk tidak diakui sebagai mahasiswa STMIK Triguna.
“Kami tidak tahu kelas yang dibuat Pak Tajul, mereka itu mengelola kelas sendiri,” kata Slamet kepada Tirto.
Meski mengklaim tidak mengetahui pengelolaan kelas jauh itu, tapi para mahasiswa dalam kasus kuliah fiktif ini akhirnya ikut diwisuda juga.
Pada Maret 2018, sejumlah nama mahasiswa kelas jauh yang tidak diakui oleh STMIK Triguna seperti Urip Setiawan, Andri Fauzi, dan Maidan Saputra mengikuti yudisium pada 12 Maret 2018.
Memakai Dosen dari Luar
Selain kelas jauh, Tirto menemukan ujian skripsi secara serentak oleh sekitar 50 mahasiswa STMIK Triguna Utama dan STIE ISM. Ia dilaksanakan pada 2 Oktober 2016. Anehnya, para dosen penguji skripsi bukanlah dosen dari STMIK Triguna ataupun STIE ISM.
Salah satu dosen yang diambil dari luar adalah Trison Jaya, dosen Politeknik Negeri Media Kreatif. Menurut pengakuannya, Trison diminta oleh Mardiyana, pemilik kampus STMIK Triguna dan STIE ISM, untuk menjadi penguji. Trison kebagian memeriksa metode penelitian dan pengambilan data. Dalam satu hari, Trison menguji antara 5 sampai 7 mahasiswa.
“Saya hanya memeriksa dan menguji, tapi tidak berhak meluluskan,” kata Trison kepada Tirto.
Selain Trison, ada Zalzulifa, dosen Politeknik Negeri Media Kreatif, yang diminta memeriksa bahasa skripsi. Sama seperti Trison, Zalzulifa hanya memeriksa dan menguji tetapi tak berhak meluluskan. Bahkan koreksi dan revisi yang diberikan oleh Trison dan Zalzulifa tidak dikerjakan oleh mahasiswa.
“Saya enggak tahu revisinya gimana setelah menguji itu,” kata Zalzulifa.
Salah satu mahasiswa yang mengikuti ujian bersama Zalzulifa dan Trison adalah Muhammad Maidan Saputra. Maidan adalah mahasiswa STMIK Triguna jurusan Teknik Informatika angkatan 2013. Maidan tercatat sebagai mahasiswa kelas jauh di Balaraja yang tidak diakui oleh STMIK Triguna.
Keberadaan Zalzulifa dan Trison itu meruntuhkan klaim Mardiyana dan Bobby Reza, Ketua STIE ISM. Mereka menyebut hanya menggunakan dosen dari STIE ISM sebagai penguji skripsi. Ini membuktikan STIE ISM dan STMIK Triguna tidak memiliki dosen yang cukup atau bahkan dosen tetap.
“Kami hanya menggunakan dosen dari STIE ISM, tidak pernah menggunakan dosen dari luar,” klaim Bobby kepada Tirto.
Skripsi Jiplakan dan Tesis Tanpa Tanggal
Skripsi yang dibuat oleh mahasiswa STIE ISM dan STMIK Triguna juga diragukan. Dari temuan Tim EKA, STMIK Triguna hanya memiliki 38 skripsi. Padahal jumlah lulusan STMIK Triguna dari 2014 hingga 2018 ada 2.033 mahasiswa.
Selain itu, Tim EKA mendapati skripsi berjudul “Visualisasi Tiga Dimensi Tari Silat Lampung Berbasis Multimedia” atas nama Trisno Eno Maladi merupakan skripsi jiplakan dari karya orang lain.
Tak hanya itu, di STIE ISM, Tim EKA menemukan sepuluh tesis mahasiswa S2 Manajemen yang sudah lulus tapi tanpa dilengkapi tanggal pelaksanaan ujian dan nilai dari penguji. Ada beberapa tesis yang mencantumkan tanggal permohonan tesis sama dengan tanggal pelaksanaan ujian.
Kejanggalan paling mencolok adalah ada enam mahasiswa yang belum menyelesaikan revisi tesis tapi sudah mengikuti yudisium dan wisuda. Mereka adalah Arifudin, Eko Agus Santoso, I Wayan Bodan, AA Gede Waisnama Putra, Juju Jumardi, dan Bakir.
Selain itu, tesis mereka disahkan dengan tanda tangan penguji yang diduga palsu. Ada perbedaan tanda tangan penguji bernama Ismarlinda sebagai sekretaris penguji yang tertera di tesis dan tanda tangan asli.
Anehnya: Meningkat Jadi Universitas
Alih-alih memberikan sanksi pada kampus bermasalah itu, Kementerian justru berupaya menggabung tiga kampus bermasalah itu dengan dua sekolah tinggi lain dan meningkatkan statusnya menjadi universitas.
Lima kampus yang akan digabung adalah STT Pelita Bangsa, STIE Pelita Bangsa, STIE ISM, STKIP Sera, dan STMIK Triguna Utama.
Menurut Mardiyana, pemilik kelima kampus itu, pihaknya sedang menunggu izin dari Menristekdikti Mohamad Nasir. Mereka sudah mengajukan penggabungan setahun lalu dan sudah mendapatkan rekomendasi dari Kopertis IV.
“Tinggal nunggu izin dari Menteri,” kata Mardiyana kepada Tirto.
Rupanya keinginan menggabungkan sejumlah sekolah tinggi bermasalah menjadi universitas ini adalah ide Menteri Nasir.
Direktur Pembinaan Direktorat Kelembagaan Perguruan Tinggi Totok Prasetyo mengatakan Nasir menginginkan menutup 1.000 kampus dengan cara merger menjadi universitas.
“Harapan Pak Menteri, kami menutup 1.000 PTS bukan yang bermasalah saja, tapi yang berpotensi untuk di-merger,” kata Totok.
Tujuan penggabungan ini, kata Totok, untuk meningkatkan kualitas serta memudahkan pengawasan. Penggabungan ini mensyaratkan setiap kampus harus bebas dari masalah terlebih dahulu.
Dalam kasus STIE ISM, STKIP Sera dan STMIK Triguna Utama, penggabungan ini terkesan memaksakan. Selain tiga kampus memang sejak awal bermasalah, sang pemilik kampus, Mardiyana, memiliki rekam jejak buruk.
Ketiga kampus itu pernah tersandung masalah yang sama: jual beli ijazah bodong pada 2015.
Baca juga artikel terkait IJAZAH PALSU atau tulisan menarik lainnya Mawa Kresna