Home
/
Food

Kisah Opor dan Ketupat, dari Blusukan hingga Simbol Maaf

Kisah Opor dan Ketupat, dari Blusukan hingga Simbol Maaf
Elise Dwi Ratnasari15 June 2018
Bagikan :

Selain lekat dengan tradisi halal bi halal, Hari Raya Idul Fitri juga lekat dengan menu wajib. Dua menu yang seolah tak dapat dipisahkan yakni, opor ayam dan ketupat kerap digunakan untuk menjamu tamu yang berkunjung.

Rupanya di balik hidangan wajib Lebaran ini ada cerita menarik yang melingkupinya. Sosiolog sekaligus dosen di Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi opor ayam sudah ada sejak masa kerajaan, sebelum Islam masuk ke Nusantara.

Masakan ayam dengan kuah santan yang kemudian disebut opor ayam ini menjadi persembahan rakyat pada raja.


"Persembahan wajib dilakukan ketika raja ke pelosok-pelosok atau sekarang (disebut) blusukan," kata Sigit saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, beberapa waktu lalu.

Sigit berkata, opor ayam menjadi makanan kaum elit. Namun rakyat tetap ingin menyicip makanan ini. Kini hidangan dengan rasa gurih ini dapat disantap siapapun, tak hanya kalangan atas.

"Ini tradisi yang sudah dibentuk ratusan tahun sehingga menjadi semacam kewajiban bagi umat," imbuhnya.

Sedangkan kawan menyantap opor ayam alias ketupat memiliki cerita dan makna berbeda. Ketupat jadi menu makanan salah satu Wali Songo, Sunan Kalijaga saat menyebarkan Islam di Jawa Tengah.


Sigit bercerita, perjalanan ke pelosok untuk syiar agama Islam begitu panjang. Alhasil diperlukan makanan yang awet seperti ketupat. Sementara, ketupat dalam bahasa Jawa 'kupat' yang berarti 'kula ndherek lepat', saya mengaku bersalah.

"Kemudian ketupat menjadi simbol makanan ketika semua orang mengaku bersalah dan saling memaafkan," pungkasnya.

Berita Terkait

populerRelated Article