Kisah Qibtiyah, pekerja yang 28 tahun hilang kontak di Arab Saudi
Qibtiyah Jumanah (74) alias Jumanti binti Bejo Nurhadi tiba di rumah anak pertamanya di Desa Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa malam, kembali berkumpul dengan keluarga setelah 28 tahun berada di Arab Saudi tanpa komunikasi dengan kerabat di Tanah Air.
Perwakilan dari Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Serang dan Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Banyuwangi mengantar dia menuju rumah putra pertamanya Saiful Hadi di Desa/Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember.
Anak pertama Qibtiyah, Saiful Hadi, menuturkan ibunya tiba di Bandara Blimbingsari Banyuwangi pukul 12.10 WIB lalu melanjutkan perjalanan menggunakan mobil menuju Jember dan tiba di rumahnya sekitar pukul 18.30 WIB.
Perjalanan pulang Qibtiyah menjadi lebih lama karena dia dan rombongan pengantarnya harus singgah ke bank untuk membuka rekening guna menyimpan sisa uang gaji dari majikannya di Arab Saudi.
"Saya bersama istri dan adik kedua saya yang menjemput Ibu di Bandara Blimbingsari, kami bersyukur akhirnya bisa bertemu dengan ibu yang sudah puluhan tahun menghilang di Arab Saudi," tutur Saiful.
"Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu pemulangan Ibu ke Jember, sehingga di sisa waktu ini saya ingin membahagiakan Ibu," kata Saiful.
Qibtiyah memiliki empat anak, yakni Saiful Hadi yang tinggal di Desa/Kecamatan Tempurejo, Umi Lutfiah dan Ninik Ismiati tinggal di Kecamatan Umbulsari, dan Hadi Masruri yang bekerja di Singapura.
Saat bertemu pertama kali di Bandara Blimbingsari, Qibtiyah agak lama mengenai anak-anak yang dia tinggal ke luar negeri ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Yang pertama dia ingat adalah anak pertamanya Saiful.
"Alhamdulillah saya senang berkumpul bersama keluarga lagi di Jember," katanya sambil mengingat satu persatu anggota kerabatnya yang sudah menunggunya di rumah Saiful Hadi.
Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Disnakertrans Jember Sugeng Heri Mulyono mengatakan pemerintah sudah memastikan Qibtiyah mendapatkan haknya berupa sisa gaji yang sudah dibayarkan oleh majikannya Rp266 juta.
"Namun karena saat penyerahan hanya ada dua ahli warisnya yang hadir, maka sisa gaji tersebut dimasukkan dalam rekening bank untuk disimpan dalam tabungan," ujarnya.
Istimewa
Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel mendampingi Qibtiyah pulang dari Riyadh menuju Jakarta.
"Setelah hampir 28 tahun mengembara di Arab Saudi untuk bekerja, dan putus komunikasi dengan keluarga, akhirnya dia bisa merasakan kembali suasana naik pesawat untuk kembali ke Indonesia," kata Agus Maftuh setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Senin sore (14/5).
Menurut dia, Qibtiyah menjadi warga Indonesia pertama yang mendapat fasilitas istimewa pulang melalui fasilitas VIP bandara Arab Saudi walau izin keluarnya diperoleh melalui "tarhil" (rumah detensi imigrasi) karena majikannya tidak pernah membantu dia membuat "iqamah" atau surat izin tinggal.
Gubernur Riyadh Pangeran Faisal bin Bandar bin Abdulaziz Al Saud yang juga merupakan keponakan Raja Salman membantu proses pemulangan Qibtiyah.
Qibtiyah mulai bekerja di Arab Saudi pada 14 Agustus 1990 pada usia 46 tahun namun tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia. Kabar hilangnya Qibtiyah beredar di media sosial dan Kedutaan Besar RI di Riyadh menindaklanjutinya dengan melakukan pencarian sehingga menemukannya pada 18 April 2018.
Tak terdata
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal dalam siaran pers kementerian pada Rabu menyebutkan laporan mengenai Qibtiyah masuk ke kementerian dan KBRI pada 9 Maret 2018.
Setelah ditelusuri, nama Qibtiyah maupun Jumanti binti Bejo ternyata tidak tercantum dalam data induk KBRI Riyadh, KJRI Jeddah maupun Kementerian Luar Negeri. Artinya Qibtiyah tidak pernah meminta pelayanan apapun di Perwakilan RI selama 28 tahun berada di Arab Saudi.
Namun Tim Perlindungan WNI KBRI Riyadh tidak putus asa. Mereka menyebar pemberitahuan mengenai Qibtiyah melalui simpul-simpul warga Indonesia di Arab Saudi. Dan akhirnya titik terang datag dari seorang warga Indonesia asal Malang bernama Niayah binti Kasimin yang pernah berinteraksi dengan Qibtiyah.
Niayah bekerja pada kakak majikan Qibtiyah. Dari situ penelusuran dilakukan dan diketahui bahwa majikan Qibtiyah bernama Abdul Azis Muhammed Al-Daerim.
KBRI mendapati sang majikan tidak memiliki iktikad baik, karena berbohong bahwa Qibtiyah sudah dipulangkan tiga bulan lalu. KBRI tidak tinggal diam. Nota diplomatik kemudian dilayangkan ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Duta Besar RI di Riyadh juga mengirimkan surat kepada Gubernur Riyadh.
Pada 18 April 2018, KBRI dengan dukungan aparat setempat berhasil menjemput Qibtiyah dari majikannya dan membawanya ke rumah singgah KBRI Riyadh.
"Sebagian keluarga menganggap ini sebuah keajaiban. Mereka sudah sampai pada titik pasrah. Tapi dengan upaya Tim Perlindungan KBRI Riyadh, akhirnya bisa ditemukan," kata pejabat Kemlu RI Chairil Anwar yang mengantarkan Qibtiyah ke kampung halamannya di Jember.
Dari keterangan Qibtiyah diketahui bahwa, meski tidak mengalami tindak kekerasan, selama 28 tahun majikannya tidak pernah memenuhi kewajiban membuatkan surat izin tinggal, memperpanjang paspor maupun memfasilitasi komunikasi dengan keluarga.
KBRI juga mengupayakan pembayaran sisa gaji Qibtiyah yang belum dibayarkan oleh majikannya.
"Sekarang Qibtiyah sudah dibantu membuka rekening bank. Qibtiyah akan menghabiskan waktunya di kampung halaman menikmati hasil kerja kerasnya selama 28 tahun", kata Chairil.
Kemlu RI menyatakan bahwa sejak tahun 2014 sampai sekarang Kementerian Luar Negeri menerima tidak kurang dari 950 pengaduan (rata -rata 200 pengaduan per tahun) terkait putus/hilang kontak pekerja Indonesia di luar negeri dengan keluarga. Sulitnya proses pencarian di luar negeri membuat tingkat penyelesaian masalah relatif rendah, sekitar 19 persen.
Pengaduan kasus putus/hilang kontak paling banyak disampaikan oleh keluarga yang kerabatnya bekerja di Timur Tengah (679), Asia Timur dan Tenggara (189) dan Amerika Selatan (25).
Penelusuran keberadaan warga atau pekerja Indonesia di luar negeri sulit salah satunya karena kebanyakan agen-agen pengirim tenaga kerja tidak menunaikan kewajiban menginformasikan pengiriman pekerja dan data mereka ke Perwakilan RI di luar negeri.
Baca juga: TKW Parinah bertemu dengan keluarga setelah 18 tahun terpisah