Kontroversi Google Glass, Perangkat Canggih atau Cabul?
-
(Ilustrasi/dok. Engadget)
Uzone.id -- Perangkat kacamata pintar Google Glass yang dibikin Google sejak 2013 gak cuma berkaitan dengan teknologi canggih berbau sci-fi aja. Perangkat secanggih Google Glass aja masih bisa menuai kontroversi.Google Glass generasi awal, Explorer Edition tak lama lagi akan dimatikan dukungannya oleh Google. Update software terakhir sudah dirilis dan dukungan terhadap aplikasi MyGlass akan berakhir pada 25 Februari 2020.
Perangkat yang dibanderol US$1.500 atau setara Rp21 juta ini menyimpan beberapa kenangan, tak terkecuali kontroversi yang bikin lingkungan sekitar sampai gak nyaman.
Google Glass pada dasarnya memiliki kemampuan canggih yang tentu saja bisa terhubung dengan internet apabila pengguna melakukan pairing dengan aplikasi MyGlass -- ke depannya, pengguna musti menggunakan Bluetooth.
Baca juga: Review iPhone 11: Layak Dibeli Gak?
Jika pengguna memakai Google Glass, kita bisa melihat aktivitas online dari lensa kacamata, mulai dari Gmail, WhatsApp, YouTube, hingga Hangouts. Yaa, beragam layanan Google sudah pasti. Selain itu, Google Glass bisa digunakan untuk memotret dan merekam orang langsung dari lensa.
Nah… fitur ini yang mendulang protes, bahkan dibenci kebanyakan orang di Amerika Serikat.
Mengutip berbagai sumber, orang-orang cenderung bereaksi yang bernada negatif dengan keberadaan “komputer wearable” dan perangkat canggih seperti Glass ini.
Alasannya masih logis: dapat dimanfaatkan untuk memata-matai orang, bisa jadi alat bagi para orang cabul yang ingin mengintai ‘mangsa’ karena bisa dengan bebas memotret atau merekam video orang lain.
Baca juga: Lary Page Mundur, Sundar Pichai Jadi Orang Nomor Satu Alphabet
Jika ada bantahan yang bilang bahwa selama ini hal tersebut juga bisa dilakukan dengan ponsel pintar selama ini, maka kontroversi Google Glass ini gak jauh-jauh dari seputar perangkat kacamata itu sendiri -- merekam atau mengambil foto orang lain dari perangkat yang letaknya langsung di wajah tentu menambah kesan “ngeri” tersendiri.
Gak heran apabila beberapa tempat umum di AS melarang penggunaan Google Glass. Contohnya, bar di Seattle. Dari sini, warga AS sampai punya sebutan khusus untuk Google Glass, yakni “glasshole”.
Apa mungkin orang gak mau nerima perubahan yang lebih maju?
Bisa jadi. Hal ini diutarakan oleh teknisi sekaligus pendiri perusahaan yang mengembangkan skuter pintar Segway, Dean Kamen. Dulunya, skuter Segway juga dicemooh orang-orang karena dianggap hanya gimmick semata.
“Bisa jadi orang itu ragu menghadapi perubahan. Apapun yang dipelajari saat masih kecil, tentang teknologi dan lain sebagainya, ya sudah disimpan sendiri aja,” ungkap Damen, seperti dikutip dari Yahoo Entertainment.
Menurutnya, banyak juga yang gak memiliki daya imajinasi tinggi terhadap teknologi baru.
Baca juga: Google Assistant Bisa Diakses Pakai Ponsel 2G
“Hari gini orang berpikir apa gunanya Google Glass, karena ini adalah perangkat baru. Belum pernah mereka telaah dan coba apa manfaatnya,” katanya lagi.
Damen kemudian memberi contoh reaksi orang sekitar 30 tahun lalu mengenai keberadaan komputer. Kala itu, tak sedikit yang berpikir seberapa penting jika tiap individu punya komputer yang identik dengan kebutuhan bisnis atau militer. Namun pada kenyataannya, sekarang orang-orang gak bisa hidup tanpa teknologi canggih seperti komputer.
Google memang tampak begitu visioner menghadirkan perangkat ini di tahun 2013 dan berupaya banget supaya Google Glass menjadi produk teknologi yang bakal selalu ada, seperti halnya smartphone.
Sayangnya, kontra lain yang muncul terhadap produk ini adalah harga yang sangat mahal, yakni US$1.500 atau setara Rp21 juta. Ponsel memiliki harga segitu saja sudah tergolong mahal, apalagi untuk produk wearable.