Kronologi Tagar #Uninstallgojek di Media Sosial
Layanan ridehailing GO-JEK menjadi pembicaraan hangat Warganet pada Jumat (12/10) malam.
Pemicunya bukan karena Babang GO-JEK (Panggilan akrab mitra pengemudi) yang tak ramah atau maksimal layanan ke penumpang, tetapi postingan dari status Facebook dengan nama akun Brata Santoso yang beredar di media sosial (Medsos).Dalam penelusuran di LinkedIN, nama Brata Santoso adalah VP of Operations and Business Development GO-JEK.
Dari tangkapan postingan di akun medsos yang tersebar di Twitter dan Facebook terlihat pernyataan tentang dukungan pada Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau LGBT yang dibuat Brata.
Brata dalam catatannya menceritakan tentang kampanye internal yang dilakukan GO-JEK dengan tema #GoingALLin yang menerima perbedaan dalam perusahaan termasuk soal preferensi seksual.
Dalam tangkapan layar tersebut, dituliskan ada 30 lebih karyawan Gojek yang merupakan LGBT dan gerakan #GoingALLin itu mendapat dukungan banyak pihak.
Tangkapan layar tersebut menunjukkan akun Brata Santoso memosting pada 11 Oktober 2018. Namun saat dicek pada halaman Facebook milik Brata Santoso, postingan yang dimaksud tak ditemukan. Pada akun Brata Santoso, postingan terakhir yang terlihat yakni postingan tertanggal 20 September 2018.
Sontak saja warganet menjadi heboh sejak Jumat (12/10) dan berlanjut hingga Sabtu (13/10) pagi.
Tangkapan layar yang bernada dukungan ke LGBT itu sontak membuat pengguna medsos di Tanah Air beraksi, dalam bentuk munculnya kekecewaan pada Gojek dan menyertakan tagar #uninstallgojek.
Dalam pantauan di twitter, tagar #uninstallgojek masih digunakan warganet untuk membahas tanggapan dari manajemen GO-JEK setelah postingan dari petingginya itu menyebar.
Manajemen GO-JEK dalam pernyataannya menyatakan sangat menghargai keberagaman (diversity). "Kami percaya bahwa ide dan kreatifitas, yang menjadi kunci untuk melahirkan inovasi bermanfaat bagi masyarakat, merupakan buah dari hasil kerjasama berbagai latar belakang, pendidikan, budaya, dan keyakinan. Keberagaman juga menjadi elemen dalam dinamika karyawan kami," tulis pernyataan GO-JEK.
Terkait postingan yang beredar di media sosial, GO-JEK menegaskan bahwa post tersebut merupakan pendapat dan intepretasi pribadi dari salah satu karyawan GO-JEK, terhadap salah satu event internal dengan tema keberagaman.
Tangkapan postingan diduga salah satu petinggi di GO-JEK yang tersebar di media sosial
"GO-JEK selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya Indonesia, negeri tempat kita lahir, tumbuh dan berkembang. Pada intinya, GO-JEK adalah bagian dari Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika," katanya.
Akun @alnamthur mencuitkan pendapatnya, "Kl begitu pola analisis @gojekindonesia secara company dan business maka #UninstallGojek #UninstallGojek adalah langkah yg tepat di bumi Indonesia ini krn tdk menghargai pendiri bangsa ini dng menggunakan Bhinneka tunggal Ika sbg alat mengakui kaum LGBT, ralat omongan pak Brata".
Gunung Es
Ketua Umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menilai fenomena yang terjadi sekarang terkait maraknya propaganda LGBT di medsos adalah puncak gunung es karena tak jelasnya posisi pemerintah terhadap isu yang sensitif tersebut.
"Selama pemerintah tak jelas posisinya, ini akan berulang terus. Medsos dianggap kanal propaganda yang bagus bagi LGBT untuk menyatakan eksis di Indonesia. Ini berbahaya bagi millenial yang banyak mengidolakan startup, bisa salah kaprah nanti," sesalnya.
Dewan Pembina IDIEC Mochamad James Falahuddin menegaskan jika yang melakukan kampanye internal perusahaan dari luar negeri, mungkin masih bisa dipahami jika mereka harus mengadopsi tata nilai dari negara mereka berasal.
"Tapi sangat tidak bisa dimengerti kalau perusahaan yang asli Indonesia, punya kebijakan meng-endorse secara terbuka LGBT di negeri ini. Apalagi mereka ini menjadikan cucuran peluh dari para driver-nya , yang tentu saja asli indonesia , dan dalam beberapa hal terlihat sebagai bentuk digital slavery, sebagai underlying untuk memikat investasi puluhan trilyun rupiah," sesalnya.
Diingatkannya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, status hukum LGBT di Indonesia ini masih "haram" dan bertentangan dengan UU Perkawinan Tahun 1974.
"Jadi sekali lagi, langkah mereka ini sangat sulit dimengerti, karena artinya mereka mengadvokasi sesuatu yang statusnya masih "melanggar hukum". Kalau ingin merayakan diversity atau bhinneka tunggal ika, masih banyak yang bisa diangkat misalnya isu kesetaraan kerja bagi penyandang disabilitas ... walaupun emang pasti kurang seksi dibanding angkat isu cinta sejenis," sindirnya.
Diharapkannya, pemerintah hadir untuk melawan upayan gerakan melegalkan hal terlarang itu. "Saya perhatikan ini sudah sangat terstruktur, sistematik dan masif. Jadi kalau kita semua ingin anak cucu selamat dari virus ini, negara harus hadir. Buktikan Nawacita dalam kasus ini," tegasnya.(dn)