Lorong Garang Ruko Alexis Kala Petang Datang
Petang lebih senyap di kompleks ruko Grand Ancol, pengelola Alexis, yang berlokasi di Ancol, Pademangan, Selasa (31/10), sehari usai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan penutupan Alexis hotel, griya pijat, dan lokasi hiburan di kawasan utara Jakarta.
Ruko Grand Ancol yang menjadi lokasi hotel dan bar itu tak lagi sibuk oleh truk-truk logistik dan mobil pengunjung yang para hari-hari sebelumnya jamak ditemui menjelang pukul 16.00, waktu buka pintu di tempat itu, menyambut denyut dan gairah yang biasa ada di sana sepanjang malam.Malam itu memang berbeda. Menandai babak baru bagi nasib Alexis kini: tamat.
Usaha Alexis yang konon beroperasi sejak tahun 2006 itu harus berakhir setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pasangan gubernur-calon gubernur baru mereka, tak memperpanjang izinnya, bahkan menutupnya.
Sikap tersebut sekaligus bentuk pelunasan janji kampanye Anies yang meniatkan untuk menutup Alexis karena lokasi itu diyakini sebagai lokasi prostitusi terselubung, tempat “esek-esek” papan atas Jakarta.
Petang sesudah segala aktivitas Alexis dibekukan, ruko itu senyap dan dijaga ketat. Belasan petugas keamanan berwajah tegang menggantikan keramaian yang biasa mewarnai tempat hiburan malam tersebut.
Berada di bawah lampu sorot media dan masyarakat, Alexis bersiaga. Meski siang membuka pintu bagi jurnalis untuk melihat-lihat isi gedung dari lantai 1 hingga 7 di mana “surga dunia” terletak, petang hawa sudah berubah. Keramahan itu rupanya tak bertahan hingga malam.
Menjelang senja, Alexis disterilkan, pun bagi wartawan. Beberapa mobil media yang mencoba masuk, diadang petugas keamanan berkemeja hitam dan pegawai berseragam. Macam menegaskan: waktu tur sudah habis.
Sekadar berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar gedung Alexis saja tak mudah. Suasana tegang menggantung di udara.
Memutar balik ke pagi hari. Pukul 09.00 hari itu, Alexis menggelar “tur” bagi wartawan yang memadati halaman gedung itu. Mereka membawa rombongan wartawan menjelajah lantai demi lantai Alexis, menyambangi mulai 4Play Club & Bar Lounge, Xis Karaoke, dan Bathhouse Gentlemen Spa di lantai 7 yang diisukan merupakan ruangan utama yang menopang prostitusi di tempat itu.
Namun begitu mentari terbenam, wartawan “diusir” meski hanya di depan gerbang. Tak ada liputan soal Alexis di malam hari. Cukup.
Di sebuah kedai kopi di sudut perkantoran yang berada di kawasan itu, percakapan tegang berlangsung. “Jangan mau diwawancarai wartawan, nanti salah ngomong dimarahi oleh atasan!” gertak lelaki berkemeja putih kepada dua orang perempuan dan tiga pria yang tengah menyeruput minuman dingin.
Dua perempuan dan tiga pria itu tampak mengangguk setuju, kemudian masuk ke Alexis. Kepanikan manajemen Alexis seperti merambat ke semua pihak yang terkait dengannya.
kumparan yang berada di kedai kopi tak luput dari tatapan curiga. Ketegangan baru pecah menjadi tawa ketika segerombolan anak berusia tanggung melintas. Mereka duduk di atas truk barang yang melaju dan berteriak, “Hore, Alexis ditutup. Nggak ada jablay lagi!” canda anak-anak itu.
Seorang lelaki yang tengah duduk dengan sebatang rokok menyala di sela jarinya, menyahut kelakar bocah-bocah itu dengan umpatan. Ia lalu berbicara santai kepada kami.
“Kalau (Alexis) ditutup gini, harusnya tempat serupa ditutup semua di Jakarta,” ucapnya ringan diselingi tawa.
Obrolan warung kopi di sekitar Alexis dekat dengan bahasa mesum soal seks, meski orang-orang di sekitarnya tak mengungkap gamblang apakah Alexis benar-benar sarang prostitusi atau tidak.
Perbincangan lalu berlanjut ke soal penghidupan. Si lelaki dengan rokok di jemari itu berpendapat penutupan Alexis akan berdampak terhadap penghidupan orang-orang yang bekerja di dalamnya.
“Soal politik ini, Bang. Tapi kenapa ganggu penghidupan orang. Bagaimana yang kerja di dalam?” ujarnya gusar.
Alexis tak sendirian menempati Kompleks Ruko Grand Ancol Centre. Namun, pada 20 lebih ruko yang bertetangga dengannya, aktivitas tak seramai di Alexis.
Keramaian di halaman ruko biasanya terpusat pada penjaja makanan dan minuman yang terpusat di sudut dekat pintu keluar bagian belakang kompleks ruko. Para pedagang itu menjadi andalan para pegawai yang bekerja di kompleks itu, untuk mengisi perut.
Orang-orang berpakaian necis, apakah ia karyawan atau petugas keamanan, membawa semangkuk baksi dan sepiring siomay. Wajah-wajah garang hilir mudik mampir membeli minuman dan rokok di kedai.
Pelanggan terbanyak datang dari Alexis--yang memiliki karyawan terbanyak di area tersebut. Sore itu, tampak penjual bakso mondar-mandir mengantar mangkuk demi mangkuk ke dalam hotel, mengisyaratkan kesibukan yang terjadi di dalamnya.
Matahari terbenam saat jalanan di sekitar Alexis macet total. Motor, mobil, dan truk logistik berukuran besar bertungkus lumus, berlomba saling mendahului. Klakson dan umpatan pengendara sahut-menyahut.
Namun, di sisi jalan yang ramai dan terang, kompleks ruko begitu sunyi dan gelap. Jalanan menuju bagian belakang Alexis berubah menjadi lorong gelap. Hanya ada titik-titik nyala rokok dari para lelaki yang duduk di kegelapan.
Tak ada lampu dan suara dari Alexis. Hanya lampu warna-warni yang temaram di gedung itu. Cahaya terang benderang hanya muncul dari dan minimarket dan salon yang berlokasi tegak lurus dengan pintu masuk karyawan Alexis.
Tak ada kesibukan di salon itu. Seorang lelaki yang berada di sana bercerita, salon tersebut sering digunakan para perempuan yang bekerja di hotel. “Mereka dandan di sini, baru kalau sudah cantik naik ke atas,” ujarnya.
Belum selesai ia berbicara, seorang perempuan dengan dandanan penuh, melintas menuju bagian belakang hotel Alexis. Ia mengenakan pakaian modis dan sepatu hak tinggi. Langkahnya terburu-buru tapi pasti. Seperti sudah biasa melewati jalanan konblok berongga di bagian belakang Alexis itu.
Ia bukan satu-satunya perempuan dengan riasan penuh di wajah yang melintas malam itu. Ada tiga perempuan lain. Mereka semua melangkah cepat-cepat di tengah pengamanan ketat gedung.
Alexis jelas tak ramai malam itu. Jangankan pengunjung, karyawan pun tak terlihat. Padahal, sebelum ditutup, Alexis menyebut mempekerjakan seribu orang pegawai, di antaranya 150 orang yang ditempatkan di griya pijat dan hotel.
Jarum jam berada di angka 7 malam ketika penjagaan kian ketat. Petugas keamanan ditempatkan di dua pintu masuk hingga sudut-sudut belakang ruko. Sementara di pintu masuk karyawan dan barang, empat orang berbadan kekar juga disiagakan. Oh wow, ini betul-betul seperti di film.
Makin malam, hampir setiap sudut kompleks ruko Grand Ancol dijaga petugas keamanan. Meski ruko tersebut memiliki penjagaan sendiri dengan menyewa personel berseragam satpam, kali ini para penjaganya berpakaian hitam dan cokelat.
Beberapa personel keamanan lantas berpatroli. Mereka membawa lampu penerangan guna menyisir setiap sudut ruko. Mobil yang terparkir bahkan dicek bagian depannya.
Ketika tim patroli menyisir parkiran mobil, seorang laki-laki berbadan kekar datang dari sisi berlawanan.
“Ayo jaga yang bener. Jangan sampai meleng!” ujarnya
“Siap Pak!” jawab anggota tim patroli.
Pada minimarket yang menyala terang dikepung remang, alat kontrasepsi seperti kondom, obat kuat, dan pelumas dijejerkan di dekat kasir. Tak terlalu aneh, karena hampir setiap minimarket modern sekarang ini menyediakan kondom dekat kasir. Namun pada yang satu ini, alat bantu seksnya lebih beragam.
Pukul 21.00, lobi Alexis didatangi tiga orang pria berpakaian santai layaknya pelancong. Mereka berkaos oblong dan bercelana pendek. Ketika masuk ke lobi, mereka tampak bingung karena tidak diizinkan masuk. Mungkin kecele, tidak tahu-menahu soal tutupnya Alexis.
Kemacetan Jalan RE Martadinata telah menghilang ketika kami beranjak. Lonceng Cinderella berdentang. Jam 12 malam. Dan lorong-lorong di samping Alexis kian didominasi petugas keamanan.
Keesokannya, Rabu malam (1/11), Alexis masih tak ramah. Ketika kami membeli minuman di gerbang barat kompleks ruko, petugas keamanan berpakaian preman datang. “Tolong pergi dari tempat ini. Tidak boleh ada orang masuk,” ujar lelaki itu.
Kompleks ruko benar-benar terlihat gelap dari tepi jalan besar yang terang dan ramai. Plakat Alexis pun telah dicopot.
Sayonara, Alexis.