Home
/
Sport

Lothar Matthaus: Legenda Si Tukang Omong

Lothar Matthaus: Legenda Si Tukang Omong
Bulky Rangga Permana23 March 2018
Bagikan :

Lothar Matthäus adalah sebuah pengecualian.

Di usia 19 tahun ia sudah ikut mempersembahkan trofi Piala Eropa 1980. Sepuluh tahun kemudian ia memimpin Jerman Barat menyabet gelar Piala Dunia untuk ketiga kalinya. Di level klub ia mengoleksi tujuh gelar Bundesliga, dua piala UEFA, dan satu Seri A Italia, di samping gelar domestik lainnya.

Sebagai pemain ia menjadi Pemain Terbaik Jerman dua kali (1990, 1999), dan menjadi pemain pertama yang menerima penghargaan Pemain Terbaik Dunia versi FIFA yang baru pertama kali diberikan pada 1990. Maradona menyebutnya sebagai lawan terkuat yang pernah ia hadapi. Di Jerman, pamornya hanya kalah dari “Der Kaiser” Franz Beckenbauer sendiri.



Kendati demikian, Lothar Matthäus adalah sebuah anomali. Meski merupakan salah satu pemain berbakat yang pernah dilahirkan Tim Panser, akan tetapi ia bukanlah figur yang dicintai publik Jerman. Tak hanya itu, publik Jerman pun tampak susah menaruh respek kepada Matthäus dan lebih menganggapnya sebagai angin lalu.

Simon Kuper, penulis The Football Men: Up Close with the Giants of the Modern Game (2011), menerangkan dalam bab “Lothar Matthäus: The Tabloid Reader” betapa orang Jerman bisa digambarkan lewat sikapnya terhadap Lothar Matthäus.

“Orang terpelajar Jerman memandang rendah Matthäus karena ia bukan orang terpelajar ... Kaum urakan mencemooh Matthäus karena mereka memandang rendah kebanyakan orang Jerman. Pembenci Bayern Munchen (mungkin kelompok tunggal paling penting dalam masyarakat Jerman) memandang rendah Matthäus karena ia pemain Bayern. Dan pemain Bayern pun tak terlalu antusias padanya karena ia menghabiskan dua belas tahun [di sana] menjelek-jelekan klubnya itu.”

Banyak Omong

Lahir pada 21 Maret 1961, Matthäus besar di Herzogenaurach, sebuah kota kecil di sebelah utara Bavaria. Menurut Kuper pada 1961 Herzogenaurach memiliki populasi kurang dari 20 ribu penduduk dan hanya dikenal karena dua hal, yakni Puma dan Adidas yang berkantor pusat di sana.

Kedua orang tua Matthäus bekerja di Puma. Sang ayah, Heinz Matthäus, bekerja sebagai pesuruh, sedangkan sang ibu, Katherina, mengerjakan jahitan panel kulit bola di rumah.

Pada 1979 Matthäus bergabung dengan Borussia Mönchengladbach. Satu tahun kemudian ia dipanggil skuat timnas senior Jerman Barat berlaga di Piala Eropa 1980. Ia melakukan debutnya ketika Jerman bertanding melawan Belanda di babak grup.

Namun, menurut pengakuannya, debut yang sesungguhnya baru terjadi pada Piala Dunia 1986. Saat itu Jerman Barat melaju ke final menghadapi Argentina. Oleh Beckenbauer, Matthäus diperintahkan untuk mengawal pergerakan Maradona. Jerman menyerah dengan skor 3-2. Empat tahun kemudian di Piala Dunia 1990 yang berlangsung di Italia, Matthäus menjadi kapten, dan berhasil membalas dengan mengalahkan Argentina 1-0.

Tak diragukan ini merupakan puncak penampilan sekaligus pencapaian Matthäus. Akan tetapi, reputasi gemilang di lapangan ini dibarengi pula oleh reputasi lain di luar lapangan. Matthäus terkenal sebagai orang yang tak bisa menjaga lidahnya. Itu mengapa meski dikagumi, Matthäus tak pernah menjadi orang yang disukai.

Reputasi itu sudah sedari awal menempel pada Matthäus. Pada 1980, Ribbeck, asisten pelatih Jerman Barat pernah berkomentar mengenai itu.

“Bahkan ketika kami sedang mendiskusikan rencana makan, ia terus nyerocos,” ujarnya seperti dikutip Guardian.

Sebetulnya banyak pemain bola yang suka omong. Salah satunya adalah Johan Cruijff. Namun, yang membedakan Matthäus dengan pemain legendaris Belanda itu adalah isi dari omongannya itu.

Matthäus punya kebiasaan membicarakan hal yang buruk-buruk tentang rekan setimnya dan membocorkan pembicaraan internal tim kepada media. Kebiasaannya ini membuat dirinya bertengkar dengan hampir semua orang.

Salah satu yang terkenal adalah perseteruannya dengan Jurgen Klinsmann dan pelatih Jerman, Berti Vogts. Pertengkaran yang bertahan sampai bertahun-tahun itu terjadi saat Piala Dunia 1994. Saat itu, Jerman terhenti di perempat final setelah obrolan di kamar ganti muncul di tabloid terbesar Jerman, Bild. Hal itu membuat Klinsmann dan Vogts berang.

Setelah insiden itu, Klinsmann menjadi kapten tim Jerman menggantikan Matthäus yang mengalami cedera parah usai Piala Dunia 1994. Namun, saat ia hendak kembali tampil pada Piala Eropa 1996, Matthäus menuduh Klinsmann sengaja menghalang-halangi usahanya tersebut.

“Bermain bersama dengannya [Matthäus] sudah tidak mungkin lagi,” ujar Vogts waktu itu sebagaimana dikutip Independent.

Infografik Lothar Matthaus
Preview

Ucapan Rasis dan Seksis

Selain omongan-omongannya di dunia sepakbola, Matthäus beberapa kali membuat marah orang-orang terkait komentar-komentarnya yang dianggap rasis dan seksis. Ia, misalnya, pernah tertangkap kamera berkata pada seorang turis Belanda yang membuatnya jengkel: “Kau terlewat di masa Adolf [Hitler].”


Di kesempatan lain, seperti dicatat Kuper, ia pernah berseru pada tim bola basket perempuan yang sedang melintas bahwa “teman kami yang berkulit hitam (Adolfo Valencia, rekan setimnya di Bayern) memiliki [penis] sepanjang ini.”

Menurut Simon Kuper kendati “Matthäus bukan seorang Nazi” ataupun “memiliki pandangan tertentu terhadap orang kulit hitam” ia tipikal orang yang tertarik pada hal-hal kontroversial.

Reputasi ini diperburuk oleh hasrat Matthäus untuk menjadi pusat perhatian dan kesediaannya untuk berbicara apa saja di hadapan media, termasuk mengenai kehidupan pribadinya.

Seperti dilansir situs berita DW, saat ia ditinggalkan istri keempatnya, Liliana, yang baru berusia 22 tahun dan berujung pada perceraian, Matthäus “secara demonstratif melepas cincin pernikahannya di depan kamera TV dan memilih tabloid Bild untuk mengumumkan bahwa kini dirinya tidak akan membayar biaya operasi penyusutan payudara istrinya itu.”

Melihat sepak terjang Matthäus di luar lapangan, agak bisa dimengerti jika banyak orang Jerman yang tak menyukai legenda sepakbola mereka yang satu ini. Merujuk Guardian, beberapa saat sebelum ia pensiun, rekan setimnya sudah belajar untuk tidak menganggap serius Matthäus.

“Jika ada berita muncul di Bild atau Kicker, mereka cuma nyengir dan berkata: ‘Ah, Lothar.’”
Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan menarik lainnya Bulky Rangga Permana

populerRelated Article