Lupakan Illuminati, Segitiga Memesona Ilmuwan Yunani hingga Arab
Seorang guru SMP saya kerap menyelipkan satu hingga dua anekdot ketika mengajar di kelas. Salah satu anekdotnya menceritakan pertemuan B.J Habibie, presiden ke-3 Indonesia yang terkenal jenius itu, dengan kiai dari Madura.
Suatu kali si kiai bertanya, "Berapa meter tinggi tiang bendera itu, Pak Habibie?"
Balas Habibie, "Buat mengukurnya, kita robohkan saja dulu tiangnya. Tiang itu, kan, dibikin untuk bisa dirobohkan. Setelah roboh, kita ukur tiang itu,"
Si kiai tidak takjub mendengar jawaban Habibie. "Kalau tiang diukur setelah dirobohkan, itu namanya bukan mengukur tinggi, tapi mengukur panjang."
Habibie mengernyitkan dahi, lalu, pergi meninggalkan kiai itu. Tidak beberapa lama, Habibie balik lagi. Si kiai kini heran melihat sedotan plastik dan busur yang dibawa Habibie. "Buat apa itu, pak Habibie?"
Tanpa menjawab pertanyaan si kiai, Habibie berjalan ke tiang. Sesampainya di tiang, Habibie malah berjalan menjauh tiang itu sambil menghentakkan kakinya, seperti orang sedang baris-berbaris, dan tepat di langkah ke tiga puluh dia berhenti. Lalu, ahli pesawat terbang itu mengintip ujung atas tiang bendera dengan sedotannya. Lantas, Habibie meletakkan busur di lubang tempat ia mengintip. Berkali-kali ia mengecek sudut kemiringan sedotan di busur.
Tidak berapa lama, Habibie balik menghampiri si kiai. "Pak kiai, itu tiang tingginya sekitar sebelas setengah meter."
Anekdot tamat sampai di situ. Guru SMP saya kemudian mengajak para murid untuk mengambil hikmahnya: Habibie memang jenius.
Belakangan, saya tahu guru SMP saya memodifikasi anekdot itu. Anekdot Habibie versus kiai Madura pada umumnya tamat ketika kiai Madura menolak penjelasan Habibie. Ketika mendapat pelajaran trigonometri di bangku SMA, saya paham bahwa yang digunakan Habibie untuk mengukur tinggi tiang itu sederhana betul: prinsip-prinsip segitiga.
Ujung sedotan tempat Habibie mengintip, ujung atas tiang, dan ujung bawah tiang membentuk segitiga siku-siku imajiner. Sisi alas segitiga imajiner itu berpanjang sekitar 10 meter. Ini didapat dengan menganggap satu langkah Habibie berpanjang 0,3 meter. Karena dia berjalan 30 langkah, walhasil panjang sisi alas segitiga itu 0,3 meter dikali 30, alias sama dengan 10 meter.
Dengan sedotan dan busur, Habibie sebetulnya membuat perangkat klinometer. Pada dasarnya, klinometer digunakan untuk mengukur tinggi sesuatu lewat informasi sudut yang tertera di klinometer. Penggunaan perangkat ini kerap jadi materi Pramuka di sekolah.
Kemungkinan besar sudut yang dibentuk sedotan dengan busur Habibie sebesar 45 derajat. Menggunakan prinsip trigonometri, perbandingan panjang sisi yang berada di hadapan sudut itu dan sisi alas ialah 1 banding 1. Walhasil, bila sisi alas segitiga imajiner Habibie berpanjang 10 meter, sisi yang berada di hadapan sudut—yang tak lain adalah tiang, juga berpanjang 10 meter. Tinggi tiang seutuhnya didapat setelah menambahkan tinggi pengamat—alias Habibie yang kira-kira punya tinggi 1,5 meter. Akhirnya, Habibie mengetahui bahwa tiang itu bertinggi—sesuai istilah keinginan si kiai—11,5 meter.
Tentu, Habibie dalam anekdot bukan orang pertama yang menggunakan trigonometri untuk keperluan praktis semacam itu. Pada abad ke-2 SM, Erasthotenes menghitung keliling Bumi dengan trigonometri tanpa perlu keluar dari negeri tempat tinggalnya di Mesir. Pada awal abad ke-19, matematikawan sekaligus astronom kelahiran Jerman Friedrich Wilhelm Bessel juga menghitung jarak bintang ke Bumi dengan memanfaatkan trigonometri.
Trigonometri merupakan cabang ilmu matematika yang mempelajari hubungan sudut dan sisi segitiga. Sebab banyak bentuk geometris dapat dibelah menjadi beberapa segitiga, trigonometri dapat pula digunakan untuk menyingkap bentuk-bentuk geometris lainnya. Misal, poligon bersisi lebih dari tiga dapat dibelah menjadi beberapa segitiga. Pada abad ke-3 SM, Archimedes menggunakan poligon untuk mencari tahu nilai pi lingkaran. Dengan cara itu, Archimedes mengetahui nilai pi (π) berada di rentang 3 10/71 dan 3 1/7.
Tidak hanya itu, dipadukan dengan lingkaran, sisi dan titik segitiga merupakan kunci penyingkap rahasia segitiga itu sendiri. Sinus, cosinus, tangen, dan pelbagai rumus yang dihasilkan dari perpaduan ketiganya ialah adonan dasar yang dikembangkan dari situ. Hal ini pula yang kemudian diajarkan pada umumnya di sekolah menengah di Indonesia. Tidak heran bila beberapa orang tidak mengingat istilah "trigonometri", melainkan "pelajaran soal sinus-cosinus".
Mula-mula Segitiga
Sulit memastikan sejak kapan manusia menyarikan segitiga sebagai bentuk geometris dan menggunakannya keperluan praktis. Yang jelas, banyak orang dari pelbagai bangsa dan peradaban terlibat mencari ilmu dan amal segitiga.Peradaban kuno Yunani, Babilonia, India, dan Cina telah menggunakan prinsip segitiga untuk mengukur pergerakan benda-benda langit, mulai dari planet, bintang, bulan, dan hingga matahari.
Dalam artikelnya di Live Science, Robert Coolman mengatakan catatan tertua fungsi sinus diketahui berasal dari India abad ke-5. Itu termuat dalam karya Aryabhata, Aryabhatiya. Selain Aryabhatiya, ada pula buku astronomi, siddhantas, yang membahas gerak-gerik benda langit yang kemudian ditulis ulang Varahamihira. Sementara itu, pada abad ke-6 SM, Mahabhaskariya yang disusun Bhaskara I menunjukkan cara menghitung nilai sinus dengan rasio fungsi kuadrat.
Di Yunani Kuno, yang berkecimpung di bidang itu antara lain Eudoxus, Aristarchus, Hipparchus, Menealos, dan Ptolomeus. Yang disebut terakhir merupakan penganut geosentrisme, bumi pusat alam semesta. Lahir di abad ke-2 SM, Ptolomeus menulis Almagest, buku yang menghimpun bujur dan lintang benda-benda langit, paralaks, jarak dan ukuran relatif Matahari dan Bulan, gerakan bulan dan matahari, hingga gerhana.
Selain mereka, Eukleides menulis buku Elements pada abad ke-3. Elements adalah salah satu karya paling penting dalam perkembangan matematika. Dalam proposisi 20 Buku I Elements, Eukleides menuliskan apa yang sekarang dikenal dengan sebutan prinsip ketaksamaan segitiga: jumlah panjang sebarang dua sisi segitiga selalu lebih besar dari satu sisi lainnya.
Karena rumusan itu Eukleides dibilang terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang sudah jelas-jelas jelas. Alexander Ostermann dan Gerhard Wanner menuliskan dalam Geometry by Its History (2012) bahwa rumusan Eukleides itu dicibir "Digni ipsi, qui cuma Asino feonum essent".
Ungkapan itu kurang lebih berarti, "Bahkan bila seekor keledai ditaruh di satu titik sudut segitiga dan sebongkah jerami diletakkan di satu titik sudut lain, keledai akan berjalan melewati satu sisi yang menghubungkan dia dan sebongkah jerami itu, bukan dua sisi lainnya."
Trigonometri Dimuliakan Ilmuwan Islam
Ilmu trigonometri ala India dan Yunani kuno itu kemudian dihimpun dan dikembangkan lebih lanjut di Baghdad, tepatnya di Perpustakaan Besar Baghdad yang diririkan oleh khalifah Islam Abassiyah dan akrab disebut "Rumah Kebijaksanaan".
Sebagaimana dicatat Sami Chalhoub dan Boris A. Rosenfield dalam "Trigonometry in Islamic Mathematics" (2014), sebuah siddhantas diketahui ada di Baghdad sekitar 773 Masehi. Pada abad ke-9, buku Ptolemeus, Almagest, dan buku Menealus, Spherics, diterjemahkan.
"Almagest, Spherics, dan siddhantas menjadi dasar orang Arab mengembangkan trigonometrinya," tulis Chalhoub dan Rosenfield.
Karya-karya astronomis yang disusun Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi mengandung penerapan trigonometri yang dapat disamakan dengan yang digunakan dalam siddhantas. Metode al-Khwarizmi untuk mencari azimut kemudian dikembangkan lagi oleh al-Mahani dalam Treatise on the Determination of the Azimuth at Any Time and in Any Place.
Thabit ibn Qurra menggunakan teorema sinus dan cosinus segitiga bola dalam Book on Horary Instruments Called Sundials. Sedangkan Habash al-Hasib menerapkan fungsi tangen dan cotangen. Hal ini melampaui kebiasaan penggunaan fungsi itu di teori jam matahari.
Al-Battani, dalam Islah al-Majisti, secara sistematis mengembangkan fungsi trigonometri sinus dan versinus. Pengembangan trigonometri secara lebih sistematis lagi ditemukan dalam Kitab al-Kamil yang disusun Abu al-Wafa.
Al-Wafa juga menunjukkan pembuktian teorema sinus segitiga bola dalam karyanya, al-Majisti. Ulasan sejenis turut dikemukakan dua muridnya, Abu Nasr ibn Iraq dalam Risala fi ma'rifa al-qisi al-falakiyya, dan al-Khunjadi dalam Kitab fi al-saat al-madiyya fi al-layl.
Murid Ibn Iraq dan al-Khunjadi, al-Biruni, kemudian menyusun buku berjudul Kitab maqalid ilm al-hay'a yang berisi sejarah penemuan teorema dua gurunya. Al-Biruni sendiri merupakan jenius penulis Mas'udic Canon. Berisi ringkasan hasil kerja pendahulu-pendahulunya serta pengamatan dan perhitungan pribadinya, itu buku terbagi atas 11 bab. Bab III khusus membahas trigonometri.
"[Buku al-Biruni] itu berisi perhitungan yang ekivalen dengan rumus untuk sinus penjumlahan dua sudut, sinus selisih dua sudut, dan sinus sudut ganda. Itu juga mencakup solusi persamaan kubik dan pembagian sudut menjadi tiga, dan hukum sinus untuk trigonometri bidang datar: (sinA/a)=(sin B/b)=(sin C/c)," tulis Chalhoub dan Rosenfield.
Satu ilmuwan lain yang tak kalah penting adalah Nasir al-Din al-Tusi. Kitab al-shakl al-qatta yang ditulisnya terdiri atas lima bab. Buku itu berisi rumusan sistem trigonometri baik untuk bidang datar dan bola.
Segitiga dan Copernicus: Bumi yang Mengelilingi Matahari
Pada periode berikutnya, apa yang dibahas ilmuwan-ilmuwan muslim tersebut lantas jadi perbincangan di Eropa. Pada abad ke-8, kekhalifah Islam di bawah panji Ummayah merangsek hingga Andalusia, daerah yang kini ditempati Spanyol dan Portugal. Andalusia jadi pusat pemerintahan Ummayah setelah dinasti Abassiyah mengalahkannya. Selain itu, Eropa dan Arab juga bertukar pengetahuan semasa kecamuk Perang Salib abad ke-10 dan ke-11.
Medieval Iberia: An Encyclopedia (2003) yang disunting E. Michael Gerli mencatat Abu Amir Yusuf ibn Ahmad al-Mu'taman dari Zaragoza menulis Al-Istikmal yang membahas teori bilangan, rasio, dan proporsi. Selain itu, geometri juga ditelaah ibn Sayyid dan ibn Mu'adh.
Nama yang disebut terakhir menuis Kitab majhulat qisi al-kura, karya pertama tentang trigonometri bidang bola yang dikompilasikan di Andalusia dan juga diketahui sebagai karya perdana yang pembahasannya secara khusus memisahkan matematika dari astronomi. Empat teorema trigonometri yang disampaikan Ibn Mu'adh muncul dalam Islah al-Majisti yang ditulis Abu Muhammad Jabir ibn Aflah. Buku ini berisi kritik terhadap Almagest. Diterjemahkan ke bahasa Latin dan Yahudi, ia jadi bahan rujukan ilmuwan-ilmuwan di Eropa.
Salah satu ilmuwan itu ialah Johann Müller alias Regiomantus. Dia menyalin sebagian besar karya ibn Aflah untuk Buku IV De triangulis tanpa mengakui ibn Aflah sebagai rujukannya. Hal ini bikin Girolamo Caradano kesal dan mengkritik Regiomantus.
Bersama gurunya, Georg Puerbach, Regiomantus meulis buku Epitome in Almagestum Ptolemi. Data-data yang ada dalam buku itu plus dari Alphonsine Table digunakan Nicolaus Copernicus untuk membuktikan bahwa Matahari merupakan pusat alam semesta, bukan bumi seperti yang dianut sebagian besar orang Eropa waktu itu.
Setelah ini, trigonometri terus berkembang. Hingga zaman Copernicus saja, kita bisa tahu bahwa ilmu yang mempelajari segitiga telah mampu membawa manusia memahami gerak matahari dan bumi yang sebenarnya, sesuatu yang menurut sejarawan sains Thomas Kuhn sebagai salah satu paradigm shifts, tergantinya pandangan dunia yang dominan oleh pandangan lain.
Begitulah segitiga. Di tangan mereka yang ingin memuliakannya, ia bisa jadi pembuka gerbang pengetahuan.
Baca juga artikel terkait ILMUWAN atau tulisan menarik lainnya Husein Abdulsalam