Matematika Seharusnya Tak Dibikin Menakutkan
Sebelum menjabat Presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur adalah seorang penulis, selain kiai dan pemimpin Nahdlatul Ulama tentu saja. Suatu saat, dalam sebuah artikel yang dimuat di majalah Zaman, Gus Dur mengisahkan sebuah puisi yang ditulis seseorang. Orang itu umurnya di bawah 15 tahun dan bernama Zul Irwan.
Tuhan,
Berikan aku mimpi malam ini
Tentang matematika
Yang diujikan besok pagi
Menurut Gus Dur, sebagaimana dikisahkan Hamid Basyaib dalam Ger-geran bersama Gus Dur: Edisi Spesial Mengenang Gus Dur (2010, hlm. 132), Zul adalah anak yang jujur: besok ada ujian matematika dan si anak ingin tahu secara pasti soal-soal yang akan diujikan.
Gus Dur tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai prestasi Zul dalam pelajaran matematika, persiapan yang dilakukannya dalam menghadapi ujian, dan hasilnya. Namun, yang jelas, keinginan Zul agar soal-soal ujian matematikanya datang lewat mimpi bisa jadi penanda bahwa matematika menjadi momok yang menyulitkan, dan bahkan menakutkan, bagi sebagian orang.
Hasil penelaahan PEW Research Center terhadap data National Assessment of Educational Progress (NAEP) menyebutkan hanya 26 persen pelajar kelas VIII di Amerika Serikat menjawab ‘setuju’ ketika disodorkan pernyataan ‘Matematika adalah salah satu mata pelajaran favorit saya’. Bahkan, sebanyak 21 persen lainnya menjawab ‘sangat setuju’.
Sementara itu, pada 2014, PEW Research Center juga menyelenggarakan survey terhadap 3.145 orang dewasa (diambil secara acak dan tersebar) di AS. Mereka disodorkan 10 keterampilan dan diharuskan memilih di antaranya yang menurut mereka paling penting bagi perkembangan anak-anak saat ini.
Sebanyak 79 persen di antaranya memilih keterampilan matematika. Hasil itu menempati urutan ketiga keterampilan yang dianggap penting setelah kemampuan komunikasi (90 persen) dan membaca (86 persen). Artinya, matematika secara umum disukai dan dianggap penting, tapi ketika diajarkan di sekolah-sekolah, ia bukan mata pelajaran favorit.
Kecemasan Matematika dan Memori Kerja
Flora Brian waktu itu berusia enam tahun saat mengungkapkan kepada ibunya, Kate Brian, bahwa dia tidak mengerti apa-apa mengenai matematika yang dia pelajari di sekolah. Mulanya, Kate menganggap hal tersebut keluhan teknis semata. Namun, anggapan itu mulai berubah kala Flora terkadang menjawab soal-soal penambahan dasar dengan jawaban yang tidak masuk akal.
“Baru setelah dia pindah sekolah dua tahun kemudian, kesulitannya itu dikenali, ada jurang yang begitu luas antara pencapaiannya dalam berhitung dan melek huruf. Kami menduga dia mengalami dyscalculia, semacam disleksia dengan jumlah,” ujar Kate dalam “Maths Anxiety: The Numbers Are Mounting”.
Akhirnya, Kate berkonsultasi denan seorang psikolog pendidikan. Di sana, dia dijelaskan bahwa masalah yang dihadapi Flora bukan masalah teknis semata, tetapi sesuatu yang menyangkut psikis. Flora mengalami math anxiety (kecemasan Matematika).
“Math Anxiety: Can Teachers Help Students Reduce It?” yang disusun dua psikolog kognitif, Sian L. Beilock dan Daniel T. Willingham, menyebut orang yang mengalami kecemasan matematika akan merasa tegang atau takut jika menghadapi situasi yang melibatkan matematika. Mereka juga dipenuhi kekhawatiran dan tidak percaya pada kemampuan dirinya menyelesaikan persoalan matematika.
Beilock dan Willingham menjelaskan, semakin tinggi kecemasan matematika seseorang, kemampuan matematikanya pun semakin rendah. Hal tersebut terkait dengan beban memori kerja yang terdapat dalam orang tersebut.
Baca juga:
“Kecemasan matematika pada dasarnya mendorong siswa untuk melakukan dua hal sekaligus: menyelesaikan masalah matematika dan menghadapi kekhawatiran tentang matematika (termasuk kekhawatiran tentang jawaban dengan salah, terlihat bodoh, dan apa yang orang lain pikirkan). Akibatnya, mereka memiliki sedikit memori untuk mencurahkan pada matematika, dan kemampuan matematika mereka rusak,” sebut Beilock dan Willingham
Sementara itu, dalam artikelnya, Kate Brian menjelaskan peneliti di Stanford University di AS telah melakukan pemindaian untuk melihat apa yang terjadi di dalam otak anak-anak dengan kecemasan matematika.
Hasilnya, mereka menemukan orang dengan kecemasan matematika menanggapi soal matematika dengan cara yang sama seperti orang-orang dengan fobia bereaksi terhadap ular atau laba-laba.
“Ada peningkatan aktivitas di pusat ketakutan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan penurunan aktivitas di daerah pemecahan masalah, sehingga sulit untuk menemukan jawaban yang benar,” ujar Kate Brian.
Preview
Belajar, Bergembira, bersama Matematika
"Anak laki-laki tertua kita, yang berusia 6 tahun, selalu terpesona oleh angka-angka. Dia bisa menghitung sampai sebelum usia 4. Dia suka menghitung, dan meminta saya menghitung, dan melakukan hal-hal berirama dengan tubuhnya,”
Kalimat-kalimat tersebut diucapkan Kathy—seorang Ibu yang tinggal di AS—saat menggambarkan proses yang dilalui anaknya dalam mempelajari matematika. Hal itu, menurut Stuart Shanker, adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran matematika sambil bermain yang bisa diterapkan orang tua.
Menurut profesor emeritus bidang filsafat dan psikologi York University, Toronto tersebut anak-anak bisa diajak menghitung hal-hal sederhana. Menurutnya, apa yang mungkin terlihat seperti langkah kecil bagi orang dewasa, sebenarnya adalah lompatan raksasa untuk anak-anak, sebagaimana dicontohkan anaknya Kathy.
Misalnya, menghitung jumlah langkah kaki saat berjalan atau jumlah anak tangga dilewati. Ini bermanfaat, selain anak-anak belajar menyebut angka dalam kaidah tata bahasa masing-masing, mereka juga bisa belajar menemukan pola pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian di dalamnya.
“Jika seorang anak belajar bagaimana berbicara "bahasa" [matematika] ini karena kesenangan dan kepuasan pribadi, dan bukan karena dijejalkan ke mulutnya, Anda membuka pandangan mental yang benar-benar baru untuk anak itu,” ujar Shanker.
Selain itu, belajar matematika juga bisa dilakukan saat menjalani kegiatan sehari-hari. Misalnya saat memasak, anak-anak bisa diajak memerhatikan takaran bahan dan bumbu hingga membagi hasil masakan untuk dimakan bersama. Bahkan, belajar matematika juga bisa disampaikan melalui gim, misalnya, saat memilih peralatan perang yang digunakan dalam DOTA atau menentukan susunan pemain dan strategi dalam PES Evolution Soccer.
Dalam “Why Does Child Hate Math”, Shanker menjelaskan matematika adalah dunia abstrak yang manusia ciptakan murni dengan berpikir. Misalnya, memikirkan ongkos yang harus dikeluarkan saat menggunakan kendaraan umum atau berapa banyak roti panggang yang harus dimasak jika ada empat tamu dan masing-masing dari mereka menginginkan dua.
“Tentu saja, ada banyak langkah antara belajar perkalian dan menguasai seluk-beluk geometri non-Euclidean [ilmu geometri yang berfokus pada permukaan bola]. Namun, semuanya dimulai dengan belajar menghitung,” ujar Shanker.
Sementara itu, Beilock dan Willingham menyarankan para guru untuk meminta testimoni para siswa mengenai ujian matematika yang akan mereka hadapi paling dekat. Dalam testimoni tersebut, siswa diberikan kebebasan untuk mengungkapkan emosi yang dirasakannya.
“Menulis diyakini meringankan beban pikiran negatif yang ada pada memori kerja dengan memberi kesempatan kepada orang untuk mengevaluasi kembali pengalaman stres, dan (mengarahkan untuk) berpikir, ‘Oh mungkin ujian matematika ini tidak semenakutkan itu’,” sebut Beilock dan Willingham.
Baca juga artikel terkait MATEMATIKA atau tulisan menarik lainnya Husein Abdulsalam