Mengapa Anak Muda Korsel Makin Enggan Menikah (Apalagi Punya Anak)
-
Angka kelahiran yang terlalu adalah mimpi buruk bagi setiap pemerintah. Korea Selatan kini sedang menghadapinya, dan fenomena ini didorong oleh rendahnya keinginan untuk berumah tangga.
Korsel adalah anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Mengutip data OECD yang dilansir Bloomberg, di antara anggota di kawasan Asia-Pasifik, Negeri Gingseng menjadi negara dengan tingkat kelahiran paling rendah pada 2016.
Satu tahun setelahnya, menurut survei serupa versi Bank Dunia, Korsel dan Puerto Rico bersaing untuk posisi terbawah. Rata-rata angka kelahirannya hanya tujuh bayi per 1.000 orang.
Data lembaga statistik nasional yang dirilis pada April 2019 menunjukkan angka kelahiran di Korsel terjun bebas pada Februari 2019. Lebih tepatnya 7 persen lebih rendah dibanding tahun 2018.
Tahun ini diperkirakan jumlah orang yang meninggal di Korsel akan melebihi jumlah orang yang dilahirkan.
Angka-angka tersebut menantang asumsi umum bahwa problem kependudukan di Asia (Timur) memusat di Jepang.
Sebuah negara memerlukan sekitar 2,1 anak per perempuan untuk mempertahankan populasinya. Di Korsel, rata-rata kelahiran per perempuan hanya satu anak lebih sedikit.
Fenomena di atas muncul karena anak muda Korsel makin tidak berminat membangun rumah tangga. Gejalanya sudah muncul sejak beberapa tahun silam.
Sangyoub Park, akademisi Jurusan Sosiologi Washburn University, penah mempublikasikan sebuah riset dalam Jurnal Context volume 14, tahun 2015. Judulnya agak puitis: A Silent Revolution in the Korean Family.
Hasilnya menunjukkan usia rata-rata menikah pertama di Korsel meningkat lima tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dari tahun 1990 ke 2013.
Pada 1970 tercatat hanya 1,4 persen dari perempuan usia 30-34 tahun yang belum menikah. Loncat ke 2010, angkanya naik menjadi 30 persen.
Pada 2015, lapor SCMP berdasarkan survei Institut untuk Kesehatan dan Sosial Korea, 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan usia 25-29 tahun masih berstatus lajang. Populasi usia 30-34 tahun yang belum menikah sebanyak 56 persen, dan yang berumur 40-45 tahun sebesar 33 persen.
Sebagai perbandingan, menurut survei yang digagas Lembaga Riset Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional Jepang, pada 2015 terdapat 23 persen laki-laki dan 14 persen perempuan yang belum menikah di usia 50 tahun.
Menantang Peran Gender Tradisional
Budaya Korsel menetapkan perempuan yang telah menikah otomatis menjadi ibu rumah tangga. Serupa aturan konservatif di negara lain, seorang istri bertanggung jawab terhadap segala urusan domestik, termasuk anak, sementara yang laki-laki bertugas mencari nafkah.
Memasuki abad ke-21, aturan tersebut mendapat perlawanan kuat dari generasi muda yang makin liberal. Kaum perempuan kian terdidik. Mereka pun lebih memprioritaskan pendidikan tinggi atau mengejar karier yang mapan.
Laporan Economist bertajuk Asia’s Lonely Hearts menguatkan analisa tersebut. Menurunnya minat untuk menikah di Asia disebut berakar dari makin banyaknya perempuan yang menyadari bahwa pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dalam rumah tangga sangat tidak setara, dan mereka menjadi korban terbesarnya.
Testimoninya bisa merujuk pada hasil penelitian Yue Qian, asisten profesor Sosiologi di University of British Columbia, yang dijajaki pada tahun 2006. Yue Qian menyinggungnya kembali di kanal Salon pada 14 Februari 2019—bertepatan dengan perayaan Hari Valentine.
Ia menemukan 46 persen perempuan Korsel usia 25-54 tahun yang telah menikah pada akhirnya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Lebih tepatnya: melakoni 80 persen dari total tanggung jawab domestik, sementara si suami hanya mengerjakan sisanya (20 persen).
Kim Eun-jin adalah ibu berusia kepala tiga asal Seoul. Lima hari dalam seminggu, usai menyiapkan sarapan, ia berangkat ke kantor pada pukul 4:30.
Eun-jin sampai rumah sekitar pukul 8:30 malam. Tidak untuk bersantai, tapi memasak makan malam, mengurus suami, dua anaknya, dan baru bisa beristirahat pada tengah malam. Kesehariannya di akhir pekan tidak jauh berbeda, minus ke kantor saja.
“Jika diberi kesempatan hidup kedua, aku memilih melajang saja. Aku tidak sepenuhnya menyesali pernikahan. Tapi saya juga tak mau mengulanginya lagi. Saya akui: menikah dan menjadi ibu yang sekaligus bekerja itu sangat sulit,” katanya kepada Claire Lee dari Korea Herald (19/7/2016).
Claire mengutip sebuah riset yang memaparkan bahwa tiga tahun yang lalu 50 persen perempuan lajang di Korsel menilai pernikahan sebagai pilihan, alih-alih kebutuhan.
“Aku tidak akan mendorong perempuan muda yang lajang untuk mempertahankan statusnya. Tapi aku akan memberitahu mereka agar berpikir betul sebelum mengambil keputusan. Pernikahan bisa menimbulkan kejutan—dan tidak semuanya bagus.”
Kembali ke laporan Bloomberg, seorang perempuan bernama Baeck menjadi bintang YouTube melalui konten-konten yang mempromosikan gaya hidup menjomblo. Nama salurannya “solo-darity”.
Baeck berkali-kali menegaskan bahwa “masyarakat membuatku merasa gagal berada di usia 30-an tapi belum menjadi istri atau ibu.”
Perempuan lajang di Korsel dijuluki “mi-hon” atau “belum menikah”. Baeck tidak hanya menolak penamaan tersebut. Ia juga menawarkan istilah baru: “bi-hon”, yang berarti “tidak akan menikah, tidak akan memiliki anak.”
Ada masa depan yang lebih ambisius yang berusaha Baeck kejar. Ia menilai upaya pemerintah yang mendorong agar warganya lebih rajin beranak sebagai bentuk pelecehan.
Lebih jauh lagi, hal semacam itu meningkatkan rasa frustasi generasi muda yang sudah dipusingkan oleh problem finansial.
Segalanya Serba Menguras Dompet
Menurut data OECD, jumlah pengangguran di Korsel melonjak 3,4 persen pada penduduk berusia sekitar 17 tahun. Sementara itu, upah tahunan pada tahun 2017 rata-rata hanya berjumlah 35,5 juta won atau $31.650. Angka ini hampir setengah dari rata-rata upah orang Amerika yang mencapai $60.558 dolar.
Di tengah gaji yang pas-pasan, rata-rata pekerja di Korsel berhadapan dengan pengeluaran yang tinggi, terutama untuk membayar sewa tempat tinggal.
Pernikahan menjadi momok bagi generasi muda yang baru memulai karier. Biayanya makin hari makin tidak masuk akal. Sewa gedung, biaya katering, hadiah pernikahan untuk mertua, ditambah keperluan-keperluan lain: itu semua membutuhkan uang tabungan yang sulit dijangkau dengan gaji yang mereka terima.
Dampaknya, lebih dari 20 persen gedung pernikahan di Seoul kini gulung tikar. Termasuk di antaranya dua gedung paling mewah di lingkungan orang kelas menengah-atas, Gangnam, yaitu Suaviss Wedding Hall dan JS Gangnam Wedding Culture Center.
Pemerintah bukannya tinggal diam. Selain sosialisasi, sejumlah pemerintah lokal berinisiatif menggelar ajang perjodohan. Antara lain pemerintah Kota Sejong, Gangnam, dan beberapa desa di Provinsi Chungcheong selatan.
Sejak 2005 pemerintah telah mengucurkan 36 triliun won untuk meringankan beban finansial pasangan yang baru memiliki anak. Pemerintah juga menawarkan subsidi pengasuhan anak sebesar 300.000 won per bulan dan insentif-insentif serupa untuk keluarga muda.
Upaya-upaya tersebut dinilai belum membuat dampak yang substansial. Pemerintah tidak hanya berhadapan dengan akademisi kritis, tapi juga anak-anak muda seperti Baeck yang berani menyuarakan sikap.
“Masalah terbesar pemerintah adalah mereka tidak mendengarkan para perempuan—pihak yang harus melahirkan anak-anak dan harus membesarkan mereka,” kata Kang Han-byul, pendiri EMIF (Elite without Marriage, I am going Forward), organisasi di mana Baeck juga terdaftar sebagai anggota.
"Mereka mencoba menjual ide ini bahwa berkeluarga itu indah, memiliki anak-anak itu indah, padahal ada banyak hal tak terucapkan yang sebenarnya terjadi pada istri secara fisik dan mental. Kebijakan pemerintah tidak akan pernah mempengaruhi kita," tegasnya kepada Bloomberg.
Baca juga artikel terkait MENIKAH atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan