Home
/
News

Mengenal Tembakau Gorilla, Si Pemicu Gangguan Psikologi

Mengenal Tembakau Gorilla, Si Pemicu Gangguan Psikologi
Indira Rezkisari27 July 2017
Bagikan :

Tembakau gorilla sempat tenar namanya sebagai narkoba yang mudah, karena cukup diisap oleh orang awam bak rokok biasa. Padahal tembakau jenis ini termasuk kategori New psychoactive substances (NPS).

"NPS senyawa yang sering disalahgunakan dalam bentuk murni atau sediaan yang dapat mengancam kesehatan. Disebut juga designer drugs yang sengaja dikembangkan untuk menghindari regulasi," kata psikolog dari Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia Dr. E. Kristi Poerwandari, M.Hum. dalam seminar The Challenge of New Psychoactive Substances, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (27/7).

Penyamaran fungsi NPS tersebut diakuinya sering dilakukan para penyelundup agar bebas dari pantauan aparat penegak hukum. Sehingga, lanjut Kristi, pemakaian NPS disalahkaprahkan sebagai bentuk pengobatan mandiri.

Padahal jika dikaji, proses sintesa NPS memodifikasi sedikit struktur molekul dari zat-zat adiktif yang dilarang. Celakanya lagi, sifat pemakaian NPS yang mudah ditemukan secara bebas membuat segmen pemakainya beragam. Bahkan data NPS Home Office UK 2015 menyebutkan, jumlah pengguna berusia 16-24 tahun sebanyak 2,6 persen.

Kelompok ini disebutnya terpapar karena minimnya informasi tentang NPS karena jelas-jelas disebutkan zat tersebut tak boleh dikonsumsi manusia. Dari sisi psikis dan perilaku, Kristi menyebutkan bagaimana mengenali para pemakai NPS.

"Ciri-cirinya sering menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain sebagai penyebab kegagalannya, mengalami ruminasi (terus mengambil makanan tapi berulangkali pula memuntahkannya) dan katastropi tak bisa mengontrol diri," kata Kristi.

Ketidakpahaman masyarakat terhadap efek buruk pemakaian NPS membuat Kristi mendesak regulator agar menempatkan perspektif yang tepat terhadap kondisi pengguna. Menurutnya, perlu pengendalian generik untuk mengetahui zat-zat terkandung NPS untuk pemrosesan hukum karena NPS menjangkau semua kalangan dengan mudah.

"Perlu regulasi emosi untuk pemantapan pikiran, emosi, dan perilaku yang kompleks pada penyalahguna yang memperlihatkan regulasi emosi agar dapat dikelola," ujarnya.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansjah membenarkan memang harus ada kajian rutin terhadap NPS di Indonesia, bukan hanya sekadar merilis temuan pemakai dan jenis baru. Misalnya, pada tahun 2017 Balai Laboratorium Narkoba BNN telah menemukan 53 NPS yang saat ini beredar luas di Indonesia. Dari 53 NPS tersebut, 43 di antaranya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.

Sebelumnya, Kemenkes telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 13 tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Dalam Permenkes tersebut, 18 jenis NPS telah masuk ke dalam daftar golongan Narkotika.

Fidiansjah mencontohkan Program Wajib Lapor bagi Pengguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika merupakan Program yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor. "Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) ditunjuk oleh dua kementerian terkait, yakni Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial,"katanya.

Kemenkes khusus menunjuk Lembaga/Institusi kesehatan dibawahnya yakni RS Ketergantungan Obat, Puskesmas, dan RS Jiwa. Mekanisme pertama IPWL adalah skrining awal seperti identitas, sejarah singkat penggunaan, riwayat pengobatan. Dilanjutkan dengan pelaksanaan asesmen semi struktur wawancara dengan format khusus yang bertujuan untuk melihat faktor penyebab penyalahgunaan.


populerRelated Article