Home
/
Lifestyle
Nikah di Bawah Umur Sensasional di Sosmed tapi Merugikan
Elise Dwi Ratnasari21 June 2017
Bagikan :
Kabar pernikahan pasangan Amanda Safitri dan Muhammad Fitrah Rizky yang masih duduk di bangku SMP langsung meramaikan dunia maya. Melalui akun Facebook-nya, Amanda menggunggah beberapa foto pernikahan dirinya dan Gaston, panggilan akrab suaminya. Unggahan ini sukses merebut perhatian netizen dan dibagikan lebih dari seribu kali.
Menikah memang jadi dambaan tiap pasangan. Namu, usia jelas jadi satu pertimbangan bagi pasangan yang akan menikah. Jadi, bagaimana dengan keputusan yang diambil Amanda dan Gaston ini? Bagaimana dampak baik dan buruknya menikah di usia dini?
Menurut psikolog Livia Iskandar, pernikahan anak sebenarnya memberi kerugian lebih banyak di sisi perempuan.
"Pernikahan anak nanti dampaknya akan lebih berat pada pengantin perempuannya," kata Livia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/6).
Ia menjelaskan, dari sisi kesehatan, sistem reproduktif anak perempuan belum siap untuk memiliki anak. Anak yang melahirkan pada usia di bawah 20 tahun lebih berisiko kehilangan nyawa. Livia berkata, fenomena pernikahan anak di Indonesia jadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian ibu pasca melahirkan.
Pernikahan anak juga membuat pendidikan terganggu bahkan terputus. Livia juga meragukan anak akan melanjutkan sekolah setelah menikah. Saat ia hamil, kemungkinan sulit bagi sekolah untuk menerima siswi yang sedang bertubuh dua itu. Sedangkan sang suami bisa saja melanjutkan sekolah karena tak ada perubahan fisik berarti.
Namun, jaman semakin berkembang, tuntutan dunia kerja pun semakin tinggi. Lulusan sekolah menengah pertama sulit untuk bisa bersaing ketat dan kecil kemungkinan untuk mendapat pekerjaan layak. Akibatnya, status sosial jadi lebih rendah.
"Selain itu, perempuan rentan mendapat kekerasan karena posisi tawar lebih rendah," tambahnya.
Menurut Livia, anak juga belum matang secara psikologis. Ia memberi contoh saat anak memiliki anak, sulit dibayangkan pasangan remaja 15 tahun ini bagaimana nantinya saat menjadi orang tua dan mengasuh serta mendidik anak. Perempuan juga jadi lebih rentan depresi pasca melahirkan.
"Dia melihat tubuhnya kok nggak seperti saat belum punya anak. Anak umur segitu masih sadar penampilan," jelasnya.
Usia Minimal Pernikahan Perlu Dikoreksi
Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat aturan mengenai batas minimal usia pernikahan. Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, batas usia minimal untuk perempuan 16 tahun, sedangkan laki-laki minimal berusia 19 tahun.
Livia bercerita, sejumlah LSM sempat maju ke Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas minimal usia pernikahan, tapi sejauh ini hasilnya masih nihil.
"Kemarin hakim-hakim hanya melihat berdasarkan anak sudah akil baliq atau belum, mereka melihat berdasarkan fisiologis bukan psikologis dan kesehatan," ujarnya.
Ia juga menambahkan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar April 2017 lalu juga menolak adanya pernikahan anak. Fase usia remaja, anak sedang giat-giatnya mencari jati diri, memperluas pergaulan, serta mengembangkan diri. Sehingga tidak tepat bila pada usia ini ia harus dibebankan pernikahan yang seharusnya dibebankan pada orang dewasa.
Lalu berapa usia minimal yang dianggap ideal untuk menikah?
Livia menuturkan, paling tidak usia minimal untuk menikah adalah 21 tahun. Pada usia ini, katanya, otak lebih matang untuk bisa berpikir jangka panjang atau punya pertimbangan soal risiko-risiko tindakan maupun keputusan yang akan diambil. Saat berumah tangga, tentu banyak keputusan penting yang harus diambil, sehingga usia ini dianggap ideal.
"Anak di bawah usia 21 tahun lebih sering berpikir jangka pendek, bisa ambil tindakan yang bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, ceroboh. Kualitas anak gimana, kan orang tuanya masih remaja," tuturnya.
Bagi pasangan yang akan menikah, kesiapan secara fisik, psikis dan ekonomi sangat diperlukan. Kesiapan secara fisik didukung dengan usia yang cukup. Mereka juga perlu siap mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga, juga didukung dengan kesiapan dari segi ekonomi atau materi. Livia juga mengatakan, orang tua juga perlu berpikir jauh ke depan dan jangan gegabah menikahkan anak.
"Masyarakat masih ada yang berpikir menikah akan menyelesaikan persoalan, padahal menikah akan menambah persoalan lain. Lalu karena takut terjadi apa-apa terus nikahin aja, ini kurang tepat," katanya.
"Pernikahan anak nanti dampaknya akan lebih berat pada pengantin perempuannya," kata Livia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/6).
Ia menjelaskan, dari sisi kesehatan, sistem reproduktif anak perempuan belum siap untuk memiliki anak. Anak yang melahirkan pada usia di bawah 20 tahun lebih berisiko kehilangan nyawa. Livia berkata, fenomena pernikahan anak di Indonesia jadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian ibu pasca melahirkan.
Pernikahan anak juga membuat pendidikan terganggu bahkan terputus. Livia juga meragukan anak akan melanjutkan sekolah setelah menikah. Saat ia hamil, kemungkinan sulit bagi sekolah untuk menerima siswi yang sedang bertubuh dua itu. Sedangkan sang suami bisa saja melanjutkan sekolah karena tak ada perubahan fisik berarti.
Namun, jaman semakin berkembang, tuntutan dunia kerja pun semakin tinggi. Lulusan sekolah menengah pertama sulit untuk bisa bersaing ketat dan kecil kemungkinan untuk mendapat pekerjaan layak. Akibatnya, status sosial jadi lebih rendah.
"Selain itu, perempuan rentan mendapat kekerasan karena posisi tawar lebih rendah," tambahnya.
Menurut Livia, anak juga belum matang secara psikologis. Ia memberi contoh saat anak memiliki anak, sulit dibayangkan pasangan remaja 15 tahun ini bagaimana nantinya saat menjadi orang tua dan mengasuh serta mendidik anak. Perempuan juga jadi lebih rentan depresi pasca melahirkan.
"Dia melihat tubuhnya kok nggak seperti saat belum punya anak. Anak umur segitu masih sadar penampilan," jelasnya.
Usia Minimal Pernikahan Perlu Dikoreksi
Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat aturan mengenai batas minimal usia pernikahan. Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, batas usia minimal untuk perempuan 16 tahun, sedangkan laki-laki minimal berusia 19 tahun.
Livia bercerita, sejumlah LSM sempat maju ke Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan batas minimal usia pernikahan, tapi sejauh ini hasilnya masih nihil.
"Kemarin hakim-hakim hanya melihat berdasarkan anak sudah akil baliq atau belum, mereka melihat berdasarkan fisiologis bukan psikologis dan kesehatan," ujarnya.
Ia juga menambahkan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar April 2017 lalu juga menolak adanya pernikahan anak. Fase usia remaja, anak sedang giat-giatnya mencari jati diri, memperluas pergaulan, serta mengembangkan diri. Sehingga tidak tepat bila pada usia ini ia harus dibebankan pernikahan yang seharusnya dibebankan pada orang dewasa.
Lalu berapa usia minimal yang dianggap ideal untuk menikah?
Livia menuturkan, paling tidak usia minimal untuk menikah adalah 21 tahun. Pada usia ini, katanya, otak lebih matang untuk bisa berpikir jangka panjang atau punya pertimbangan soal risiko-risiko tindakan maupun keputusan yang akan diambil. Saat berumah tangga, tentu banyak keputusan penting yang harus diambil, sehingga usia ini dianggap ideal.
"Anak di bawah usia 21 tahun lebih sering berpikir jangka pendek, bisa ambil tindakan yang bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, ceroboh. Kualitas anak gimana, kan orang tuanya masih remaja," tuturnya.
Bagi pasangan yang akan menikah, kesiapan secara fisik, psikis dan ekonomi sangat diperlukan. Kesiapan secara fisik didukung dengan usia yang cukup. Mereka juga perlu siap mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga, juga didukung dengan kesiapan dari segi ekonomi atau materi. Livia juga mengatakan, orang tua juga perlu berpikir jauh ke depan dan jangan gegabah menikahkan anak.
"Masyarakat masih ada yang berpikir menikah akan menyelesaikan persoalan, padahal menikah akan menambah persoalan lain. Lalu karena takut terjadi apa-apa terus nikahin aja, ini kurang tepat," katanya.
Berita Terkait
Tags:
Sponsored
Review
Related Article