Pajak Rumah Dihapus, Pelaku Usaha Pede Penjualan Menggeliat
Pelaku usaha properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) percaya diri pertumbuhan penjualan bisa mencapai dua digit jika pemerintah mengamini rencana penghapusan Pajak Penghasilan (PPh) 22 dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Optimisme ini bukan isapan jempol mengingat harga jual rumah menjadi lebih murah bila dua jenis pajak tersebut di atas dihilangkan. Apalagi, Sekretaris Jenderal REI Paulus Totok Lusida menyebut, masalah pajak banyak menjadi batu ganjalan bagi pengembang untuk memasarkan rumah mewah.
"Jadi memang pajak rumah mewah saat ini yang tertinggi di dunia. Urgensinya untuk menurunkan pajak ini sangat penting, bisa bikin kenaikan penjualan rumah mewah sampai 10 persen," terang Paulus kepada CNNIndonesia.com, Jumat (19/10).
Saat ini, total pajak yang dibayarkan konsumen untuk membeli rumah mewah bisa mencapai 40 persen yang terdiri dari PPnBM sebanyak 20 persen, PPh 22 sebanyak 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 10 persen, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen.
Kondisi ini membuat pasar rumah mewah di Indonesia tidak kompetitif dengan negara-negara di Asia lainnya. "Tadinya kami usulkan ada tiga poin ke DJP Kemenkeu, yakni penghapusan PPnBM, PPh 22, dan restitusi PPN untuk rumah Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR)," jelasnya.
Namun demikian, ia mengaku cukup senang Kementerian Keuangan mau mendengar keinginan asosiasi. "Kami sudah bertemu pemerintah satu atau dua bulan lalu, dan mereka tanggapannya cukup positif," imbuh Paulus.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda punya pendapat yang berbeda. Ia tak yakin kebijakan penghapusan PPh 22 dan PPnBM tidak akan menaikkan penjualan rumah mewah. Apalagi, relaksasi ini diberikan menjelang tahun politik, dimana semua masyarakat cenderung menahan konsumsinya (wait and see).
Selain itu, ia juga sansi pasar properti secara umum akan bergairah selepas kebijakan ini berjalan. Ia berkaca pada data yang dihimpunnya, di mana penjualan properti mewah di Jakarta hanya menyumbang 3 persen dari total penjualan properti sepanjang tahun ini.
"Dan sebenarnya kebijakan ini agak terlambat. Kalau kondisi ekonomi lagi bagus, tentu masyarakat akan berbondong-bondong membeli. Namun, jika kondisinya lesu, ini hanya akan menjadi momok," tutur Paulus.
Namun demikian, bukan berarti pemerintah harus menahan pengumuman penghapusan dua jenis pajak ini. Menurut dia, pemerintah bisa saja mengumumkan kebijakan ini sesegera mungkin agar masyarakat bisa bersiap membeli rumah setelah masa Pemilihan Umum (Pemilu) usai.
"Tapi, saya sendiri masih setuju kalau PPnBM bagi rumah mewah tak dihapuskan secara drastis. Secara regulasi, barang mewah tetap harus kena pajak, mungkin persentasenya saja yang harus dikurangi," imbuh dia.
Kementerian Keuangan berencana menghapus PPh 22 dan PPnBM rumah mewah agar bisa menjadi lebih murah. Nantinya dua jenis pajak itu bisa dihilangkan sekaligus atau salah satunya saja bergantung regulasi yang mengaturnya.
Saat ini, aturan PPnBM bagi rumah mewah tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017. Aturan itu menyebut rumah dan town house dari jenis non strata title dengan harga jual sebesar Rp20 miliar atau lebih dan apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dengan harga jual minimal Rp10 miliar menjadi objek PPnBM sebesar 20 persen.
Sementara itu, aturan PPh 22 tercantum di dalam PMK Nomor 90/PMK.03/2015, di mana rumah yang menjadi objek yakni penjualan atas rumah dengan harga jual atau lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Di sisi lain, apartemen yang menjadi objek pajak yakni unit dengan harga jual lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi.