Para Remaja, Waspadai Overdosis Galau
Remaja umumnya identik dengan galau--bimbang dan bingung dalam bertindak. Kegalauan ini lantas mempengaruhi emosi dan suasana hati mereka, hingga para remaja labil dalam mengambil keputusan.
Galau di usia remaja memang wajar, karena ini adalah fase pencarian jati diri seseorang. Namun kegalauan berlarut dapat menyebabkan krisis identitas yang berujung pada perilaku tak wajar.Psikolog klinis, Liza Marielly, mengatakan fase psikologis tiap orang berbeda. “Ada fase anak, muda, dan lansia. Di tiap fase itu, ada tugas belajar individu. Pada remaja, ada fase jati diri, yaitu fase tanam akar--siapa dia, mau apa, dan karakternya seperti apa.”
“Kenapa terjadi kegalauan? Karena belum jelas arahnya. Mereka (remaja) belum kokoh, masih bingung mau apa,” tutur Marielly kepada kumparan.
Menurutnya, fase kegalauan yang disebabkan oleh krisis identitas ini biasanya terjadi di usia 16-21 tahun, yaitu remaja awal sampai dewasa muda. Setelah 21 tahun ke atas, barulah mereka mulai bisa menemukan jati diri atau setidaknya apa yang ingin dilakukan.
Yang mesti diantisipasi dari rasa galau berlebih ialah jika mendatangkan ketakwajaran. “Anarkis, seks bebas, dan sebagainya. Karena kebingungan yang menyasarkan ke perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang juga amat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalnya teman sebaya dan lingkungan sekolah yang rawan bagi proses pembentukan karakter.
“Meski hal tersebut juga dapat terjadi karena karakter anaknya sendiri yang mungkin labil dan kurang cerdas, sehingga proses analisisnya kurang sempurna,” kata Marielly.
Lantas bagaimana menghindari dampak negatif dari kegalauan masa remaja?
“Melatih kecerdasan emosional. Harus diajarkan berpikir 2-3 kali sebelum mengambil keputusan. Jangan mengambil keputusan secara impulsif atau dadakan sebelum memantapkan tujuan,” ujar Marielly.