Pelukan Spontan Jokowi-Prabowo & Pelukan Settingan Sukarno-Sudirman
Hanifan Yudani Kusumah bergegas ke tribun VVIP di Padepokan Pencak Silat, TMII, Rabu, 29 Agustus 2018. Pesilat ini baru saja menggondol medali emas Asian Games usai mengalahkan Nguyen Thai Linh dari Vietnam.
Di tribun, telah berjejer beberapa petinggi Republik. Dua di antaranya yang paling penting: Jokowi dan Prabowo Subianto. Nama kedua hadir dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI). Hanifan pun memeluk kedua orang itu secara bergantian.
Sejurus kemudian, terjadilah peristiwa yang bikin semua penonton bertepuk tangan: Hanifan menarik dua orang yang akan bersamuh dalam Pilpres 2019 itu dan memeluk keduanya secara bersamaan. Kader PDIP dan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut seolah-olah membalas pelukan bendera Indonesia yang disampirkan di tubuh Hanifan.
Seperti dilaporkan Tirto, terdengar teriakan komentator SCTV yang menyiarkan pertandingan tersebut, "Ini momen yang sangat mengharukan. Ini kita, Indonesia."
Teriakan "Indonesia.. Indonesia.. Indonesia" diulang-ulang para penonton di lapangan.
Hari itu, Hanifan bukan hanya berhasil memenangkan persabungan di Asian Games 2018. Dia juga telah memenangkan hati orang Indonesia.
Peristiwa dua elite yang tengah berseteru dan kemudian berpelukan di depan umum bukan kali ini saja. Hampir tujuh dasawarsa tepatnya 69 tahun lalu, Sukarno dan Sudirman pernah melakukannya dengan penyebab dan konteks yang berbeda. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai simbol akurnya politisi sipil dan elite tentara.
Karena Tak Mau Ikut Gerilya
Gencatan senjata pada pertengahan 1949, pasca-kesepakatan Roem-Royen, memang melegakan banyak pihak. Perang mereda, tapi masih ada yang mengganjal bagi Presiden Sukarno. Dia teringat kejadian pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Ketika itu, Sukarno menolak ajakan bergerilya Jenderal Sudirman dan memilih tertawan jelang didudukinya Yogyakarta oleh Belanda.Setelah Sukarno dan pejabat lain dibebaskan, Sukarno bisa kembali ke Istana Gedung Agung, Yogyakarta. Meski Sukarno sudah berada di ibu kota Republik itu sejak 7 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman masih belum kembali. Dia masih bertahan di daerah gerilya.
Sukarno merasa Sudirman masih memendam kekecewaan. Mungkin dia belum kembali karena ngambek pada Sukarno. Mungkin tak hanya Sudirman yang ngambek, tapi sebagian besar anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Sri Sultan [Hamengkubuwana IX] telah berusaha membujuk Panglima Besar untuk kembali ke Yogyakarta. Demikian pula Kolonel Gatot Subroto,” aku Soeharto dalam Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 68).
Mereka membujuk lewat surat tapi tak ada balasan. Akhirnya, Letnan Kolonel Soeharto pun ditugasi menjemput. Ia tidak sendiri. Bersamanya, turut pula jurnalis Rosihan Anwar dan juru foto Frans Soemarto Mendur.
Lalu bertemulah mereka dengan Sudirman. Rosihan mewawancarai Sudirman terkait situasi sengketa Indonesia-Belanda. Sementara Frans jeprat-jepret ke sana-ke mari demi mendapat gambar bagus. Ternyata, Sudirman mau kembali ke Yogyakarta. Sudirman bahkan menerima kebijakan yang digariskan Sukarno-Hatta untuk menghentikan gerilya (Tracee Bangka).
Rosihan kemudian lebih dulu kembali ke Yogyakarta. Sementara Frans tetap bersama rombongan Panglima Besar hingga memasuki Yogyakarta.
Setelah matahari terbit pada 10 Juni 1949, Panglima Besar dan rombongannya pun sampai di kota. “Jam 12.00: Panglima Besar Sudirman menemui Presiden Sukarno di Istana Yogyakarta,” catat Kronik Revolusi Indonesia jilid V, Volume 1 (2014: 145).
Kapten Tjokropranolo, pengawal Sudirman, menceritakan suasana tegang yang terjadi. Sudirman berdiri kaku. Satu tangannya memegangi tongkat.
"Ketika kami tiba, suasana sangat tegang," ingat Tjokropranolo seperti diceritakannya kepada Tempo (4/6/2001).
Pelukan yang Diulang
Sudirman masih memperlihatkan rasa marahnya terkait kejadian pada 19 Desember 1948. Namun, Sukarno tak mau berlama-lama. Dia pun segera merangkul Sudirman yang ringkih. Rupanya, mata Sukarno melihat Frans Mendur beserta kameranya. Frans tampak tak sesigap waktu menjepret adegan pembacaan proklamasi.
"Momennya dapat tidak?" tanya Sukarno pada Frans, yang menjadi Kepala IPPHOS Yogyakarta.
Frans menggeleng dan bilang, "Terlalu cepat."
Sukarno tak mau melewatkannya. Dari mulut Sukarno, keluar perintah lagi. “Kalau begitu diulang adegan zoentjes-nya!”
Zoentjes bisa diartikan sebagai ciuman.
Sudirman tetap diam tak beranjak. Apa yang terjepret kemudian dari foto yang diatur Sukarno itu adalah adegan sang presiden memeluk Panglima Besar Sudirman yang mutung. Foto ini kemudian menjadi sangat ikonik dan tersebar di berbagai media massa serta buku-buku sejarah.
Sukarno tentu punya maksud. Menurut Rosihan Anwar seperti dikutip Tempo (4/6/2001), adegan tersebut dilakukan "untuk menghindari kesan telah terjadi perpecahan."
Sejak akhir 1945, Sudirman adalah orang paling berpengaruh di ketentaraan. Mayoritas perwira di Jawa, terutama yang sama-sama berasal dari tentara sukarela bikinan militer fasis Jepang, PETA, adalah pendukung utamanya.
Seperti kebanyakan tentara, sejak perundingan-perundingan terdahulu, Sudirman adalah orang yang tidak suka dengan jalan diplomasi. Tak heran jika Sudirman dekat dengan Tan Malaka yang ingin merdeka 100 persen. Sementara itu, Sukarno sebisa mungkin berdiplomasi untuk menghindari pertumpahan darah terlalu banyak.
Pada sore di hari yang sama, pasukan TNI yang baru saja turun ke kota sudah berbaris rapi di depan alun-alun utara. “Pak Dirman, yang siangnya telah memasuki kota Yogya, dan bertemu Bung Karno dan Bung Hatta di [istana] Kepresidenan, berjalan kaki perlahan-lahan memeriksa barisan pasukan,” tulis Rosihan dalam Musim Berganti (1985: 177).
Panglima Besar, dengan didampingi Soeharto, memeriksa barisan. Di hari yang sama pula, Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, sudah berada di Yogyakarta.
Hari itu perselisihan antara Sukarno dengan Sudirman seolah-olah berlalu. Di kala keadaan yang makin reda jelang Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, Sudirman tak memusuhi atau menyerang Sukarno. Di masa-masa itu, Sudirman dalam keadaan sakit hingga awal 1950.
Hanya beberapa pekan setelah Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia, Sudirman pun tutup usia. Ia meninggal pada 29 Januari 1950. Namun, cerita Sukarno mengulang pelukan agar bisa dijepret Frans Mendur tak bisa dilupakan.
Kita semua belum tahu, apakah pelukan Jokowi dan Prabowo akan selegendaris pelukan Sukarno dan Sudirman. Tapi paling tidak, sebagai politikus, mereka bisa memanfaatkannya untuk kepentingan citra.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi