Penomoran Digital, dari Aksi Massa Sampai Industri 4.0
-
Jalan-jalan di Kuala Lumpur di penghujung Agustus 2015 lalu tampak berbeda. Massa pemuda Malaysia tumpah ruah di jalan-jalan. Mereka beramai-ramai menggunakan kaos bertuliskan "Bersih 4.0." Gerakan Bersih 4.0 adalah gerakan yang hendak melawan korupsi di Malaysia.
Gerakan ini kali pertama digelar pada 2007, berlanjut pada 2011 dan 2012. Gerakan massa pada Agustus 2015, merupakan aksi yang ke-4. "Bersih 4.0" jadi slogan yang mengacu pada pembabakan kejadian. Penulisan "4.0" dipakai luas selain Bersih 4.0 antara lain Tourism 4.0, Thailand 4.0 dan segala macam slogan lainnya yang banyak menghiasi jagat maya, termasuk Industri 4.0 yang belakangan ini jadi pembicaraan di Indonesia.
Henrik von Scheel, melalui Germany’s Digital Agenda pada 2009 lalu, mencetuskan istilah Industri 4.0. Scheel mengatakan “Industri 4.0 bukanlah tentang teknologi, melainkan tentang manusia. Tentang bagaimana kini orang-orang saling terhubung untuk bekerja bersama.”
Industri 4.0 merupakan kelanjutan dari Industri 3.0, istilah yang juga merupakan kelanjutan dari Industri 2.0, dan Industri 1.0. Steve McCaskill, kolumnis Techradar, dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa Industri 1.0, alias industri generasi pertama, lahir di abad ke-18. Ketika pabrik-pabrik yang berada di Inggris mulai melakukan mekanisasi. Industri 2.0 merupakan perkembangan dunia industri yang dipicu oleh elektronifisasi yang dilakukan di pabrik-pabrik di Amerika Serikat.
Industri 3.0 merupakan perubahan radikal di dunia industri dengan menempatkan komputerisasi di pabrik-pabrik. Komputerisasi dipicu oleh hadirnya mesin modern sejak dekade 1970-an. Terakhir, Industri 4.0, menurut apa yang ditulis McCaskill, “dimulai oleh hadirnya internet, mobile, media sosial, komputerisasi awan, dan big data.”
Bernard Marr, penulis buku berjudul Data Strategy, dalam publikasinya di Forbes menyebut bahwa Industri 4.0 merupakan “saat di mana komputer dan otomatisasi akan bergandengan tangan dengan cara baru, di mana robot akan terkoneksi secara langsung pada sistem komputer dengan didukung algoritma machine learning yang memampukan robot bertindak dengan sedikit campur tangan manusia.”
Secara sederhana, Marr menyatakan bahwa Industri 4.0 bisa pula disebut sebagai “Pabrik Pintar.”
Paling tidak, ada empat kriteria yang wajib dipenuhi dunia industri layak disebut Industri 4.0. Marr menyebut keempat kriteria antara lain Interoperability (kesalingterhubungan antara mesin, perangkat, sensor, dan manusia), Information Transparency (penciptaan dunia virtual guna mengkontekstuliasikan informasi), Technical Assistance (mesin yang mampu memberikan saran keputusan bagi manusia), dan Decentralized Decision-Making (kemampuan cyber-physical membuat keputusan sederhana).
Deloitte, di salah satu publikasinya, menyatakan Industri 4.0 merupakan suatu cycle alias keterhubungan antara physical to digital, digital to digital, dan digital to physical. Physical to digital diartikan sebagai penangkapan atau perolehan informasi dari dunia nyata dan diterjemahkan ke dalam bentuk digital.
Digital to digital diterjemahkan sebagai penganalisisan informasi digital tersebut, misal menggunakan artificial intellegence. Selanjutnya digital to physical tahap pemanfaatan informasi digital, yang dibantu algoritma, memutuskan suatu keputusan bagi dunia nyata.
McKinsey, yang melakukan survei terhadap 300 eksekutif perusahaan, startup, pejabat pemerintah di seluruh dunia menyatakan bahwa Industri 4.0 merupakan perubahan dunia industri yang dimotori disrupsi teknologi. Disrupsi teknologi yang dimotori dari berbagai teknologi terkini antara lain connectivity-driven business models, artificial intelligence, internet of things, electrification, dan cybersecurity.
Industri 4.0 bila disederhanakan adalah perubahan radikal atas apa yang ada dalam dunia industri sebelumnya alias Industri 3.0. Angka dan satu angka di belakang koma pada “Industri 4.0” menandakan perubahan radikal yang terjadi. Sistem penamaan atau penomoran ini berakar pada sistem penomoran yang ada di jagat teknologi, terutama dari perangkat lunak dengan nama “Software Versioning.”
Software Versioning merupakan penomoran pada perangkat lunak atas suatu rilis yang dilakukan. Penomoran ini ditujukan untuk mempermudah programmer mengetahui kapan perubahan terjadi.
Dalam publikasi berjudul “Software Versioning Procedure” yang dikeluarkan oleh Colorado Secretary of State, menyebutkan sistem penomoran ini memiliki rumusan: <MAJOR>. <MINOR>. <REVISION>.<BUILD>. Format Major, Minor, maupun Revision, menandakan rilis/update yang dikeluarkan atas suatu perangkat lunak. Umumnya, suatu pencipta produk hanya menggunakan: <MAJOR>. <MINOR>.
Major alias Major Release umumnya merujuk pada produk baru, dengan perubahan radikal, yang diluncurkan. Major mengandung hal-hal yang sebelumnya tidak dimiliki produk lama. Sementara itu, Minor atau Minor Release diartikan sebagai rilisan atau update kecil, yang memperbaiki atau menambal Major Release. Istilah lainnya adalah Major Release bisa pula disebut sebagai sekumpulan Minor Release yang telah mengubah bentuk secara radikal versi sebelumnya.
Dalam Software Versioning ada dua pendekatan yang digunakan. “Branch early and often” atau “Branch only when necessary.” Pada pendekatan “Branch early and often” pengembang software biasanya melakukan update/perilisan secara berkala. Bukan cuma update/perilisan Major tapi juga Minor. Umumnya mengumumkan update/perilisan di waktu-waktu yang telah ditetapkan. Contoh perangkat lunak yang menggunakan pendekatan ini adalah Ubuntu, salah satu distributor Linux paling populer. Ubuntu merilis pembaruan dua kali dalam setahun, yakni April dan Oktober.
Pendekatan “Branch only when necessary” merupakan perilisan/update yang dilakukan si pemilik perangkat lunak dengan ketiadaan waktu spesifik. Perangkat lunak diperbarui jika dibutuhkan. Android termasuk yang menggunakan pendekatan ini. Tidak ada jadwal spesifik kapan versi baru Android lahir.
Sistem penomoran 1.0, 2.0, 3.0, 4.0 dan seterusnya tengah populer saat ini. Salah satu contohnya, selain Industri 4.0, ialah Web 2.0. Web 2.0 merupakan tahap kedua dari pengembangan dunia World Wide Web (WWW), yang mengubah secara radikal dunia website. Dari statik ke dinamik. Dari website yang hanya bisa dibaca tanpa ada interaksi berubah jadi website yang memungkinkan para penggunanya menciptakan konten lain dan melahirkan penomoran-penomoran digital yang sekarang jadi tren hingga ke dunia nyata.
Baca juga artikel terkait INDUSTRI atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin