Home
/
News

Perda Intoleran Tidak Termasuk dalam 3.143 yang Dibatalkan

Perda Intoleran Tidak Termasuk dalam 3.143 yang Dibatalkan
Tempo17 June 2016
Bagikan :
Preview
| June 17, 2016 10:16 am

Kementrian Dalam Negeri menjelaskan dari 3.143 peraturan daerah (perda) yang dibatalkan, tidak ada yang mengenai soal intoleransi dan diskriminatif.

“Perda yang dianggap intoleran dan diskriminatif tidak termasuk kedalam 3.143 perda,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Yuswandi A. Temenggung di Jakarta pada Kamis, 17 Juni 2016.

Pernyataan itu disampaikan terkait kasus razia Satpol Pamong Praja terhadap pemilik warung makan di Kota Serang, Banten beberapa hari lalu. Petugas berdalih menjalankan Perda Nomor 2 Tahun 2010 yang  mengatur larangan bagi setiap pengusaha restoran, rumah makan atau warung dan pedagang untuk menyediakan tempat dan melayani makanan dan minuman pada siang hari selama bulan Ramadan

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Soni Sumarsono mengatakan perda yang saat ini dibatalkan sebanyak 58 persen terkait masalah investasi, izin retribusi, jasa usaha, izin mendirikan bangunan. Perda yang terkait pelayanan publik mencapai 10 persen, dan perda yang terkait pengalihan urusan, badan usaha milik daerah mencapai 32 persen.

Satu faktor penting pembatalan perda tersebut adalah untuk menyesuaikan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perlambatan ekonomi yang terjadi sejak 2015 membuat Jokowi ingin memacu pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menarik investasi asing.

Paket kebijakan I hingga XII pun dikeluarkan untuk merangsang kegiatan investasi dan bisnis. “Nah, paket kebijakan I-XII itu perlu segera kami back up dengan membatalkan perda-perda yang menghambat investasi,” kata Sumarsono.

Dugaan perda yang dibatalkan Kemendagri termasuk perda yang diduga intoleran dan diskriminatif salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR Almuzzammil Yusuf.

Menurut Muzzammil, saat ini pemda, DPRD, dan masyarakat mempertanyakan informasi yang beredar bahwa perda yang dicabut termasuk perda yang berisi tentang moralitas, religiusitas, dan yang sesuai dengan kearifan lokal.

“Kita menghormati kekhasan Bali untuk Nyepi sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika, maka kita harus hormati juga fenomena kearifan lokal di daerah-daerah lain,” kata Muzzammil memberi contoh.

Sejumlah daerah memang memiliki perda bernuansa keagamaan, seperti syariat Islam di Aceh, syariat Hindu di Bali, dan syariat Kristen di Papua.

Di Aceh ada Qanun yang berisi peraturan dengan mengambil syariat Islam, sementara di Bali ada peraturan berisi ketentuan berhenti beraktivitas selama Hari Raya Nyepi, dan di Papua ada peraturan menghormati Hari Minggu dengan melarang masyarakat berjualan.

Sumarsono mengatakan untuk saat ini, fokus Kemendagri adalah membatalkan perda yang terkait investasi dan pelayanan publik. “Arahan kami fokus ke ekonomi dulu, karena tuntutan pengusaha dan pelaku usaha komplain terkait lambatnya pelayanan pengurusan perizinan, banyaknya perizinan yang harus dilewati dan pintu pintu,” katanya.

Kedepannya, kata dia, perda yang akan dibenahi adalah perda yang dianggap masyarakat intoleran dan diskriminatif. Berbeda dengan perda perizinan investasi dan pelayanan publik yang bisa langsung dibatalkan; perda yang dianggap intoleran dan diskriminatif dilakukan dengan proses yang berbeda, yaitu melalu penyempurnaan.

Sumarsono mencontohkan kasus perda di Serang dimana pihaknya memanggil Wali Kota dan Biro Hukum Kota Serang. “Kita ajak duduk bersama, mereka bilang, iya betul ada yang salah, jadi ada pemahaman di sana. Di sana muncul usulan penyempurnaan terbatas perda,” katanya.

AMIRULLAH

 
populerRelated Article