Home
/
News

Perubahan Iklim Bikin Kopi di Jurang Kepunahan

Perubahan Iklim Bikin Kopi di Jurang Kepunahan
Tempo13 June 2016
Bagikan :
Preview
| June 13, 2016 3:05 am

Spesies Coffea arabica liar yang menjadi sumber genetika tanaman yang banyak dibudidayakan itu kini terancam punah karena pemanasan global.

TEMPO.CO, Richmond – Kopi adalah minuman paling populer di dunia setelah air, terutama kopi yang diseduh dari biji kopi arabika, spesies kopi paling diminati. Namun, siapa sangka, spesies Coffea arabica liar yang menjadi sumber genetika tanaman yang banyak dibudidayakan itu kini terancam punah karena pemanasan global.

Sejarah kopi dari negeri Ethiopia ini tampaknya juga akan berakhir di sana. Tujuh dekade mendatang, kopi liar di hutan tropis negeri itu akan punah untuk selamanya. “Kepunahan kopi arabika bisa terjadi pada 2080,” ujar Aaron P. Davis, peneliti dari Royal Botanic Gardens yang berbasis di Surrey, Inggris.

Kesimpulan itu muncul dari analisis peneliti Inggris dan Ethiopia yang dilaporkan melalui jurnal ilmiah PLoS ONE. Analisis dikerjakan melalui bantuan mesin pembaca nasib kopi yang dibuat menggunakan program komputer. Kopi arabika dipilih karena merupakan jenis yang paling banyak disukai.

Penikmat kopi memang sangat bergantung pada kopi arabika, yang menguasai 70 persen penjualan kopi di seluruh dunia. Adapun 30 persen sisanya diisi kopi robusta. Kecanduan penikmat kopi terhadap spesies arabika disebabkan rasanya yang sangat kaya. Ragam rasa kopi arabika merentang mulai dari paling lembut dan manis hingga yang beraroma paling tajam. Biji kopi arabika yang belum disangrai mengeluarkan aroma mirip blueberry. Setelah disangrai, biji kopi ini menebarkan bau harum bercampur aroma manis buah-buahan.

Kopi yang dihasilkan di Indonesia umumnya berasal dari jenis arabika. Spesies ini masuk ke Indonesia pada masa kolonial. Di Sumatera, terdapat kopi Gayo dan kopi Mandailing. Kopi Jawa juga sangat terkenal sehingga nama pulau ini sangat lekat dengan nama kopi. Di Sulawesi, pencinta kopi mengenal kopi Toraja yang khas. Pulau Dewata juga dikenal dengan produk kopi Bali. Kopi arabika asal Indonesia dikenal memiliki rasa yang kuat.

Berbagai varietas kopi khas Indonesia–begitu pula kopi arabika lain di seluruh dunia–memiliki akar jauh di Ethiopia. Pada 2008, peneliti kopi Surendra Kotecha, melalui Coffee Improvement Programme Phase IV, menyebut Ethiopia sebagai gudang genetik kopi arabika. Sebanyak 98,8 persen ragam genetik kopi arabika tersimpan pada pohon-pohon kopi yang tumbuh liar di hutan Ethiopia. Kopi arabika yang ditanam di luar Ethiopia–termasuk di Indonesia–hanya menyumbang 0,2 persen dari keragaman genetik spesies arabika.

“Kopi arabika liar di Ethiopia bersama keragamannya sangat diperlukan dunia,” kata Davis. Spesies arabika umumnya tumbuh baik di udara bersuhu 18-21 derajat Celsius. Beberapa varietas beradaptasi dan tetap produktif hingga suhu 24-25 derajat Celsius, seperti yang terjadi di perkebunan di timur laut Brasil. Sayangnya, kata dia, perubahan iklim mengancam kehidupan pohon kopi arabika liar. Peneliti dan petani mengetahui kopi ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.

Jika suhu meningkat hingga 2 derajat Celsius, seperti prediksi sejumlah ahli iklim, biji kopi matang lebih cepat, dibarengi penurunan kualitas rasa. Kenaikan temperatur lebih tinggi lagi akan menimbulkan stres terhadap tumbuhan ini. Depresi pada pohon kopi liar biasanya menyebabkan daun menguning, bahkan muncul tumor pada batang.

Data yang dikeluarkan Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2007 memprediksi suhu bumi naik setidaknya 1,8 derajat Celsius pada akhir abad ke-21. Skenario terburuk menyebutkan kenaikan mencapai 4 derajat Celsius. Sebagai perbandingan, kenaikan suhu bumi sepanjang abad ke-20 berkisar 0,56-0,92 derajat Celsius, dan peningkatan signifikan terjadi sejak era 1970-an.

Untuk melakukan analisis, peneliti harus pergi ke museum untuk mengumpulkan data varietas kopi arabika liar. Untuk meniru kehidupan kopi di alam, mereka membuat model penyebaran setiap varietas kopi. Penyebaran ini dijalankan hingga tahun 2080 dengan memperhitungkan efek perubahan iklim. Model perubahan sebaran kopi arabika liar ini diketahui sebagai yang pertama di dunia. Hasil yang ditampilkan sangat baik, ditunjukkan oleh resolusi data yang mencapai 1 kilometer.

Lewat program komputer tersebut ,peneliti dapat mengetahui bahwa kopi arabika liar akan hancur hingga 65 persen untuk skenario perubahan iklim paling minimal pada 2080. Jika perubahan iklim terjadi sangat ekstrem, 99,7 persen kopi arabika liar akan punah. “Model ini secara jelas menunjukkan perubahan iklim melahap penyebaran kopi arabika liar,” kata dia.

Davis mengatakan, ancaman kepunahan bisa terjadi lebih cepat dan lebih parah. Sebab, analisis yang ia lakukan hanya memperhitungkan faktor perubahan iklim. Padahal terdapat faktor perambahan hutan yang mengancam kehidupan tanaman kopi selama beberapa tahun terakhir di Ethiopia.

Faktor negatif lain muncul dari hama dan penyakit. Kopi arabika terkenal sebagai spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan organisme lain. Ancaman tambahan muncul pula dari perubahan waktu berbunga dan pengurangan jumlah burung penyebar bibit kopi yang dipengaruhi perubahan iklim.

PLOS ONE | AMRI MAHBUB

Berita Terkait:

 
populerRelated Article