Demi Kualitas Udara DKI: Ganjil Genap Perlu Diterapkan Bagi Motor?
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai perluasan sistem ganjil genap tak akan cukup efektif bila pemerintah tak turut menjangkau kendaraan roda dua atau motor. Sebab, KPBB beralasan emisi kendaraan roda dua sebagai penyumbang polusi udara terbesar tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sikap ini sejalan dengan data yang mereka kumpulkan sepanjang satu pekan. Berdasarkan data KPBB, 44,53 persen emisi per hari disumbang oleh kendaraan roda dua. Lalu, 21 persen dari bus, 17,7 persen dari truk, dan mobil pribadi hanya 16 persen, serta sisanya adalah mobil berbahan bakar diesel.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi menyatakan, rencana ini sebenarnya sudah pernah didiskusikan bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Budi juga tahu kalau data yang ada menunjukkan sepeda motor adalah penyumbang polusi udara terbesar. Akan tetapi, kata Budi, pemerintah belum mau membatasi karena mempertimbangkan masyarakat banyak.
“Kalau kemarin saya diskusi. Mungkin sekarang ini pemerintah daerah [Pemprov DKI] bukan dilihat kuantitas, tapi pemanfaatan sepeda motor menyangkut banyak orang. Jadi kalau banyak orang secara ekonomi, kan, ada dampaknya. Dengan pertimbangan itu belum [dibatasi],” ucap Budi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (19/8/2019).
Namun, Budi mengatakan pemerintah tetap berniat membatasi. Hanya saja caranya sedikit lebih halus, yakni penggunaan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) yang akan mulai dilelang pada 2021.
Bila program ini berlaku, Budi yakin ada seleksi alam yang membuat masyarakat dengan sendirinya meninggalkan kendaraan roda dua dan empat.
“Penggunaan jalan tertentu berbayar di situ bakal ada seleksi alam bagi yang mau membayar,” kata Budi menambahkan.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi juga berpandangan bahwa seharusnya perluasan area ganjil genap turut membatasi kendaraan roda dua. Paling tidak di ruas Jl. Sudirman, Jl. Thamrin, dan Jl. Rasuna Said.
Sebab, tanpa komitmen ini, Tulus berpandangan upaya mengatasi polusi dan kemacetan di Jakarta hanya setengah hati.
“Jika penerapannya hanya setengah hati, tak akan mampu menekan tingginya polusi udara di Jakarta. Pengecualian sepeda motor juga akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat, makin polutif,” ucap Tulus dalam keterangan tertulis yang diperoleh reporter Tirto.
Tulus menjelaskan pentingnya pembatasan kendaraan roda dua ini juga mempertimbangkan adanya kemungkinan masyarakat mengakali ganjil-genap yang menimpa kendaraan roda empat.
Menurut Tulus bila masih dikecualikan, masyarakat justru akan bermigrasi ke roda dua sehingga dikhawatirkan akan semakin meningkatkan kepemilikan motor.
Di sisi lain, Tulus juga melihat adanya potensi masyarakat akan semakin beralih ke ojek online (ojol) yang notabene berbasis kendaraan roda dua.
“Pengecualian sepeda motor yang tak terkena ganjil genap, akan mendorong masyarakat pengguna roda empat berpindah ke sepeda motor,” ucap Tulus.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Djoko Setijowarno mengatakan pembatasan kendaraan roda dua memang layak dicoba. Bahkan, menurut dia, Kemenhub dan Pemprov DKI sepatutnya berani melakukan itu.
Hal ini sejalan dengan data pertumbuhan kendaraan roda dua selama 2010-2015 yang cukup mengkhawatirkan karena rata-rata 9,7 hingga 11 persen per tahun. Lebih tinggi dari mobil yang hanya 7,9 hingga 8,8 persen per tahun.
Sepengetahuan Djoko, pembatasan sepeda motor sudah pernah dilakukan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) No. 141 tahun 2015. Hanya saja keputusan ini pernah digugat karena dianggap melanggar HAM.
Namun, Djoko bilang hasilnya positif. Kajian Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 2017 mencatat pengurangan volume kendaraan 22,4 persen, persentase kecepatan kendaraan meningkat yang semula 26,3 km per jam menjadi 30,8 km per jam, lalu waktu tempuh terpangkas. Dari situasi ini, Djoko yakin bila polusi pun dapat turut berkurang dan memperbaiki kualitas udara.
“Membatasi mobilitas sepeda motor bukan melanggar Hak Asasi Manusia. Dengan populasinya yang besar dan banyak dampak negatif yang ditimbulkannya memang harus dibatasi,” ucap Djoko saat dihubungi reporter Tirto, Senin (19/8/2019).
Akan tetapi, Djoko menilai pemerintah masih harus berbenah dulu jika rencana ini mau direalisasikan. Sebab, tanpa pembenahan angkutan umum, maka sulit meyakinkan masyarakat untuk berhenti menggunakan roda dua sekalipun dipaksa melalui pembatasan ganjil genap.
Syarat ini, kata Djoko, menjadi penting agar masyarakat tak sampai beralih ke ojol atau malah memiliki dua motor. Di samping angkutan di Jakarta, Djoko mendesak juga angkutan daerah penyangga juga perlu diperbaiki.
“Angkutan umum yang diperbaiki tidak hanya di Jakarta, tapi di Bodetabek. Per 2015 saja ada 4 juta perjalanan per hari dari area itu,” ucap Djoko.
Ditolak Garda
Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Igun Wicaksono mengaku tak setuju dengan ide ganjil genap untuk motor. Sebab, program itu akan merugikan pengemudi karena selama ini sistem tarif hanya mengakomodir jarak lurus.
“Kami tidak setuju motor dikenakan ganjil genap. Akan merepotkan dan merugikan kami para driver ojek online,” ucap Igun saat dihubungi reporter Tirto, pada Senin (19/8/2019).
Selain ojek daring, Igun yakin kebijakan ini akan menyulitkan masyarakat pengendara motor. Sebab, kata dia, saat ini transportasi umum belum cukup nyaman dan aman, bahkan ia sebut kerap berdesak-desakan di jam sibuk.
“Ini dihindari oleh masyarakat. Makanya transportasi roda dua tetap jadi pilihan,” ucap Igun.
Baca juga artikel terkait ATURAN GANJIL GENAP atau tulisan menarik lainnya Vincent Fabian Thomas