Posesif, Bentuk Kekerasan Berkedok Cinta
Warna warni gejolak kawula muda tak bisa lepas dari pacaran. Saling tertarik, kemudian muncul keinginan untuk mengenal lebih jauh dan akhirnya ada semacam kesepakatan untuk menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih. Kendati termotivasi keinginan baik, orang perlu menilik kembali relasi dengan sang pacar.
Relasi domestik seperti hubungan perkawinan, hubungan pacaran hingga urusan mantan punya potensi menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Pendiri komunitas Indonesia Feminis Dea Safira Basori menuturkan dalam pacaran bentuk kekerasan yang paling umum terjadi adalah sikap posesif pacar.
"Kalau dalam pacaran, laki-laki cenderung ngatur, melarang berlebihan, padahal ini bentuk kekerasan psikis," kata Dea saat ditemui di gedung Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (23/11).
"Misalnya monitoring setiap saat. Mau kemana-mana harus laporan. Setiap beberapa saat dihubungi untuk monitoring."
Bagaimana kalau ini atas dasar cinta?
Dea berpendapat ini merupakan bentuk manipulasi pikiran. Lebih lanjut lagi ia berkata ada relasi kuasa yang tidak seimbang dalam hubungan pacaran. Penyebabnya antara lain, masih ada anggapan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki, konsep kepemilikan atau rasa memiliki si perempuan serta budaya patriarki yang melekat di masyarakat.
"Pemikiran-pemikiran, anggapan-anggapan seperti ini dilanggengkan, direproduksi bahkan oleh perempuan," ujar Dea.
Dalam kesempatan serupa, Azriana, komisioner Komnas Perempuan mengatakan konsep kepemilikan diartikan bahwa perempuan adalah milik pasangan, orang tua, masyarakat dan negara.
Bahkan, lanjut dia, meski perempuan sudah tidak memiliki status sebagai pacar atau istri sekalipun, konsep kepemilikan ini tidak bisa berakhir begitu saja.
"Ada ketimpangan relasi. Laki-laki menganggap perempuan lebih rendah dari dia. Maka ketika perempuan meninggalkan laki-laki, laki-laki merasa direndahkan, ini terjadi di kasus pembunuhan dokter Letty," paparnya.
Tahun lalu, kasus pembunuhan dokter Letty santer terdengar publik. Helmi, sang suami, menembak sang istri hingga tewas karena melayangkan gugatan cerai.
Sementara itu, kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam hubungan perkawinan berbeda. Meski sama-sama relasi domestik, kekerasan dalam hubungan perkawinan dipayungi dengan UU KDRT, sedangkan dalam pacaran belum memiliki pelindung apapun.
"Misal pemerkosaan. Pandangannya ya mana ada perkosaan di pacaran, yang ada suka sama suka," imbuhnya.
Oleh karenanya, Azriana menyarankan dalam hubungan pacaran dibangun kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan bisa dibangun jika ada keterbukaan pemikiran baik dari si laki-laki maupun perempuan.
Dea pun menambahkan bahwa perempuan perlu membangun kesadaran tentang kekerasan serta hak atas tubuh mereka.
"Banyak yang belum sadar bahwa perempuan punya hak atas tubuh mereka," katanya.