Review: ‘Hereditary’ Mengandung 5 Hal Horor dengan Minim Jump Scare
Spoiler-free.
Mungkin di tahun 2018 ini ada sejumlah film horor yang dinanti oleh para penggemar film. Satu di antaranya adalah ‘Hereditary’, horor yang mengandung drama keluarga dengan elemen sinister di dalamnya.Pertama kali gue merasa wajib menyaksikan ‘Hereditary’ adalah saat sutradara film ‘Moonlight’, Barry Jenkins berkicau di Twitternya tentang film ini. Kala itu, Jenkins yang menyaksikan screening ‘Hereditary’ pertama kali pada Januari lalu bilang bahwa film horor ini cukup menggoyahkan rasa emosionalnya dan sanggup menghadirkan pengalaman sinematik yang begitu mendalam berkat garis ceritanya.
Seorang Jenkins yang berhasil menyabet piala Oscar untuk kategori Best Picture pada 2017 berkat ‘Moonlight’ aja memuji habis-habisan film garapan Ari Aster ini. Gimana gue nggak penasaran…
Maka, nggak heran jika gue senang banget mengetahui ‘Hereditary’ ditayangkan di Indonesia, meski nggak di semua jaringan bioskop. Film yang ditayangkan di Sundance Film Festival 2018 ini memang kerap disebut horor anti-mainstream.
Baca juga: Review: 'LIMA' Ajak Penonton Dalami Makna Pancasila Pakai Hati
‘Hereditary’ mengisahkan tentang seorang seniman miniatur bernama Annie Graham (Toni Collette) yang memiliki dua anak, Peter (Alex Wolff) dan Charlie (Milly Shapiro). Bersama anak-anak dan sang suami, Steve (Gabriel Byrne) keluarga kecil ini harus menghadapi teror horor yang terjadi pasca ibunya Annie meninggal dunia.
Setelah terkuak satu demi satu yang juga melibatkan aktivitas “musyrik” yang berkaitan dengan pemanggilan arwah, misteri tersebut ternyata ada hubungannya dengan warisan mengerikan dari ibunya Annie tersebut.
Tanpa spoiler, berikut ada 5 hal yang ingin gue beberkan mengenai hal horor dari ‘Hereditary’.
1. Meski banyak dialog, semua diracik secara efektif dan penuh hint alias petunjuk
‘Hereditary’ sejatinya adalah film horor yang berisi drama keluarga. Jadi, isinya nggak melulu action yang cuma teriak sana-sini karena digentayangin oleh setan atau makhluk halus. Karena mengandung esensi drama, maka hal ini didukung oleh screenplay dan dialog yang cukup penuh.
Meski begitu, semuanya terasa efektif dan nggak akan membuat kamu mengumpat, “elakh, ngomong mulu dah ni orang!”
Kalau kalian nontonnya niat dan khidmat, yang ada kalian malah tenggelam di tiap obrolan dan omongan dari para karakter karena… nggak menutup kemungkinan omongan mereka itu mengandung petunjuk untuk detail-detail penting di film ini.
Sebagai contoh, ketika Annie berbicara di acara pemakaman ibunya dan mengatakan betapa tertutupnya sang ibu selama dia hidup, hingga kedekatan yang spesial antara Charlie dengan neneknya. Dijamin, kalau kamu fokus memperhatikan tiap detail tersebut, kamu bakal merasa film ini mengedepankan misteri dan rahasia terselubung yang memang menjadi premis utamanya.
2. Mirip ‘A Quiet Place’, film ini sering tampilkan adegan super sunyi
Gini, kalau di film ‘A Quiet Place’ itu sunyinya berhasil menarik para penonton agar turut merasakan dunia sunyi yang sedang ditampilkan, lain halnya dengan ‘Hereditary’.
Aster sang sutradara tampaknya ingin membuat film ini terlihat begitu realistis, sampai-sampai menghadirkan adegan tanpa suara atau efek suara sama sekali. Misal, di dalam kamar tidur pada malam hari saat orang-orang sedang tidur, itu sudah pasti sunyi nggak ada suara ‘kan, gaes? Situasi seperti ini dihadirkan dan berhasil menambah efek ngeri!
Baca juga: 9 Plot Twist 'Gila' dari Film Era 2000an
3. Horor dengan minim jump scare!
Kalau kamu doyan nonton horor, tentu hafal dengan teknik bernama jump scare. Teknik ini umum digunakan oleh karya horor dengan cara menakut-nakuti penonton dengan perubahan pengambilan gambar secara cepat yang menampilkan sisi horor tersebut, plus efek suara yang bikin jantung copot.
Nah, ‘Hereditary’ nggak banyak menyajikan jump scare. Kebayang, nggak? Sudah memiliki berbagai adegan dengan nihil suara, sedikit pula jump scare-nya.
Mungkin kalau kamu berharap film ini bakal menyajikan kesegaran dan horor seperti ‘The Conjuring’, kamu bakal sedikit kecewa. Namun, bukan berarti ‘Hereditary’ jadi less-scary. Ada sebuah adegan yang berhasil membuat gue nganga kok, gaes saking kagetnya.
4. Visualisasi yang eksplisit
Tenang, film ini nggak gore seperti ‘Saw’ dan film-film penuh darah yang muncrat di sana-sini. Menurut gue, ‘Hereditary’ berani menyuguhkan berbagai adegan dengan visualisasi secara terang-terangan untuk ‘mengganggu’ kestabilan psikologis bagi yang menontonnya.
Gue kasih bocoran sedikit, film ini nggak menyajikan elemen umum seperti eksorsisme, namun tetap ada sentuhan yang awam kita ketahui, seperti kerasukan dan adegan disturbing lain. Contohnya, seperti yang kita saksikan di trailer, anak perempuan bernama Charlie itu terlihat memotong kepala burung merpati yang telah mati. Itu baru satu contoh dari berbagai visualisasi eksplisit yang diperlihatkan ‘Hereditary’.
5. Akting keren dengan inti masalah yang agak kompleks dan bikin kamu pengin ngulang dari awal, tapi... serem!
Aktris Collette memerankan karakter Annie di sini patut diacungi empat jempol, karena berhasil membawa seorang Annie yang begitu rapuh, tampak menyimpan misteri di dalam dirinya, dan nggak terlihat sebagai ibu yang baik, namun dapat membuat penonton turut merasakan kegilaan yang dia rasakan.
Ada sejumlah adegan yang gue sukai dari ‘Hereditary’ yang melibatkan Annie, yakni ketika Collette harus memainkan mimik wajah untuk memperlihatkan kehororan yang sedang terjadi -- adegan ini sekilas mirip dengan Spielberg face, teknik manipulatif yang memanfaatkan ekspresi wajah agar penonton penasaran apa yang sedang terjadi pada saat itu.
Karakter Charlie yang diperankan oleh Shapiro juga menjadi horor tersendiri untuk ‘Hereditary’. Dengan penampilan yang cukup bikin ngeri dan ekspresi wajah yang terkadang berisi tatapan kosong, kamu bakal wondering apakah dia sebenarnya sedang sadar atau memang Charlie ini adalah anak kecil yang aneh.
‘Hereditary’ memang nggak seperti film horor kebanyakan dengan menyajikan solusi absolut yang hampir selalu memenuhi ekspektasi penonton di ending film.
Bahkan, alurnya aja nggak naik-turun secara drastis seperti naik roller coaster. Dengan melibatkan pemujaan sesat (cult) dan inti masalah yang rumit, nggak heran kalau kamu mungkin akan merasa bingung dan rasanya ingin mengulang film ini dari awal, tapi... terlalu takut untuk mengulangnya. Entah takut karena disturbing, atau takut tambah pusing he-he-he.
Secara keseluruhan, film ini memberi kualitas ekstra dari sisi pendalaman karakter, alur cerita penuh misteri yang nggak bisa asal ditebak, hingga drama keluarga yang membuat penonton bersimpati untuk tiap karakternya.
Disturbing, unusual tension. Go watch it if you want to be disturbed, and be prepared to be anxious of any popping sound near you.