Satu Senja di Masjid Terapung
Senja belum matang benar. Waktu masih menunjukkan pukul 18.06 WAS. Belaian sinar mentari yang bergantung di ujung horizon masih terasa hangat di badan.
Masih kurang setengah jam lagi sebelum Azan Maghrib berkumandang. Dan kawasan pantai Al-Hamra (Laut Merah) yang masuk wilayah Distrik an-Naim, Kota Jeddah itu nampak ramai.Beberapa orang warga lokal dan jemaah haji berkerumun di pinggir laut yang terkenal karena kisah Nabi Musa itu. Wajah-wajah khas Melayu (baca: Indonesia) bahkan tampak lalu-lalang, berbaur dengan orang dari beragam bangsa.
Mereka menikmati sensasi tenggelamnya mentari di ufuk sana. Sebagian lagi bahkan bermain-main air di atas bebatuan kecil yang berserakan di bibir pantai.
Hempasan ombak yang begitu tenang dan air laut yang jernih kemerahan akibat pantulan cahaya mentari memang cukup menggoda. Godaan teringan adalah hasrat mencelupkan kaki di kehangatan sang bayu. Godaan menengah dan beratnya; mencuci muka dan berenang di pantai yang memikat ini.
Sayang, terdapat papan pengumuman dengan aksara-aksara gigantik tentang larangan berat mencemplungkan tubuh ke dalam air. Entahlah, kenapa ada larangan renang di pantai semenarik ini?
Pantai ini tak hanya menggoda dari keindahan maupun kisah bersejarah yang dipendamnya. Ia juga terkenal karena bangunan masjid nan megah yang seolah menjorok menantang laut. Masjid itu bernama Masjid Ar-Rahmah. Namun orang kerap menyebutnya Masjid Terapung.
Memang jika dilihat dari udara, sekilas masjid dengan dominasi warna putih ini bak mengapung di pinggir pantai. Masjid yang dihiasi satu menara ini dibangun pada 1996. Konon masjid dengan luas 20 x 30 meter persegi itu adalah wakaf warga setempat, dari seorang janda kaya.
Awalnya masjid ini bernama Masjid Fatimah. Kerap dinisbahkan dengan nama Fatimah putri Rasulullah, maka namanya diubah menjadi Masjid ar-Rahmah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman.
Untuk mempertegas eksistensi masjid yang tak mengandung sejarah tertentu, pihak pengelola menggantung papan pengumuman besar di salah satu dinding bangunan.
“Saudara semuslim. Masjid ini tidak punya kekhususan yang membedakannya dengan masjid-masjid lainnya. Mohon perkenannya untuk menyebarkan informasi ini kepada saudara-saudara kita semuslim,” demikian bunyi maklumat yang termaktub di situ.
Walau demikian, terlepas dari keberadaannya yang nirhistori, masjid ini telah mengukir sejarahnya sendiri. Daya tarik magnetnya begitu kuat membetot hati jemaah agar mengunjunginya. Ia memancarkan eksotisme nan gemilang.
Perpaduan antara lokasi—di tepi laut yang kental dengan sejarah seorang nabi—dan bangunan yang ‘mengambang’ di atas air; merupakan keunggulan yang tak bisa ditampik.
“Kami sangat senang bisa berada di sini, karena tak mungkin terulang kembali dalam waktu yang singkat,” demikian kata-kata yang keluar dari mulut Ella Handra, jemaah haji Kloter PLG 05.
Wanita paruh baya yang berziarah ke Masjid Terapung bersama suaminya itu mengaku bahagia bisa menikmati sensasi Laut Merah dan masjid megah di tepiannya.
Ella dan suami beserta enam orang jemaah lain sengaja menyewa taksi dari Makkah menuju Jeddah. Masing-masing merogoh kocek sebesar SAR 40 sebagai ongkos jalan-jalan di seputar Jeddah.
Tak hanya Masjid Terapung, rombongan kecil ini juga sempat berziarah ke Makam Hawa, shalat di Masjid Qishash, dan tentu saja mengunjungi pusat-pusat belanja di Kota Jeddah. Dua nama yang paling tenar di telinga jemaah Indonesia; Korniche dan Balad.
Bagi sebagian besar jemaah, kurang afdhal rasanya berkunjung ke Tanah Suci tanpa mampir di dua tempat tersebut. Ella dan kawan-kawan mendapat informasi tentang Masjid Terapung dari pegawai hotel tempat mereka menginap.
Si pegawai memang sengaja menjajakan tawaran jalan-jalan ke Jeddah pada jemaah haji. “Begitu harganya cocok, ya kami langsung berangkat,” sahut Ella.
Ketika matahari secara perlahan menenggelamkan diri di ujung samudera, suara azan Maghrib berkumandang dari menara masjid. Walau terdengar sayup, namun mampu menerobos gendang telinga. Mereka yang bercengkerama di atas bebatuan maupun bertelekan di pinggir pantai bergegas menuju masjid.
Panggilan Ilahi di tiap masjid di Tanah Suci memang mampu menyentuh titik terdalam kalbu seorang Muslim. Mereka bakal melepas segala gerak dan aktivitas demi sejenak ‘menyetor’ muka pada Sang Khalik.
Demikian pula dengan orang-orang yang menjejali tepian Laut Merah ini, panggilan azan begitu berharga. Jauh lebih menggoda ketimbang riak dan kecipak ombak yang membentur karang pantai.
Memasuki ruangan utama masjid, Anda akan disambut hawa dingin yang seolah merasuk sumsum. Sebagaimana masjid-masjid di berbagai belahan Tanah Suci, Masjid ar-Rahmah dilengkapi dengan sistem pendingin udara yang canggih. Suhu di ruangan utama mencapai 20 derajat Celsius. Kontras dengan hawa di luar masjid yang hangat karena bekapan musim panas.
Begitu jemaah telah berbaris dalam shaf-shaf yang lurus dan rapi, sang imam pun mengumandangkan takbir. Pertanda shalat berjamaah telah dimulai. Bacaan surah Al-Fatihah mengalun lembut dari bibir imam bertubuh tinggi besar dan brewokan itu.
Suara bariton agak serak yang keluar dari bibirnya mampu menerobos dinding kalbu kala ia melantunkan Surah Al-Adhiyat.
Pada rakaat kedua, sang imam membaca surat al-Humazah usai al-Fatihah. Kali ini, suaranya terdengar lebih lambat, namun tetap mantap dan ‘nge-bazz’. Surat yang berkisah tentang si pengumpul harta itu bak menembus jantung, mengusik ego dan keserakahan.
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.
Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.”
Beberapa jemaah tampak mengusap air mata usai salam tanda berakhirnya shalat. Mungkin mereka meresapi makna surat atau tersentuh oleh kesyahduan tartil sang imam. Atau mungkin saja karena keduanya.
Selain warga setempat, jemaah haji dari India dan Bangladesh tampak dominan sebagai makmum. Hanya beberapa gelintir jemaah Indonesia yang terlihat.
Usai shalat sunah ba’diyah, tak banyak yang tetap berdiam di tempat, mengambil Alquran dan membacanya. Sebagian besar jemaah keluar dari ruangan shalat, melanjutkan ‘piknik’ dan menikmati wisata pantai malam hari.
Mereka berkumpul di tepi-tepi pelataran masjid yang mengarah ke laut, berswafoto atau berbincang dengan koleganya. Sebagian yang lain keluar meninggalkan masjid, entah kemana.*