Sejarah Hidup Wilhelmina, Ratu Belanda yang Tak Rela RI Merdeka
Ulang tahun Wilhelmina tak hanya dirayakan keluarga, koleganya, dan bangsanya. Sejarah mencatat, perayaan setiap 31 Agustus juga dirayakan di koloni-koloni Belanda di belahan dunia lain. Termasuk Hindia Belanda—yang kini jadi Indonesia.
Ulang tahun perempuan bernama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau itu harus dirayakan karena ia adalah ahli waris mahkota Kerajaan Belanda. Kebetulan, dia terlahir sebagai putri satu-satunya Raja Willem III dengan Ratu Emma. Maka, begitu ayahnya meninggal di usia 73 pada 23 November 1890, dia pun menjadi orang nomor satu di Belanda.
Meski kekuasaannya diwalikan pada ibunya hingga 31 Agustus 1898, karena usianya baru 10, status Wilhelmina sebagai orang nomor satu tak terbantahkan. Hanya soal waktu belaka sampai ia benar-benar menjadi penguasa penuh. Dan ujian kepada kepemimpinannya pun langsung menghadang tak lama kemudian.
Menghadapi Ujian Sejak Awal
Di awal secara penuh menjadi Ratu Belanda, keturunan Belanda di Afrika Selatan bertikai dengan pihak Inggris. Dan Wilhelmina langsung memperlihatkan keberanian.“Ratu Wilhelmina dari Belanda mengirimkan kapal perang untuk Presiden Paul Kruger beserta keluarga dan pemerintahan Boer, dengan mengabaikan blokade Angkatan Laut Inggris,” tulis Paul Harte dalam biografi mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, Churchill The Young Warrior: How Helped Win the First World War (2017).
Melawan Inggris, adidaya di masa itu, tentu butuh nyali besar. Dan ujian sejarah tidak berhenti sampai di situ saja. Di zaman Ratu Wilhelmina berkuasa, Belanda mengalami dua Perang Dunia. Waktu Perang Dunia I, Belanda memilih netral dari konflik antar negara Eropa—yang diseret-seret hingga sebagian Asia dan Afrika itu. Namun, waktu Perang Dunia II, Wilhelmina pernah sampai mengungsi sampai ke Inggris. Pada 10 Mei 1940, negeri Belanda disikat Divisi Panzer Jerman dan hingga 1945 Belanda menjadi daerah pendudukan Jerman.
Wilhelmina menikahi Pangeran Hendrik pada 1901. Namun, Hendrik merasa bosan dengan statusnya sebagai suami penguasa. Ketidaknyamanan suasana hati Hendrik itu hampir bersamaan dengan tidak nyamannya suasana tanah koloni di belahan selatan bumi. Kala itu, rakyat di Hindia Belanda yang kritis, dan dicap Inlander itu, dianggap berani serta kurang ajar. Pergerakan Nasional Indonesia memang mulai membadai di zaman Ratu Wilhelmina.
Pada dekade pertama abad ke-20, masa ketika tunas-tunas pergerakan nasional menentang kolonialisme, Ratu Wilhelmina mengalami beberapa kali keguguran. Perkawinan saling menyayangi tapi minus cinta itu baru membuahkan hasil pada 30 April 1909. Saat itu lahirlah Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau.
Juliana belakangan menikah dengan Pangeran Bernhard dari Lippe Biesterfeld yang berdarah Jerman pada 7 Januari 1937. Dari perkawinan itu mereka punya empat putri: Beatrix (1938), Irene (1939), Putri Margriet (1943), dan Marijke alias Christina (1947).
Ketika Juliana masih kecil itulah "pergerakan para inlander" dianggap semakin menggila. Organisasi komunis makin menghebat sejak Juliana masih balita. Seorang Belanda yang tak doyan gaji tinggi bernama Sneevliet sudah mengkader pemuda bernama Alimin, yang belakangan mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang Komunis itu dianggap biang masalah dari bom-bom yang terjadipada 1923.
Koran Oetoesan Melajoe-Perobahan (10/9/1923) menceritakan ledakan bom yang terjadi pada pukul 11 siang bolong. Bom meledak pada 31 Agustus 1923, bersamaan dengan perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina ke-43 tahun serta perayaan 25 tahun dirinya sebagai Ratu Belanda secara penuh.
Tentu saja Wilhelmina dan keluarganya selamat, karena bom tidak diledakkan di Belanda, namun di Hindia. Setelah pemboman itu, seorang haji komunis bernama Misbach pun digelandang polisi dan dibuang dari Solo ke Papua hingga wafatnya.
Kendati demikian, selalu ada orang berstatus inlander yang rela bersumpah setia kepada Ratu Wilhelmina sebagai Ratu Belanda. Mereka adalah abdi kolonial, terutama di militer. Namun, banyak dari orang-orang yang pernah bersumpah setia kepada Wilhelmina kemudian berbalik posisi.
Ketika Republik Indonesia berdiri, pada 17 Agustus 1945, mereka ikut Republik. Alasannya, Hindia Belanda sudah menyerah kalah pada 8 Maret 1942 kepada Jepang. Ketika menyerah itu, Wilhelmina dan keluarganya berada di pengasingan. Tak mau tunduk pada Jerman.
Dalam perlawanan terhadap Jerman, banyak orang-orang Belanda di Inggris dipersiapkan untuk terjun di front Eropa. “Kelompok-kelompok (orang Belanda) yang tiba di Inggris itu ditempatkan di dalam sebuah legiun Belanda, pada 1941 dinamai Princes Irene Brigade,” tulis MRD Foot dalam Holland at War Against Hitler: Anglo-Dutch Relations 1940-1945 (2012).
Menurut Ian Dear dalam Ten Commando (2010), waktu masih belum becus bahasa Belanda, Westerling pernah berada di Brigade ini.
Selama di pengasingan itu, Wilhelmina punya sopir bernama Rokus Bernadus Visser. Menurut Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces (2003), pangkat Visser ketika itu masih sersan. Dia hanya setahun jadi supir Sang Ratu. Setelahnya dia jadi pasukan khusus Belanda yang pernah bertempur melawan Jerman dan akhirnya dikirim ke Indonesia. Dialah orang yang kelak, hingga hari ini, masih dianggap sebagai pendiri Kopassus. Nama tenarnya: Djon Djanbi.
Tak Rela Indonesia Merdeka
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, usia Juliana sudah 36. Dan Wilhelmina akan menginjak 65 tahun. Dia makin uzur. Sementara itu, Belanda sedang porak-poranda karena perang. Perekonomian Belanda masih kacau pascaperang yang menguras darah, dana dan air mata itu.
Melepaskan daerah koloni macam Indonesia, yang secara sepihak memilih memerdekakan diri, jelas sangat berat di tengah perekonomian yang rontok. Indonesia, yang dianggap durhaka itu, lalu dikirimi ribuan pemuda-pemuda Belanda dengan tujuan menduduki kembali Indonesia. Namun, perekonomian Belanda tertolong Amerika yang, karena cemas dengan pengaruh Soviet, merilis bantuan melalui Marshall Plan.
Beberapa tahun sebelum pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda sepanjang 1945-1949 berakhir, usia Wilhelmina semakin uzur. Meski begitu, nama Wilhelmina masih terngiang dalam kepala orang-orang Indonesia yang lahir di zaman keratuannya. Nama Wilhelmina setidaknya diucap oleh orang-orang yang benci atau jadi korban politik militer Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi Siliwangi. SLW, yang jadi singkatan resmi Divisi Siliwangi, sering diplesetkan jadi Stoot Leger Wilhelmina.
Keratuan Wilhelmina pun betul-betul berakhir pada 6 September 1948, sebelum Madiun Affair meledak, beberapa bulan sebelum Agresi Militer II terjadi, setahun menjelang Konferensi Meja Bundar. Putrinya, Juliana, yang sudah 39 tahun, naik tahta.
“Acara diadakan pada 6 September di Nieuwe Kerk di Amsterdam,” catat dinas penerangan Belanda dalam buku Two queens, Wilhelmina, Juliana, 1898-1948. Kala itu Wilhelmina sudah 68 tahun. Dia tak menjadi ratu sampai mati seperti Ratu Victoria dari Inggris. Wilhelmina meninggal pada 28 November 1962, tepat hari ini 56 tahun lalu.
Tak hanya Wilhelmina, anak perempuan dan cucu perempuannya yang jadi Ratu Belanda pun melakukan hal yang sama. Jauh sebelum meninggal pada 2004, Juliana sudah turun takhta sejak 1980. Beatrix juga dalam kondisi masih hidup ketika putranya, Willem Alexander, menjadi Raja Belanda pada 30 April 2013.
Setelah lebih dari seabad dikepalai Ratu, Belanda akhirnya punya seorang Raja.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 September 2017 dengan judul "Ketika Ratu Wilhelmina Turun Tahta". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi