Home
/
Lifestyle

Sejarah TMII: Proyek Orde Baru dari Ambisi Tien Soeharto

Sejarah TMII: Proyek Orde Baru dari Ambisi Tien Soeharto

Fahri Salam12 November 2018
Bagikan :

Agak lama Soeharto berusaha mendiamkan para pengkritik gagasan istrinya pada awal dekade 1970-an. Istrinya, Siti Hartinah alias Tien Soeharto, mengungkapkan keinginan agar di Jakarta ada suatu miniatur Indonesia, yang kelak diwujudkan dalam proyek bernama Taman Mini Indonesia Indah.

Barulah dalam satu acara publik pada 6 Januari 1972, Soeharto mulai terusik lewat gaya khasnya di depan publik—seorang presiden yang dikenal sebagai si jenderal yang doyan tersenyum, yang menyembunyikan amarahnya dalam intonasi yang dalam dan intimidatif. 

Dikutip dari Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004), yang disusun Rum Aly dan ‎Hatta Albanik, Soeharto tak langsung menyalahkan para pemprotes, mayoritas dari kalangan mahasiswa. Ia mengakui ada "perbedaan pendapat" yang disebutnya "bumbu demokrasi". Tetapi, lanjutnya, “harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan, khususnya dalam menghadapi proyek miniatur Indonesia.” (hlm. 175).

Toh, sebesar apa pun gelombang protes, megaproyek itu tetap terlaksana dan berdirilah miniatur Indonesia di areal seluas 150 hektare di Jakarta Timur. Dikelola oleh Yayasan Harapan Kita, dengan Tien Soeharto sebagai ketuanya, TMII diresmikan pada 20 April 1975. 

Terinspirasi Disneyland?

Kabarnya ide TMII muncul saat Tien Soeharto menemani suaminya dalam satu kunjungan ke Amerika Serikat pada awal 1970-an. Salah satu agenda kunjungan itu menyambangi taman rekreasi Disneyland di California.

Saat menikmati wahana rekreasi kelas dunia yang dibuka sejak 1955 itulah tercetus dalam pikiran Tien untuk membuat sesuatu yang kurang lebih sama di Jakarta, dengan nuansa yang tentu saja lebih Indonesia.

“… Ny. Soeharto tersentak bagaikan disambar petir oleh sebuah inspirasi untuk membangun taman yang dapat melambangkan Indonesia Indah dalam bentuk mini,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (2007:407).

Namun, Tien menghendaki Disneyland versi Indonesia tak sekadar tempat hiburan melainkan harus “lengkap secara spiritual serta material” untuk mewujudkan budaya nasional. Paparan ini tertulis dalam memorandum “Masalah Proyek Miniatur Indonesia Indah”, yang dibahas dalam Sidang DPR-RI tahun 1971/1972 (DPR-RI, Suatu Catatan Kegiatan DPR-RI Periode 1971-1977, 1977:78).

Sebelum ke parlemen, di mana 336 kursi dari 460 kursi dikuasai Golkar dan Fraksi ABRI, gagasan untuk mewujudkan pembangunan TMII dipaparkan oleh Tien dalam pertemuan dengan pengurus Yayasan Harapan Kita, bertempat di kediaman keluarga Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.


Jika dicermati, ada ketidaksesuaian apakah benar gagasan Tien tentang pembangunan TMII terinspirasi Disneyland di California, atau justru ibu negara ini sudah terlebih dulu punya ide tersebut sebelum berkunjung ke Amerika Serikat.

Banyak sumber lokal, termasuk situsweb resmi TMII, meyakini Rapat Pengurus Yayasan Harapan Kita dilakukan pada 13 Maret 1970. Sementara sejumlah referensi lain, kebanyakan ditulis bukan oleh orang Indonesia, menyebut kunjungan ke Disneyland terjadi tahun 1971 dan dalam momen itulah proyeksi TMII hadir.

Dalam The Heritage Theatre: Globalisation and Cultural Heritage (2011) suntingan Marlite Halbertsma, mengutip John Pemberton dalam On the Subject of Java (1994), bahkan tertulis ide proyek TMII bukan hanya terinspirasi Disneyland. Pada 1971, Tien dan Soeharto mengunjungi proyek serupa di Bangkok, Thailand (hlm. 51).

Menurut Pemberton, yang dinukil Halbertsma, gagasan TMII muncul setelah dua kunjungan tersebut. Proyek miniatur Indonesia itu dimulai pada 1972 atau hanya setahun setelah lawatan Tien Soeharto ke California dan Bangkok.

Barangkali memang benar Tien sudah mencetuskan ide itu dalam Rapat Pengurus Yayasan Harapan Kita pada 13 Maret 1970. Pada tanggal itu, Tien mengirim surat kepada arsitek terkemuka Haryasudirja untuk merancang desain proyek miniatur Indonesia (J. Pamudji Suptandar, dkk., Profesor Doktor Insinyur P.K. Haryasudirja, 2005:165).

Kemudian, boleh jadi, saat mendampingi Soeharto melawat ke Amerika Serikat dan Thailand pada 1971, Tien semakin yakin dengan gagasan pembangunan proyek TMII tersebut.


Infografik HL Indepth TMII
Preview

Ambisi Besar Ibu Negara

Pada Desember 1971, Tien Soeharto berbicara di depan para istri gubernur dari seluruh provinsi di Indonesia. Forum ini terselenggara atas permintaan Tien sendiri dan tentu saja direstui suaminya. Sehari sebelumnya, di tempat yang sama, Soeharto memimpin pertemuan gubernur se-Indonesia.

Kepada mereka, Tien meminta dukungan. Para istri diimbau untuk melobi suami mereka agar berpartisipasi dalam proyek miniatur Indonesia, antara lain dengan membangun rumah-rumah adat khas daerah masing-masing, menyajikan pelbagai hasil kerajinan daerah hingga urun dana.

Sudharmono, sekretaris kabinet saat itu, menerangkan usai pertemuan tersebut, “Karena pemerintah sedang memusatkan perhatian dari sumber dana yang ada bagi pembangunan ekonomi, pemerintah dapat menyetujui kalau proyek itu dapat dibiayai oleh masyarakat sendiri."

“Untuk itu,” imbuh Sudharmono, “para gubernur yang juga mempunyai kepentingan untuk menyajikan seni budaya daerah masing-masing agar mengerahkan potensi di daerahnya untuk pembangunan proyek tersebut.” (Aly & ‎ Albanik, 2004:165).

Menteri Dalam Negeri saat itu Amir Machmud menjamin kelancaran proyek TMII kepada Tien Soeharto. "Percayalah, Bu Tien," katanya, "semua aparat daerah yang saya pimpin akan saya kerahkan.”

Dengan gayanya yang khas, Amir Machmud—termasuk jenderal paling setia kepada Soeharto dan konon menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)—lantas memperagakan janji itu kepada para gubernur.

“Saudara-saudara gubernur,” ujarnya seperti dikutip dalam Aly & Albanik, “dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing.”

Dengan kata lain, Amir Machmud akan segera memberikan perintah, yang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa ditolak, kepada para gubernur di seluruh provinsi di Indonesia supaya menghimpun dana dengan cara apa pun untuk mewujudkan kehendak sang ibu negara.

Demi Istri, Proyek Jalan Terus

Seruan yang mengkritik ambisi Tien Soeharto membangun proyek miniatur Indonesia semakin mengemuka setelah pertemuan dengan istri-istri gubernur itu. Tak hanya dari mahasiswa, banyak kalangan lain, termasuk kaum cendekiawan, teknokrat, serta pengusaha, yang menolak keinginan sang istri presiden.

Para penentang menilai proyek TMII kontraproduktif karena justru bertentangan dengan seruan Presiden Soeharto yang mengimbau kepada para kepala daerah dan seluruh rakyat agar berhemat. Lucunya, imbauan itu diucapkan Soeharto dalam forum pertemuan gubernur se-Indonesia di tempat yang sama sehari sebelumnya.

“Jangan melakukan pemborosan-pemborosan karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin,” kata presiden dalam forum tersebut. “Kita masih harus mengetatkan ikat pinggang, masih harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dan harapan-harapan kita.” (Aly & ‎ Albanik, 2004:166).


Dengan proyek TMII, baik pemerintah pusat maupun daerah, harus menyisihkan atau mencari uang untuk mewujudkannya, termasuk melibatkan pelbagai pihak lain, yang gilirannya mengutip pajak rakyat Indonesia pada umumnya.

Terlebih, dikutip dari artikel berjudul “Tatkala Presiden Tersinggung dan Marah” dalam situsweb Sosio-Politika (24 Februari 2010), terdengar kabar bahwa dana yang dibutuhkan berkisar antara 100 juta hingga 300 juta dolar AS (dengan kurs sekitar 200 rupiah saat itu), meskipun sudah dibantah oleh Tien yang “hanya” menyebut angka 10 miliar rupiah.

Dana sebesar itu membuat sejumlah pejabat atau politikus lain kesal. Soeharto tega merogoh uang negara hanya untuk memenuhi hasrat istrinya. Itu pemborosan ketika negara masih memiliki kebutuhan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibiayai (Laure Zentz, Statehood, Scale and Hierarchy: History, Language and Identity in Indonesia, 2017).

Selain itu, pihak-pihak yang kontra menilai janggal pertemuan dengan istri-istri gubernur pada Desember 1971, terlebih ketika Tien tampil ke muka sebagai ibu negara sekaligus Ketua Yayasan Harapan Kita, sebuah yayasan swasta milik Keluarga Cendana.


Tien ditengarai sengaja memanfaatkan forum tersebut untuk mengumpulkan istri-istri kepala daerah agar bisa menyampaikan keinginannya terkait proyek miniatur Indonesia.

Soeharto, yang sempat diam atas reaksi penolakan proyek TMII, akhirnya bereaksi keras karena protes mulai menyinggung pribadi istrinya. Soeharto memerintahkan penahanan terhadap empat pimpinan demonstrasi sampai sekitar satu bulan (Arief Budiman, “Matinya Masyarakat Madani”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto, 4-10 Februari 2008:97).

Adapun Tien, menggambarkan situasi politik represif pada masa Orde Baru, mengabaikan kekesalan mahasiswa yang dialamatkan kepadanya. Pada awal Januari 1972, ia mengundang perwakilan mahasiswa untuk berdialog. Pertemuan ini dijaga ketat, berlangsung tertutup, dan dihadiri oleh hampir semua pejabat penting negara.


Apa yang disebut "dialog" itu tetap saja tak mengurungkan niat Tien Soeharto. Tak lama setelah pertemuan itu, megaproyek miniatur Indonesia dimulai. Pada 20 April 1975, saat TMII diresmikan, ibu negara itu terlihat semringah. Hasratnya terpenuhi sudah.

TMII menjadi salah satu warisan daripada Tien Soeharto, yang meninggal pada 28 April 1996. Selang 22 tahun setelah ia meninggal, TMII masih menjadi salah satu tempat wisata, yang kini jadi sorotan karena menunggak pajak miliaran rupiah sejak 1998, menggambarkan bagaimana "museum-museum Orde Baru" dan proyek-proyek pribadi Keluarga Cendana semakin kurang relevan dengan hiburan keluarga-keluarga Indonesia pasca-Reformasi.

=========


Catatan: Artikel ini tayang perdana pada 28 April 2018, dirilis ulang dengan penyuntingan minor karena relevan dengan tema laporan mendalam mengenai profiling TMII.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya

populerRelated Article