Home
/
Food

Serunya Menikmati Kuliner Banjar

Serunya Menikmati Kuliner Banjar

Indira Rezkisari19 January 2017
Bagikan :

Soto banjar dengan sayap ayam kampung menjadi sarapan saya Selasa (10/1) pagi. Karena namanya soto, maka bagi orang Banjar, karbohidratnya memakai ketupat. Jika memakai nasi, namanya sop banjar.

Widya Utami, teman seperjalanan dari Jakarta, kaget melihat piring yang diantar kepadanya. Ia memesan soto banjar spesial dengan sayap ayam. Dagingnya tidak disuwir-suwir, tapi sayap ayam kampung utuh dan banyak pula ketupatnya untuk satu porsi. Ia ragu bisa menghabiskannya, tetapi ternyata habis juga. ‘’Karena memang rasanya pas,’’ ujar Widya.

Bagi Putri Rosmalia, juga teman seperjalanan, kuah soto banjar berasa segarnya. Telurnya, kata dia, ada rasa manis-manisnya.

Rasa ketupat di Banjar tentu berbeda dengan ketupat di Jawa lantaran beras sebagai bahan dasarnya berbeda. Menggunakan beras siam unus, ketupatnya terasa tidak lembek, melainkan pera, sebagaimana nasinya yang juga pera. Ketupat beras siam unus pula yang dipakai dalam ketupat kandangan, menu makan malam saya pada Kamis (12/1).

Orang Banjar terbiasa dengan beras siam unus, beras lokal yang ditanam di lahan gambut. Ini beras lokal paling mahal bagi orang Banjar. ‘’Harganya Rp 12.500 per liter,’’ ujar Ahmad, pengelola Depot Soto Banjar Uwah di Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar, kepada saya.

Soto banjar, menurut Ahmad hanya menggunakan bumbu lada, bawang merah, bawang putih, dan garam. Untuk menambah gurih, ditambahkan pula pala dan kayu manis.

Meski harus menggunakan cabai rawit, kata Ahmad, baginya tak masalah ketika cabai rawit melonjak harganya di Jawa. ‘’Di sini biasa saja, tadi pagi belanja harganya Rp 70 ribu per kilogram,’’ kata Ahmad.

Di Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara, cabai hanya Rp 50 ribu per kilogram. Saya mendapat informasi ini ketika makan di rumah Haji Karani, mantan pembekal Desa Bararawa.

Saya mendapat suguhan ikan saluang yang dicocol disambal. Sangat gurih. Berkali-kali Haji Karani mempersilakan kami untuk menghabiskan sajian saluang yang belum tersentuh. ‘’Ya begini makanan di kampung sini, seadanya, ikannya juga diambil dari rawa,’’ ujar Karani.

Teman-teman yang lain merasakan hal serupa, bahkan masih harus menambah nasi. Saya pun menambah nasi.



populerRelated Article