Home
/
Sport

Sosok Andrea Pirlo dalam Lukisan

Sosok Andrea Pirlo dalam Lukisan
Yoga Cholandha08 November 2017
Bagikan :

Entah ada apa dengan si Mona Lisa. Sepintas, ia tampak biasa saja. Sesuai dengan nama yang tersemat kepadanya, lukisan itu menunjukkan wajah seorang perempuan. Di belakang perempuan itu, ada pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja juga. Ada pohon, ada danau, ada jalan setapak. Biasa saja.

Tetapi, tentu ada alasan mengapa lukisan Leonardo Da Vinci itu kemudian menjadi sebuah mahakarya paling masyhur di dunia. Alasan yang dimaksud, tak lain dan tak bukan, adalah misteri yang menyelimutinya.

Mona Lisa, pada akhirnya, berhenti menjadi karya seni. Lebih dari itu, ia menjadi sebuah obsesi. Meski sudah kelar digarap sejak lebih dari enam ratus tahun silam, ia tak pernah berhenti dipelajari. Rasanya, setiap tahun selalu saja muncul hal-hal baru tentang dirinya.

Preview

Sampai saat ini, salah satu kesepakatan bersama yang muncul dari pelbagai studi mengenai Mona Lisa adalah bahwa perempuan yang ada di lukisan tersebut adalah Lisa Gerhardini. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, peran Gerhardini, kalau memang betul bahwa itu memang lukisan dirinya, hanya sampai di situ saja.

Kini, Mona Lisa telah menjadi sebuah konsep. Ketika ada sebuah keindahan yang terselubung misteri, maka ia adalah Mona Lisa, dan dalam sepak bola, si Mona Lisa itu adalah Andrea Pirlo.

Seperti halnya Mona Lisa, Pirlo pun sepintas tampak biasa saja. Tak ada yang betul-betul terlihat menonjol darinya. Dia tidak cepat, dia tidak kuat, dan bahkan, dia pun tidak bisa menjinakkan bola seperti halnya Lionel Messi. Akan tetapi, itu semua menjadi irelevan ketika kita melihat bagaimana Pirlo mengorkestrasi permainan rekan-rekannya. Di situ, seperti Mona Lisa, dia menjadi luar biasa.

Apa yang membuat Pirlo menjadi luar biasa kadangkala memang tak bisa langsung terlihat. Di saat rekan-rekannya berlari-lari ke sana kemari, Pirlo cukup berjalan kaki. Bukannya tidak mau, tetapi memang dia tidak perlu melakukannya. Baginya, sepak bola itu ada di dalam kepalanya dan lapangan hijau hanyalah realita yang dia produksi agar mereka yang awam bisa turut mencerna. Biar bagaimana juga, sepak bola adalah baletnya rakyat dan merupakan tontonan orang banyak.

Preview

Aku berpikir, maka aku bermain. Kata-kata itu memang tidak orisinal. Pirlo mengorupnya dari kata-kata milik Rene Descartes yang aslinya diucapkan dalam bahasa Latin. Cogito, ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada. Itulah kredo yang dianut Pirlo dan dari situ, kemudian terwujudlah cara bermain yang tiada duanya itu.

Untuk menggambarkan kecerdasan Pirlo itu rasanya tak ada yang lebih pas selain School of Athens karya Raphael. Lukisan itu sendiri merupakan simbol dari gerakan Renaisans yang pada dasarnya merupakan upaya orang-orang Eropa untuk lepas dari cengkeraman teokrasi dan kembali ke semangat berpikir ala Yunani Kuno.

Dalam lukisannya itu, Raphael menggambarkan 21 orang pemikir, mulai dari Plato sampai Ptolomeus di sebuah aula besar. Jika aula itu adalah kepala Pirlo, maka 21 pemikir yang ada di dalamnya merupakan sel-sel otak yang memungkinkan Pirlo untuk memproses segala macam yang terjadi di lapangan beberapa kali lebih cepat ketimbang para pemain lainnya.

Kecerdasan Pirlo itu pada akhirnya terlihat dalam ketenangannya ketika bermain. Dia tidak pernah terburu-buru tak peduli secepat apa pun para pemain lain di sekelilingnya bergerak. Dia begitu tenang, begitu terukur, karena dia tahu bahwa dia ada tiga, empat langkah di depan para pemain lainnya. Ketenangan Pirlo itu seperti perwujudan dari lukisan 'A Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte' karya Georges Suaret.

Preview

Lukisan itu sendiri dibuat hampir empat ratus tahun setelah Mona Lisa. Di sana, semua orang terlihat sedang menikmati Minggu sore yang tenang di tepian Sungai Seine. Mereka duduk, bersantai, bercengkerama tanpa terlihat menanggung beban hidup apa pun. Ketika Pirlo sedang berlaga, nuansa seperti itulah yang terasa. Idiom "a walk in the park' terpersonifikasi dalam diri Pirlo tiap kali dia berlaga.

Ketenangan itu, pada akhirnya, terwujud dalam keanggunan. Gerak tubuh Pirlo memang begitu gemulai, begitu lembut. Pada akhirnya, untuk menggambarkan keanggunan Pirlo, kita harus kembali lagi ke Mona Lisa tadi.

Dalam Mona Lisa, keanggunan Lisa Gerhardini itu terlihat dari bagaimana dia melipat tangan dan menegakkan lehernya ketika sedang dilukis oleh Da Vinci. Selain itu, senyuman penuh misteri yang ditampilkannya itu terwujud pula dalam berewok yang ditumbuhkan oleh Andrea Pirlo. Di situlah, di senyum Mona Lisa dan berewok Pirlo itu, misteri terbesar mereka bersemayam.

Lalu, perpaduan kecerdasan, ketenangan, dan keanggunan itu pada akhirnya membuat Pirlo mampu untuk memanipulasi ruang dan waktu sekaligus. Di sini, Pirlo menjadi personifikasi bagi mahakarya Salvador Dali, 'The Persistence of Memory'.

Preview

Hal paling menonjol dari lukisan itu adalah keberadaan jam-jam yang meleleh. Bagi Dali yang menganut aliran surealisme, itu memang bukan hal aneh karena pada dasarnya, surealisme adalah tempat mewujudnya ide-ide paling liar di dalam kepala seseorang.

Dalam permainan sepak bola ala Andrea Pirlo, waktu adalah sesuatu yang harus ditaklukkan jika ingin menciptakan ruang. Hanya dengan begitulah dia, mengutip kata-kata Vujadin Boskov, mampu membuat jalan setapak menjadi seluas jalan raya. Caranya, tak lain dan tak bukan, adalah dengan membuat keputusan yang biasanya diambil dalam beberapa detik menjadi sepersekian detik saja.

Hal ini terlihat betul pada assist-nya kepada Fabio Grosso di semifinal Piala Dunia 2006 menghadapi Jerman. Dengan menaklukkan waktu, dia pun mampu melihat adanya jalan yang lebar antara dirinya dengan Grosso. Bola pun dikirimkannya tanpa bisa diantisipasi para pemain Jerman yang menumpuk di kotak penalti dan tanpa kesulitan, Grosso melepas tendangan lengkung yang gagal digapai Jens Lehmann.

Pada akhirnya, melihat Andrea Pirlo bermain, seperti kata Gigi Buffon, adalah melihat keagungan Ilahi. Caranya bersepak bola adalah gabungan dari beberapa mahakarya dunia paling masyhur dan seperti kata Andre Gide, seorang pemenang Nobel literatur asal Prancis, seni adalah hasil kolaborasi antara Tuhan dengan sang seniman itu sendiri. Jika Tuhan adalah seorang pesepak bola, maka Dia adalah Andrea Pirlo.

populerRelated Article