Tahun Baru Imlek: Menilik Beberapa Kelenteng Tertua di Indonesia
-
Menyambut Tahun Baru Imlek, kelenteng atau tempat pemujaan Dewa tampak lebih keren dan meriah daripada biasanya. Ada yang sampai dicat ulang, ada yang dihias dengan dekorasi merah khas Imlek, belum lagi ada arak-arakan di sekitarnya. Beberapa kelenteng memiliki nilai historis, dengan latar belakang kisahnya masing-masing. Berikut beberapa kelenteng tertua di Indonesia yang patut Anda ketahui.
Dharma Bhakti (Glodok, Jakarta)Membicarakan kelenteng tua, tak lepas dari kawasan pecinan di Glodok, Jakarta Barat, atau yang kini dikenal sebagai kawasan Petak Sembilan. Di masa kolonialisme Belanda, orang Tionghoa menempati kawasan itu, karena adanya pengotakan etnis oleh kongsi dagang VOC.
Tak heran, di daerah Glodok banyak kelenteng-kelenteng tua nan besar. Salah satunya Dharma Bhakti, kelenteng tertua di Jakarta. Dibangun kali pertama pada tahun 1650 dengan nama Kwan Im Teng.
Dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa pada 1740, kelenteng ini mengalami kerusakan. Kelenteng kemudian dipugar pada 1755. Hingga hari ini, kelenteng ini masih aktif sebagai tempat ibadah bagi penganut agama atau aliran Konghucu, Buddha, dan Taoisme. Saat Imlek, Dharma Bhakti biasa dijadikan tempat pusat perayaan acara dan tak jarang ikut dihadiri pejabat.
Avalokitesvara (Pamekasan, Madura)
Avalokitesvara yang terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, sekitar 17 kilometer ke arah timur Kota Pamekasan ini masuk catatan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai kelenteng terunik dan simbol perdamaian dalam keragaman keyakinan. Kelenteng yang berdiri sejak abad ke-14 ini uniknya berfasilitaskan antara lain musala.
Menempati lahan seluas 3 hektar, ada beberapa altar pemujaan di kelenteng ini: altar Thian Kong yang terletak di depan, altar Kwan Im Thang di bagian tengah bangunan, dan altar Avalokitesvara (Kwan Im Po Sat) yang merupakan altar utama.
Tjoe Hwie Kiong (Rembang)
Di utara Pulau Jawa, yakni sepanjang jalur Anyer-Panarukan (1.000 km) atau sekarang dikenal sebagai jalur Pantura—dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels pada 1808-1809—bercokol beberapa kelenteng tua. Saat Imlek, kelenteng-kelenteng ini dimeriahkan arak-arakan.
Salah satunya Tjoe Hwie Kiong di Jalan Pelabuhan, Rembang, Jawa Tengah. Kelenteng ini sudah berdiri sebelum jalur Pantura dibangun Daendels. Berdasarkan sejarahnya, bangunan membelakangi jalan raya ini sebelumnya berada di Desa Jangkungan, Kecamatan Kaliori. Di desa inilah awalnya kapal-kapal saudagar dari Tiongkok berlabuh di tanah Jawa pada abad ke-15. Beberapa tahun berlalu, kelenteng ini berpindah ke tempat yang sekarang. Sayangnya, tak ada catatan tentang kapan tepatnya perpindahan lokasi terjadi serta apa alasannya.
Kemungkinannya adalah pada 1740, Belanda memecah kawasan pecinan. Satu kawasan pecinan tetap berlokasi di Jangkungan, sebelah barat Rembang, dan lainnya dialokasikan ke sebuah desa di wilayah timur Rembang. Terbaginya kawasan pecinan dan disusul pembangunan jalur Pantura sepertinya berdampak pada lokasi Tjoe Hwie Kiong. Pada perayaan Imlek, arak-arakan tak hanya memeriahkan daerah sekitar kelenteng, tapi juga melewati jalan buatan Daendels.
Hok Hien Bio (Kudus)
Kelenteng Hok Hien Bio berdiri sejak tahun 1750-an, dikenal sebagai tempat sembahyang bagi yang khususnya memuja Dewa Bumi Hok Tek Tjing Sien. Dewa ini dipuja para petani dan pedagang Tionghoa agar panen melimpah dan usaha untung besar. Berada di Jalan Ahmad Yani No. 10, Kudus, Jawa Tengah, pada setiap perayaan akbar, seperti Tahun Baru Imlek, patung Dewa Bumi dari kelenteng diarak dengan tandu, mengelilingi Kota Kudus. Rombongan barongsai juga meramaikan prosesi ini.
(vallesca/sumber: tempo.co)