Tak Hanya Start Up, Bisnis Juga PerluScale Up
Salah satu hal yang mengejutkan saya dalam beberapa tahun belakangan ini adalah ukuran ekosistem di industri startup. Sejumlah ekosistem berkembang di beberapa hub besar di seluruh dunia. Namun, saya yakin kita sebenarnya kekurangan ekosistem yang fokus pada pengembangan bisnis atau scale up.
Dalam perjalanan saya satu dekade terakhir, saya belajar bahwa ternyata lebih mudah untuk memulai bisnis (start up), daripada membesarkan bisnis itu sendiri. Beberapa orang memang mahir untuk memulai, tapi beberapa orang sisanya ternyata lebih jago untuk mengembangkan bisnis. Kebanyakan founder menghabiskan waktu, yang pada akhirnya mereka harus memikirkan bagaimana membesarkan bisnisnya.Bagi saya pribadi, memulai bisnis berarti kamu harus mendorong dirimu untuk mengawali bisnis tersebut atau memiliki ide produk. Ketika kamu memutuskan untuk membangun sebuah perusahaan, kamu pun bisa menemukan ide bisnis. Atau, ketika kamu memiliki ide bisnis yang luar biasa, kamu pun bisa memulai bisnismu.
Dari situlah kamu mulai keluar dari “sarangmu”. Kamu mulai membicarakan bisnis tersebut kepada orang-orang (idealnya, orang-orang ini adalah pelangganmu) dan mulai bertindak. Dengan mengambil tindakan, kamu akan menemukan jalan yang tepat. Mungkin saja, jalan ini adalah ide yang kamu nantikan. Tapi, biasanya, yang kamu temukan justru hal-hal lain. Dan, pada akhirnya, kamu akan menarik orang-orang yang dapat membantumu.
Setelah waktu berlalu, kamu akan mengalami turnover. Kamu telah merekrut beberapa karyawan, menyewa ruang kantor, dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang: bagaimana bisnis kamu bisa tumbuh lebih besar?
Ketika saya masih muda, saya selalu berpikir bahwa membesarkan sebuah bisnis akan berjalan dengan sendirinya, selama kamu memiliki layanan yang bagus dan pelanggn mengerumunimu. Ya, ada betulnya juga. Hal ini terjadi pada perusahaan seperti Facebook dan WhatsApp. Tapi bagi kebanyakan perusahaan, kenyataan tidaklah semanis itu. Kita harus berjuang untuk memenangkan hati pelanggan.
Bagi saya, membesarkan sebuah bisnis adalah perjuangan yang tiada tandingannya. Dahulu saya begitu ambisius. Saya ingin bisnis yang saya geluti tumbuh besar. Tapi nyatanya, saat tahun demi tahun berlalu, saya berjuang begitu keras dan pertumbuhan bisnis yang saya impikan berjalan begitu lambat.
Dan inilah beberapa pelajaran yang saya peroleh:
Perbedaan besar antara produk dan servis
Sangat sulit untuk mulai menciptakan produk, misalnya software. Kamu butuh dana yang cukup untuk merekrut programmer. Sembari membangun produk tersebut, kamu juga harus mendengarkan masukan dari pelanggan. Yang tak kalah penting, kamu butuh strategi pemasaran yang mumpuni. Sangat sedikit persentase orang yang berhasil melakukan semuanya ini dengan baik dan produknya berkembang pesat. Kenyataannya, kebanyakan produk justru gagal atau tetap menjadi bisnis yang kecil.
Sebaliknya, servis justru lebih mudah untuk dibuat. Yang kamu butuhkan hanyalah PC, telepon, dan sejumlah kontak. Kamu akan sangat mudah untuk mendapat cash flow dan tak perlu banyak dana investasi di awal bisnis.
Tapi, bisnis berbasis layanan seperti ini sebenarnya sangat sulit untuk berkembang, kecuali bila kamu adalah pionir di ranah tersebut. Kamu akan masuk ke dunia yang sangat kompetitif—mungkin tidak sekarang, tapi dalam waktu dekat. Hanya ada kesempatan kecil untuk melakukan diferensiasi. Dan setiap kali kamu mengeluarkan dana untuk turnover ekstra, kamu harus merekrut karyawan baru (sebab mengembangkan bisnis butuh sumber daya manusia).
Pengalaman saya sendiri lebih banyak berkutat di dunia layanan. Sebelumnya, saya juga sempat terjun ke pengembangan produk. Sayangnya, saya gagal. Itu sebabnya saya menulis artikel yang berfokus pada pengembangan perusahaan berbasis layanan.
Kamu butuh dukungan
Ketika saya masih muda, saya pikir saya bisa melakukan semuanya seorang diri. Saat itu, saya pikir saya telah memiliki “bibit” menjadi seorang entrepreneur sejak lahir. Bahkan, setelah saya meraih gelar MBA, saya kira saya telah mengerti segalanya.
Saya pernah bekerja dengan seorang co-founder. Hasilnya? Gagal. Jadi, saya memutuskan untuk berbisnis sendirian.
Namun, setelah bertahun-tahun lamanya berjuang, saya baru menyadari bahwa saya butuh bantuan. Jadi, saya bergabung dengan Entrepreneurs Organization (EO), sebuah grup berskala international yang memungkinkan para anggotanya untuk saling mendukung dalam mengembangkan bisnis.
Organisasi tersebut memiliki program akselerator yang memungkinkan perusahaan untuk mengantongi dana US$200.000 hingga US$1 juta (sekitar Rp2,6 miliar hingga Rp13 miliar) dalam waktu tiga tahun. Akhirnya saya mengikuti program tersebut dan masuk ke lingkaran para entrepreneur.
Kami bertemu setiap bulan; seorang entrepreneur berpengalaman akan menjadi mentor. Kemudian, kamu akan berbagi cerita tentang proritas utama, tantangan, serta tindakan yang akan kamu ambil. Semua rencana ini ditulis sepanjang satu halaman.
Dengan fokus pada tindakan yang akan kamu ambil, kamu akan menciptakan akuntabilitas di dalam grup tersebut. Selain itu, kami juga belajar mengenai sumber daya manusia, strategi, eksekusi, dan keuangan dari pelatih profesional dalam sesi pertemuan per kuartal.
Dari program inilah saya mendapat mentor favorit, namanya Pieter van Osch. Saya melakukan Skype call dua kali dalam sebulan. Biasanya, kami mendiskusikan tantangan yang saya hadapi. Bimbingan personal seperti ini sangat membantu saya dibandingkan diskusi dalam kelompok. Dengan mentor personal, kamu juga bisa berbagi kisah tentang perjuanganmu.
Sistem pertumbuhan bisa membantumu
Di tahun-tahun pertama membangun perusahaan software development yang saya beri nama Bridge Global, saya memiliki beberapa pegawai dan partner yang mengembangkan softwareuntuk pelanggan. Bisnis ini tumbuh, baik dari segi ukuran maupun jumlah kantor di beberapa negara. Saat itu, saya sadar bahwa kami membutuhkan sistem untuk mengatur dan mengembangkan bisnis dengan lebih baik.
Program EO yang saya ikuti menganut metode scale up Verne Harnish. Kekuatan metode ini terletak pada rencana strategis yang dituangkan di satu halaman kertas. Artinya, kamu tidak membutuhkan rencana bisnis setebal empat puluh halaman. Selain itu, program tersebut juga memiliki ritme pertemuan.
Saat sumber daya manusia di bisnis kamu tumbuh lebih besar, rencana strategis yang dibuat di satu halaman tersebut bisa memperjelas ke mana kamu akan mengarahkan bisnismu dan bagaimana mencapainya.
Di perusahaan saya sendiri, saya menghabiskan banyak waktu untuk membuat rencana strategis ini. Kami mendefinisikan nilai-nilai, tujuan, serta BHAG. Kemudian, kami membuat rencana untuk tiga tahun ke depan, serta rencana per tahun dan per kuartal. Kami pun mulai melakukan pertemuan tahunan, kuartalan, mingguan, bahkan harian. Ya, kami tidak melakukan pertemuan bulanan karena tidak terlalu memberi nilai tambah.
Tetap lincah
Saat ini saya membangun jasa konsultasi agile di Indonesia—jadi, dalam hal ini saya mungkin bias. Tapi, menurut saya, kunci untuk memperbesar bisnis startup kamu adalah untuk tetap lincah (agile). Semakin berkembangnya perusahaan, maka sistem, hierarki, dan sumber daya manusianya pun akan menjadi kaku. Kami membuat KPI, struktur, dan menciptakan budaya perusahaan. Semakin besar perusahaan kami tumbuh, maka kami pun semakin birokratis.
Beberapa tahun lalu, saya mengunjungi San Francisco untuk menghadiri konferensi lean startup. Pada acara pembukaan, Eric Ries berkata, “Kalian semua datang ke tempat ini untuk belajar bagaimana membangun perusahaan. Kalian telah rela melepas karier di perusahaan besar semata-mata karena ingin bebas mengerjakan bisnis sendiri. Kenapa kamu ingin mengembangkan bisnismu agar tumbuh sebesar perusahaan yang kamu tinggalkan dulu, dan ujung-ujungnya kamu akan menghadapi sistem birokrasi yang sama?”
Itulah pertanyaannya. Saya pribadi lebih suka perusahaan yang besar, namun tetap lincah seperti sebuah startup.
Kalian telah rela melepas karier di perusahaan besar semata-mata karena ingin bebas mengerjakan bisnis sendiri. Kenapa kamu ingin mengembangkan bisnismu agar tumbuh sebesar perusahaan yang kamu tinggalkan dulu, dan ujung-ujungnya kamu akan menghadapi sistem birokrasi yang sama?
Tempatkan beban kerja dengan tepat
Salah satu buku favorit saya berjudul The One Minute Manager Meets the Monkey karya Ken Blanchard. Kisahnya begini:
Kamu adalah seorang Project Manager dan salah satu rekan kerjamu menghampiri kamu dan berkata, “Hai Peter, saya ada masalah. Pelanggan tidak mengirimkan dokumen yang saya butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Saya agak sibuk hari ini. Boleh minta tolong agar klien mengirimkannya untuk saya?”
Kamu menjawab, “Oke, Ted. Saya akan memberitahu dia.” Maka kamu pergi dan menelepon orang yang dimaksud. Namun resepsionis mengatakan klien tersebut sedang keluar. Kamu diminta untuk menghubunginya kembali esok hari.
Di penghujung hari, Ted menghampiri kamu lagi. “Kenapa, Peter? Kamu dapat dokumennya?” Wajahnya terlihat tidak sabar. “Maaf, Ted, saya tidak dapat dokumennya. Besok saya coba lagi ya,” jawabmu.
Tanggung jawab sebenarnya ada di bahu Ted. Artinya, Ted harus menghadapi masalahnya sendiri—itu adalah masalahnya, bukan masalahmu. Ketika kamu setuju untuk membantunya, maka beban pun berpindah ke bahumu. Yang harus kamu lakukan sebenarnya membiarkan beban tersebut menjadi tanggung jawab Ted.
Saat ini, saya mengajari orang-orang tentang scrum.
Inti dari scrum adalah melakukan self-organize agar dapat mencapai hasil akhir melalui iterasi. Jika kamu ingin meningkatkan perusahaanmu, kamu perlu melakukan pengaturan ini. Kamu pasti ingin memiliki tim yang bertanggung jawab dan pemimpin yang memahami alokasi beban kerja.
Dengan mendorong individu untuk melakukan self-organize, kamu bisa mengerjakan pekerjaanmu tanpa perlu berada di dalam kantor. Jika kamu ingin mempelajari scrum lebih jauh, kamu bisa mengikuti pelatihannya yang akan diadakan dalam waktu dekat.
(Artikel diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Septa Mellina sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)